Sisi Lain Pelaksanaan Piodalan di Pura Dalem Desa Adat Ubud

Penampilan tari Baris Panuur Kirana. (Dokumentasi Panitia Upacara Pura Dalem Desa Adat Ubud.)

Oleh Cokorda Gde Bayu Putra*

 

SEJAK beberapa hari yang lalu, aktivitas di jantung Desa Ubud terlihat berdenyut kencang. Sebagai sebuah destinasi dengan segudang prestasi kelas dunianya, tentu penanda geliat pariwisata tidak semata tampak dari menjamurnya kunjungan pelancong dan padatnya lalu lintas di ruas jalan utama, namun juga kencangnya aktivitas penataan infrastruktur pembangunan penunjang pariwisata di pusat desa. Tetapi itulah Ubud–sebuah desa yang oleh beberapa pujangga klasik di era silam disebut dengan Usadhi Desa. Ia senantiasa tetap bertahan dan melabuhkan jiwanya pada adat dan budaya sebagai roh identitas kultural masyarakatnya. Maka, sungguh tak mengherankan, di tengah hiruk pikuk penataan pembangunan dan aktivitas wisata, pelaksanaan kegiatan tradisi dan ritual upacara dengan mobilisasi masyarakat dalam jumlah yang banyak masih tetap bertahan dan dapat berjalan seirama dengan perkembangan hari ini. Potret menarik ini tampak pada beberapa kegiatan penting dalam rangkaian pelaksanaan Upacara Piodalan Mapadudusan Alit di Pura Dalem Desa Adat Ubud.

Upacara Piodalan yang jatuh pada Anggara Kliwon Medangsia tanggal 24 Januari 2023 ini diawali dengan beberapa tahapan persiapan penting dari beberapa hari sebelumnya. Krama Desa Ubud Kaja, Desa Adat Ubud, sebagai pangempon Pura Dalem disibukkan dengan kegiatan persiapan sarana upakara dan uparengga penunjang upacara. Tidak saja krama pangempon pura, bahkan sebelumnya seluruh krama Desa Adat Ubud pun turut terlibat dalam tradisi mararak untuk menyukseskan gelaran upacara. Dalam beberapa malam sebelum puncak piodalan, para pemuda yang tergabung dalam Sekaa Teruna Santhi Graha Ubud Kaja (ST SGUK) dengan ketulusan hati dan gelora optimisme juga turut berlatih mempersiapkan suguhan pementasan tari dan tabuh. Di bawah asuhan Prof. Dr. I Wayan Rai S. dan I Gde Made Indra Sadguna, Ph.D., para pemuda ST SGUK menempa diri di bawah langit malam Pura Dalem untuk berlatih mengiringi pementasan tari rejang, tari baris gede, tari topeng wali, serta patedun Ida Sesuhunan Sidakarya tepat di puncak piodalan. Persiapan ini juga bagian dari bentuk kerja kolektivis antara pemuda, pembina garapan, dan para seksi kesenian di antaranya I Nyoman Aryawan, Ida Bagus Ketut Adnyana, I Wayan Eka Suarjaya, I Made Oka Suastika, dan I Made Gejerana.

Baca Juga:

Tak kalah semangatnya, beberapa penari muda ST SGUK di bawah koordinasi Gede Agus Krisna Dwipayana turut mempersiapkan baris pamendak melangkapi Tari Baris Gede yang telah ada sebelumnya. Sebagai bagian dari suguhan pertunjukan tradisi penuh spiritual, ST SGUK berupaya menampilkan suguhan tarian baris yang bertajuk Baris Panuur Kirana untuk mengiringi prosesi tedun-nya Ida Sesuhunan Sidakarya. Pria yang akrab disapa Gede Krisna ini menuturkan, Tari Baris Panuur Kirana dimaksudkan sebagai bentuk tari pamendak yang diharapkan mampu menyambut sinar cahaya terang. Cahaya terang penuh kesucian itu tak lain berupa taksu dan anugerah dari linggih Ida Sesuhunan Sidakarya yang berstana di Pura Dalem Ubud.

Beranggotakan lima orang penari yang membawa pasepan, Tari Baris Panuur Kirana ditampilkan kurang lebih selama 10 menit, dengan setting adegan pertama di Jaba Tengah Pura Dalem dan bergerak berjalan menuju utama mandala sembari menjemput penari yang mundut Bhatara Sidakarya. Baris Panuur Kirana merepresentasikan pasukan dewata yang menguasai empat penjuru arah mata angin serta berjalan menyatu untuk mamendak Ida Sesuhunan. Tarian ini sejatinya penanda bahwa begitu agungnya sosok Ida Sesuhunan Sidakarya yang sangat sentral perannya dalam pelaksanaan upacara. Selain itu, Ida Sesuhunan Sidakarya juga diyakini mampu menetralisir penyakit, pembersih hama, dan pelebur mala. Dengan keagungan itulah, Ida Sesuhunan patut untuk di-pendak dengan penuh ketulusan dan kewibawaan.

Sementara itu, di tempat terpisah, melengkapi suasana khusuk para pamedek di utama mandala saat piodalan, ST SGUK melalui sekaa selonding pemudinya turut menyuguhkan alunan gamelan selonding. Di bawah asuhan I Putu Gede Suardika dibantu oleh Putu Okto Saputra, para penabuh selonding wanita itu berlatih dalam tujuh hari. Dengan kegigihan hati, terlahir sebuah garapan baru Tabuh Selonding Gending Panuuran berdurasi 10 menit untuk mengiringi prosesi pamendak Sesuhunan Sidakarya. Seorang penabuh selonding dipertengahan garapan, berdiri dan menari menuju Gedong Ida Sesuhunan sambil melantunkan tembang salah satu penggalan Geguritan Brahmana Keling Wit Topeng Sidakarya karya I Nyoman Suprapta. I Wayan Diana Putra salah seorang akademisi ISI Denpasar dalam satu ulasannya di media online menuturkan Gamelan Selonding merupakan salah barungan gamelan Bali yang berlaras tujuh nada. Secara organologi berbentuk bilah tanpa pencon berbahan besi. Teknik permainannya menggunakan dua tangan. Adapun susunan tungguhan dalam barungan gamelan Selonding terdiri atas tungguhan patuduh, peenem, nyong-nyong alit, nyong-nyong ageng, gong, dan kempur. Tungguhan patuduh dan peenem dalam sistem kerja musikalnya bertugas memainkan bantang gending (melodi) serta mempimpin arah progresi melodi dan struktur gending. Tungguhan nyong-nyong alit dan nyong-nyong ageng memainkan pepayasan (ornamentasi) progresi melodi dengan teknik ubitan yang disebut dengan “ngucek”. 

Dari beberapa alunan peristiwa jelang acara puncak piodalan di Pura Dalem Desa Adat Ubud tersebut, dapat dirasakan bahwa desa dan masyarakat seisinya tampak sedang bersiap dan disibukkan dalam kerja-kerja kebudayaan. Fenomena ini ibarat penanda bahwa di tengah arus modernitas dan laju turisme yang tak terbendung di Ubud, upaya pembertahanan dan pelestarian budaya masih menjadi hal yang mutlak dan terus digalakkan sebagai bentuk komitmen masyarakat Ubud yang hidup dan tumbuh dalam bingkai sosial religius. Penuh sesaknya kerumunan masyarakat Desa Adat Ubud pada saat pamelastianIda Bhatara Kahyangan Tiga pada Senin, 23 Januari 2023–sehari sebelum upacara piodalan juga menandakan bahwa beragam elemen masyarakat tumpah ruah larut pada perayaan kebatinan dan suka ria menyambut piodalan.

Ubud sebagai sebuah desa sangat teguh melabuhkan dirinya pada nafas dan sendi-sendi budaya. Pelaksanaan ritual upacara sebagai salah satu wujud kehidupan beragama melebur bersama gerak seni dan budaya. Pada titik inilah, keunikan dan keidentikan Ubud terlihat. Tidak saja dari laku dan tutur masyarakatnya semata, namun bagaimana cara dan upaya merawat ruang-ruang kebersamaan antarkomponen masyarakat yang terpupuk dan mekar sedari dulu. Upaya menjaga pertalian antar desa yang kental secara historis pun terlihat pada saat di Hari Selasa sore jelang pelaksanaan piodalan. Iring-iringan masyarakat dari Desa Adat Bentuyung Sakti, Desa Adat Kutuh, dan Banjar Adat Taman Kelod merayap sepanjang ruas jalan menuju Pura Dalem Desa Adat Ubud mengiringi sesuhunan-nya masing-masing. Solidaritas antarmasyarakat adat ini menunjukkan pola relasi dan jejaring yang unik dan berkarakter bernafaskan hubungan asal usul dalam bingkai ritual upacara.

Baca Juga:

Selasa, 24 Januari 2023 malam akhirnya tiba dan piodalan yang dinanti pun ada di depan mata. Suasana Pura Dalem cukup sesak dipenuhi masyarakat Ubud, baik pria maupun wanita. Beberapa wanita atau krama istri sudah sejak sore berduyun-duyun datang membawa gebogan bertingkat-tingkat memenuhi areal upacara. Para tetua desa, pangempon pura, pecalang, dan panitia piodalan tampak dengan kesigapan mempersiapakan jalannya prosesi di utama mandala. 

Gemulai ranting beringin dan hujan gerimis pun turut mewarnai jalannya peristiwa malam itu serta berbaur dengan gemuruh suara gamelan ST SGUK di madya mandala. Suara alunan bajra Sang Sadaka terdengar lembut di Bale Pawedan serta mengantarkan rangkaian prosesi di utama mandala. Nyala dupa aturan pamedek berjajar rapi terselip di masing-masing banten dan gebogan. Saatnya tiba, Tabuh Selonding Gending Panuuran bersuara mengiringi jalannya prosesi patedun Ida Sesuhunan. Sementara itu, Baris Panuur Kirana telah memasuki arena utama mandala menyatu dengan sesosok pemudi yang telah terlebih dahulu dengan gemulai menjemput Ida Sesuhunan Sidakarya yang di-pundut langsung oleh Bandesa Desa Adat Ubud–Tjokorda Raka Kerthyasa. Setelah tarian Sidakarya yang sakral itu berakhir dengan percikan tirta dan taburan catur bija, maka persembhayangan pun dilaksanakan oleh segenap masyarakat adat Ubud. 

Piodalan di Pura Dalem berakhir pukul 10 malam dan menjadi menarik dan sungguh istimewa tatkala Ketua dan Pengurus ST SGUK di hadapan Prajuru Desa dan Banjar Adat Ubud Kaja menyampaikan Surat Pencatatan Ciptaan Tabuh Selonding Gending Penuuran dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai penanda pengakuan hak cipta kepada ST Santhi Graha Ubud Kaja dan Pencipta atas nama I Putu Gde Suardika. Surat Pencatatan Ciptaan Tabuh Selonding Gending Panuuran dalam rangka perlindungan dibidang Ilmu Pengetahuan, Seni, dan Sastra berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta tersebut, juga melengkapi catatan daftar hak cipta yang dimiliki ST Santhi Graha Ubud Kaja setelah sebelumnya telah terbit Surat Pencatatan Ciptaan Tari Maskot Penyambutan Santhi Graha dengan pencipta Ni Ketut Dwidiari atas insiator garapan Alm. Ni Wayan Nadi kala Ubud Festival Tahun 2006 dan satu buah ciptaan lainnya berjudul Tabuh Maskot Penyambutan Santhi Graha dengan pemegang hak cipta ST Santhi Graha Ubud Kaja dan Pencipta garapan I Gusti Bagus Saraswata.

Serangkaian gambaran aktivisme kepemudaan dengan beragam penciptaan serta kekaryaan yang dilahirkan oleh ST SGUK tersebut dan juga Sekaa Teruna lainnya se-Bale Agung Ubud merupakan cerminan generasi muda Ubud yang tak kenal lelah berinovasi, berkarya sekaligus memberi warna tersendiri bagi perjalanan Desa Adat Ubud sebagai salah satu benteng penjaga kebudayaan Bali.

______________________________
*Penulis adalah masyarakat Ubud yang juga akademisi di Universitas Hindu Indonesia.

Editor: E. Ariana

Related Stories