Pengembangan Pertanian Organik Berbasis Desa Adat?

Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, S.U. (Balinesia.id)

Oleh  Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, S.U.

SAYA menerima kiriman dokumen dari Yayasan Mandara Riset. Sebuah dokumen tentang pertanian, yang dipublikasikan Pemda Bali. Judulnya, “Master Plan: Pengembangan Pertanian Organik, Berbasis Desa Adat, untuk Pemenuhan Pangan Sehat dan Bergizi di Bali”. Lho, saya bertanya-tanya dalam hati. Kok saya dikirimi dokumen seperti itu? Apakah menurut pihak yayasan, ada yang salah atau aneh dari dokumen itu? 

Selanjutnya, setelah saya membaca judulnya secara sepintas, lalu saya bertanya-tanya juga dalam hati.  Kok, pengembangan pertanian organik berbasis desa adat ya? Apa tidak salah? Desa adat urusan-pokoknya adalah adat. Sebetulnya lembaga subak-lah yang urusan pokoknya pertanian. Hal itu adalah bagian dari loka Bali, dan sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. 

Desa adat dan subak, masing-masing adalah lembaga sosio-kultural yang otonom, dengan urusan yang berbeda. Desa adat dan subak secara tradisional hanya melakukan koordinasi antar mereka, untuk pelaksanaan adat di Bali. Tetapi subak (dan juga subak abian) bukan sub-ordinat dari desa adat. Tidak ada hubungan struktural antara desa adat dan subak. Desa adat memiliki hubungan struktural, hanya dengan banjar adat. Subak memiliki hubungan struktural, hanya dengan tempek atau munduk

   BACA JUGA:

Mc.Ginnis (1999), menyebut kondisi kelembagaan seperti itu, sebagai implementasi konsep polisentri. Artinya banyak ada sentri atau sentral atau pusat pengambil-keputusan di suatu kawasan. Tetapi semua lembaga itu secara tradisional melakukan koordinasi, apabila ada problema yang perlu dicarikan solusi. Bagi masyarakat Bali, kondisi kelembagaan seperti ini, adalah sebuah kearifan-lokal yang khas. Dengan demikian dapat dihindari adanya konflik atau friksi. Kalau salah satu lembaga tradisional di Bali ingin meng-okupasi lembaga yang lain-nya, maka pasti akan muncul konflik.

Tetapi, kalau dibiarkan semua lembaga otonomi di pedesaan bekerja secara otonom, maka konflik akan dapat dihindari.  Kenapa? Karena mereka hanya fokus melaksanakan fungsinya masing-masing. Mereka hanya berkordinasi kalau ada masalah yang perlu dicarikan solusinya. Patut dicatat bahwa batas-batas subak adalah berbasis batas-hidrologis dan batas-batas desa adat adalah berbasis administratif. Jadi, sangat berbeda sekali basisnya. 

Dengan demikian, banyak ada kasus, kalau wilayah subak menembus beberapa wilayah desa dinas atau desa adat. Karena batas subak adalah, sampai di mana suatu sumber air, mampu mengairi suatu kawasan persawahan. Siapa pun yang memiliki sawah di kawasan itu, harus menjadi anggota subak. Sedangkan seseorang bisa saja menjadi anggota desa adat di Desa A, meskipun pekarangan tempat tinggalnya, ada di luar Bali. 
Bahwa semua penduduk yang beragama Hindu di Bali, pasti masuk menjadi anggota desa adat. Tetapi tidak semua penduduk tersebut bisa menjadi anggota subak.

Hanya mereka yang memiliki sawah saja, yang berhak menjadi anggota subak di sebuah kawasan persawahan. Itulah sebabnya, leluhur kita membuat desa adat dan subak sebagai lembaga yang otonum. Karena basis ke-wilayahan-nya berbeda.
Selanjutnya, timbul pertanyaan dalam hati saya. Kenapa Pemda Bali membuat master plan pengembangan pertanian (organik) berbasis desa adat? Apakah tidak bertentangan dengan loka Bali? Memang dalam Perda Desa Adat ada disebutkan bahwa, desa adat juga memiliki fungsi dalam bidang pertanian. Tetapi fungsi pertaniannya itu, harus dilakukan di wilayahnya atau di palemahan desa adat nya sendiri. Ada anekdot di lapangan, bahwa katanya, seluruh wilayah Pulau Bali sudah habis dibagi menjadi bagian-bagian dari wilayah desa adat. Lalu kalau demikian, wilayah kewenangan desa dinas di mana? Wilayah kewenangan subak di mana? Wilayah kewenangan bendega di mana? Wilayah kewenangan subak abian di mana?

Oleh karenanya, tidaklah tepat kalau Pemda Bali membuat master plan tentang pengembangan pertanian organik berbasis desa adat. Dokumen itu tidak sesuai dengan loka Bali, yang sering sekali didengungkan secara oral. Seharusnya dikembalikan fungsi-fungsi kelembagaan lokal Bali, sesuai dengan fungsi-fungsi loka Balinya tersebut. Bahwa kalau ingin mengembangkan sektor pertanian (tanaman setahun) seharusnya kita memanfaatkan subak. Kalau ingin ada program pengembangan tanaman perkebunan (tanaman tahunan), gunakanlah lembaga subak abian. Kalau ingin mengembangkan nelayan dan kawasan pantai, manfaatkanlah lembaga bendega.  Hanya dengan demikian, loka Bali akan semakin kuat dan berdaya.

Mungkin tidak mudah dan perlu waktu. Karena kita harus berurusan dengan manusia-manusia yang tidak pintar, tidak berada, dan tidak ada pengalaman eksternal. Tetapi mereka adalah pendukung budaya Bali yang konsisten. Untuk itu, mereka harus didampingi, agar mereka bisa tetap eksis berkelanjutan. Itu pulalah sebabnya, pada era kepemimpinan Gubernur Made Mangku Pastika, saya menentang pengembangan Program Simantri berbasis Gapoktan. Simantri (sekarang disebut Sipadu) seharusnya berbasis subak dan subak abian.

 

_______

*Penulis adalah Guru Besar di Fakultas Pertaniam Universitas Udayana dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.

_____________________________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

Editor: E. Ariana

Related Stories