Prasasti Batuan Ikthisiar Lestarikan Warisan Budaya Batuan

Widyatula (Sarasehan) Saharsa Warsa Batuan seri ketiga bertema “Seribu Tahun Prasasti Baturan: Batuan Dulu, Kini, dan Nanti”. (Balinesia.id/jpd)

Gianyar, Balinesia.id – Prasasti Batuan yang dikeluarkan Raja Marakata Pangkaja untuk Karaman i Baturan atau kini menjadi Desa Batuan di Kecamatan Sukawati, Gianyar, 1.000 tahun silam memberi refleksi dan motivasi dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali, khususnya di desa setempat.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan ‘Kun’ Adnyana, dalam Widyatula (Sarasehan) Saharsa Warsa Batuan seri ketiga bertema “Seribu Tahun Prasasti Baturan: Batuan Dulu, Kini, dan Nanti” yang digelar Rabu, 21 Desember 2022 menilai bahwa prasasti dari era Dinasti Bali Kuno tersebut mencitrakan Batuan bukan hanya sekadar lokus, namun juga sebuah tatanan sosial dari komunitas masyarakat yang disebut sebagai Karaman i Baturan satu millennium tahun silam. “Keberadaan Prasasti Batuan menjadi ikhtiar bagi kita melestarikan dan mengembangkan warisan Batuan ke depan,” katanya.

Menurut guru besar ISI Denpasar ini, eksistensi Prasasti Batuan yang dikeluarkan oleh raja pada tahun 944 Saka atau 1022 Masehi itu mencitrakan banyak hal tentang tata laku masyarakat Batuan kala itu. Di samping merekam pengakuan raja atas tata sosial Karaman i Batuan, narasi prasasti juga memberikan pengakuan dunia seni dari penguasa sebagai sebuah profesi yang telah “menghasilkan”.

“Dengan dikenai pajak, maka seni sudah memberikan hidup pada masyarakat. Seni dan seniman telah diakui, diberi kewenengan, dan dipandang mampu menghidupi sebagai profesi yang profesional. Dari sini kita bisa bercermin bahwa jika kita tidak berpaling, maka seni bisa menghidupi,” jelas ‘Kun’ Adnyana memotivasi masyarakat Batuan untuk dapat melestarikan beragam genre seni yang hidup di Desa Batuan.

Baca Juga:

Pandangan serupa dinyatkan Pendiri Museum ARMA, Anak Agung Rai. Sepanjang pembacaan dan pergaulannya dengan Batuan, ia mengibaratkan Batuan sebagai perpustakaan kebudayaan Bali. Batuan ibarat muara dari percampuran dua langgam seni yang membentang melintasi zaman, yakni seni berlanggam Bali Kuno dan Bali pasca-Majapahit.

“Saya punya keyakinan, jika kita belajar eksistensi Batuan, ada percampuran seni Majapahit dan warga lokal Batuan (sebelum Majapahit, re). Ada ciri Batuan yang khas Bali Kuno dan ada pengaruh kesenian dari era Gelgel,” katanya.

Dalam konteks seni lukis, ia meyakini bahwa ibu dari seni lukis Batuan adalah relief Yeh Pulu yang diperkirakan ditatah pada abad ke-14. Selanjutnya, seniman Batuan tampaknya terus mengeksplorasi seni, sehingga lahirlah gaya seni rupa ala Batuan seperti yang dapat dinikmati hari ini.

“Dari sana dipahami bahwa Batuan sejak seribu tahun yang lalu sangat setia mengawal warisan budayanya, dan hingga kini masih terjaga dengan baik, khususnya terkait SDM (sumber daya manusia, red),” katanya.

Dalam perspektif arkeologi, Peneliti BRIN, Drs. I Gusti Nade Suarbhawa mengungkapkan bahwa ada beragam nilai yang dapat diambil dari narasi Prasasti Batuan. Menurut pembacaannya, Prasasti Batuan mengandung nilai keberanian, hormat pada sesepuh, kejujuran, tanggung jawab, dan kebersamaan.

“Keberanian dicitrakan dengan keberanian masyarakat Baturan menghadap raja untuk menyelesaikan permasalahan di masayarakat. Nilai hormat pada sesepuh itu diperlihatkan dengan masyarakat Baturan yang mempercayakan tetua desa atau pejabat pemerintahan yang bertugas di desa untuk menyampaikan permasalahan masyarakat,” kata dia.

Selanjutnya, nilai kejujuran Karaman i Baturan seribu tahun lalu dicitrakan melalui transparansi masyarakat dalam menyampaikan keluhan dan keberatannya terhadap tugas yang diberikan.

Nilai tanggung jawab dicitrakan melalui narasi pelaksanaan tanggung jawab tugas-tugas yang diberikan raja kepada Karaman i Baturan. “Nilai kebersamaan dapat diambil melalui penjelasan masyarakat melakukan kerja bakti pada tempat suci dan tempat lainnya secara bersama-sama,” kata dia.

Widyatula “Seribu Tahun Prasasti Baturan: Batuan Dulu, Kini, dan Nanti” digelar sebagai rangkaian peringatan Saharsawarsa Batuan. Seribu tahun keberadaan desa tersebut diambil dari penanggalan Prasasti Batuan yang dikeluarkan pada Buda Wage Wukir Sasih Posya 944 Saka atau jika dikonversi tepat jatuh pada 26 Desember 1022. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories