Dikeluarkan Seribu Tahun Lalu oleh Raja Marakata, Ini Isi Prasasti Batuan

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. i Wayan 'Kun' Adnyana memperlihatkan salah satu bilah Prasasti Batuan ketika prasasti itu dibaca pada 23 Oktober 2022 silam. (Balinesia.id/Facebook I Wayan Diana)

Gianyar, Balinesia.id – Dikeluarkan seribu tahun yang lalu membuat Prasasti Batuan memiliki nilai yang tiada terkira bagi masyarakat Desa Batuan dan Bali pada umumnya. Menurut pembacaan pakar epigrafi, prasasti ini secara esensi menjelaskan tentang hal-hal yang menyangkut Karaman i Baturan, yang kini menjelma menjadi Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Lalu, apa saja hal yang mendasari penerbitan dan ketetapan-ketetapan yang diatur dalam prasasti tersebut?

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Drs. I Gusti Made Suarbhawa, dalam Widyatula Saharsa Warsa Batuan seri ketiga bertema “Seribu Tahun Prasasti Baturan: Batuan Dulu, Kini, dan Nanti” yang digelar serangkaian peringatan Saharsawarsa Batuan, Rabu, 21 Desember 2022, menjelaskan hal-hal paling mendasar dalam prasasti tersebut.

“Prasasti ini dikeluarkan pada tahun 944 Saka atau 1022 Masehi, pada Bulan Posya atau Sasih Kanem atau pada Bulan Desember, Tithi Pratipada Suklapaksa atau hari pertama setelah Tilem, Sadwara Maulu, Pancawara Wage, Saptawara Buda atau Rabu, dan pada Wuku Wukir. Jika dikonversi prasasti ini dikeluarkan oleh raja pada 26 Desember 1022,” katanya.

Baca Juga:

Adapun raja yang menerbitkan prasasti ini adalah Raja Marakata, salah satu anak dari Raja Dharmodayana. Selain Prasasti Batuan, menurut penjejakan para ahli, Marakata setidaknya mengeluarkan enam prasasti lainnya, antara lain Prasasti Munduktemu II (944 Saka), Prasasti Sawan AI yang sama dengan Bila AI (945 Saka), Prasasti Tengkulak A (945 Saka), Prasasti Bwahan B (947 Saka), Prasasti Bangli, Pura Kehen B, dan Prasasti Ujung, Pura Dalem (962 Saka)

 “Marakata dalam prasasti tersebut bergelar Paduka Haji Sri Dharmmawangsawardhanamarakata Pangkajasthanottunggadewa,” kata peneliti yang juga pernah menjabat Kepala Balai Arkeologi Bali ini.

Suarbhawa menjelaskan bahwa Prasasti Batuan diterbitkan atas permohonan masyarakat Karaman i Baturan yang dilatari karena mereka merasa keberatan kerja bakti menjaga kebun di Er Paku yang merupakan milik almarhum raja yang didharmakan di Nger Wka. Belum jelas siapa raja yang dimaksud.

Kedua, masyarakat Baturan juga merasa keberatan menyelenggarakan upacara di bangunan suci di Baturan, kerja bakti di Japura, serta kerja bakti insidental atas perintah raja. Oleh karena itulah mereka kemudian menghadap raja yang diwakili oleh petinggi desa dan petugas kerajaan yang ditugaskan di desa tersebut.

Terhadap permohonan Karaman i Baturan, raja kemudian memberikan dispensasi terhadap kewajiban pajak, pungutan, dan iuran pada profesi patambang, pamanuk, pajawa, ketekepang, patangkalik, pawalyan, leleb, salaran, hopan, pajak terkait perajin tekstil (pangiket, pangilal, pamangkudu, acadar) pajak jual beli, dan lain-lain. Dispensasi juga diberikan pada bahan untuk pembuatan lancang atau sejenis perahu, membuat bangsal, lancang, dan sambo.

“Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Kelompok profesi wajib membayar pajak, pungutan, dan iuran sesuai ketetapan raja; melakukan perbaikan dan menyelenggarakan upacara di tempat suci di Baturan dan pemeliharaaan dua bidang kebun di Baturan; dan menyelengarakan upacara di tempat suci di Pakerisan,” katanya.

Selanjutnya, masyarakat wajib menyelengarakan upacara di tempat suci di Air Taga dengan beberapa persembahan barang dan uang serta pemeliharaan kebun raja yang dicandikan di Air Taga bersama-sama dengan Desa Tapesan.

Selain itu, prasati tersebut juga mengatur pungutan pajak bagi seniman pendatang, pewarisan warisan keluarga yang tidak berketurunan, perlindungan bagi pendatang yang berhutang, memberi jamuan pada petugas kerajaan yang berkunjung, hingga pelarangan pencurian ternak. “Pada saat upacara besar di tempat suci di Baturan, warga desa wajib melakukan caru di rumah masing-masing. Selain itu raja menetapkan terpisahnya Desa Baturan dan Desa Sukhawati,” kata Suarbhawa. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories