Pro-Kontra Pidato Megawati

Prof. Dr. I Wayan Windia, S.U. (Balinesia.id)

Oleh Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, S.U.*

POLITIK itu memang sangat cair. Saya menduga bahwa Relawan Projo (Pro Jokowi) adalah simpatisan tulen PDI Perjuangan (PDIP), dan loyal 100 persen kepada Megawati. Ternyata tidak. Relawan Projo hanya loyal 100 persen kepada Jokowi. Ketika idolanya, yakni Jokowi terkesan “direndahkan” oleh Megawati dalam pidato politiknya, relawan Projo dengan cepat bereaksi. Mereka tidak sependapat dengan Megawati.

Ada kesan dalam pidato Megawati tersebut, bahwa Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP. “Kasihan dah Pak Jokowi,” katanya. Tetapi harus diingat, bahwa tatkala Jokowi menang, dan PDIP juga unggul, maka muncul wacana tentang Jokowi effect. Bahwa Jokowi yang namanya membubung tinggi tatkala Pilres 2014 dan 2019, justru ikut memberi andil bagi kemenangan PDIP.

Wacana publik itu mengandung makna bahwa, ada simbios mutualistis antara kemenangan Jokowi dan kemenangan PDIP. Kalau salah satu dari kedua variabel itu tidak memiliki daya saing, maka kemenangan tidak akan bisa diraih. Buktinya Megawati kalah melawan Susilo Bambang Yudoyono, meski ia didukung penuh oleh PDIP. Bahkan, pada saat itu ia sedang menjadi petahana, dan Ketua Umum PDIP. Oleh karenanya, saya menganggap wajar kalau Relawan Projo bereaksi ketika idolanya seolah-olah direndahkan.

Baca Juga:

Para elit PDIP, berusaha menetralisir reaksi dari masyarakat terhadap pidato Megawati itu dengan mengatakan bahwa apa yang dikatakan Megawati adalah sebuah bahasa rakyat, untuk kalangan internal. Tetapi bagi saya, pidato Megawati itu seolah-olah adalah sebuah pidato dari seorang komandan yang menang perang. Apa saja boleh dikatakannya, yang menunjukkan keunggulan-keunggulannya. Dalam celoteh orang Bali, disebut sebagai celoteh bebotoh yang sedang mabuk kemenangan.

Dalam skala nasional, kita juga telah melihat gelagat kepemimpinan para tokoh nasional, yang memenangkan perang kemerdekaan, yang memimpin republik ini. Beliau sangat ingin agar tujuan nasional cepat-cepat tercapai, karena rakyat sudah capek dengan penderitaan pascaperang kemerdekaan. Oleh karenanya, kadang-kadang beliau bersikap tegas dan keras. Untuk itu, kita pun harus dapat memakluminya.

Kembali pada kasus pidato Megawati, saya melihat bahwa ia lebih banyak hanya mendiskusikan fenomena menjelang pemilu tahun 2024. Sangat berjangka pendek. Itu bisa saja, karena sangat seksi dan fenomenal. Tetapi seharusnya, dalam konteks HUT ke-50, ia sebaiknya lebih banyak berbicara tentang pendidikan politik, khususnya berkait dengan masa satu abad Indonesia pada tahun 2045 yang akan datang. Fenomena sosial apa yang akan terjadi, di tengah-tengah arus teknologi informasi dan globalisasi yang semakin membahana. Kalau tidak diantisipasi, maka fenomena sosial ini akan sangat membahayakan bagi Indonesia yang sangat plural dalam berbagai aspek geopolitik.

Kalau ia mampu menganalisis fenomena transformasi sosial yang akan terjadi, maka harus ditekankan, apa-apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini. Khususnya dalam konteks melestarikan eksistensi Empat Konsensus Nasional Indonesia. Mengapa? Karena generasi baru bangsa ini harus sadar bahwa kemerdekaan bangsa ini tidak jatuh begitu saja dari langit. Banyak sekali pengorbanan yang harus dipersembahkan oleh para pendiri bangsa. Pengorbanan darah, keringat, dan tetesan air mata. Lalu, para pendiri bangsa bersepakat tentang pentingnya kehadiran dari Empat Konsensus Nasional sebagai landasan pembangunan nasional ke depan.      

Saya berpendapat bahwa betapapun sukses pembangunan nasional yang akan dicapai di masa depan, maka hal itu idak akan berarti apa-apa. Bila pembangunan tersebut mengabaikan konsensus nasional para pendiri bangsa. Oleh karenanya, parpol tidak saja harus berbicara tentang politik praktis untuk mencapai kekuasaan, tetapi harus lebih banyak melakukan pendidikan politik bagi generasi baru Indonesia.

Parpol seharusnya berbicara tentang sikapnya berkait dengan sistem politik Indonesia yang semakin sangat liberal, dan sistem ekonominya yang semakin sangat kapitalistis. Para pemimpin parpol juga harus banyak berbicara tentang seberapa jauh nilai-nilai Pancasila sudah diterapkan dalam proses pembangunan nasional. Kalau hal ini tidak menjadi bahan renungan mereka, maka tetap saja bangsa Indonesia akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup, dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam masa pembangunan yang sangat kompleks ini, diperlukan para pimpinan parpol dan elit politik yang lebih banyak merenung, melakukan introspeksi, dan memiliki visi untuk memberi kepada bangsanya. Hasilnya, akan lahir pemimpin yang rendah hati. Tidak muncul pemimpin yang ojo dumeh, sok kuasa, dan tidak mengidap kesombongan politik. Hanya dengan kerendahan hati, maka pemimpin nasional Indonesia akan mampu membawa masa depan bangsa ini yang gemilang. Suatu masa depan, yang sama sekali tidak melupakan masa lalu dan warisan atau pusaka bangsaya.

Saat ini, faktanya PDIP telah menjelma menjadi partai besar, dan memenangkan kepemimpinan nasional Indonesia. Karena sejarahnya yang panjang, PDIP seharusnya mengambil peran strategis untuk melakukan pendidikan politik yang strategis yakni dengan merumuskan dan memberikan pandangan tentang masa lalu bangsanya, apa yang kini sedang terjadi, dan bagaimana masa depan bangsa ini harus dibangun. Kalau tidak, maka itu berarti bahwa PDIP telah tidak mampu mengambil perannya yang strategis, di tengah-tengah kenikmatan kemenangan politiknya. 

_______

*Penulis adalah Guru Besar (Emeritus) di Fakultas Pertaniam Universitas Udayana dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.

_____________________________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email kotakbalinesia@gmail.com. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

Editor: E. Ariana

Related Stories