Asumsi Ekonomi Makro APBN Meleset, Harga BBM dan Elpiji Digencet

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Kecenderungan harga keekonomian minyak mentah dan gas dunia terus meningkat telah tampak dan faktual selama bulan Januari-Nopember 2021, yaitu bergerak diantara US$70-80 per barrel. 

Sementara itu, asumsi ekonomi makro untuk harga minyak mentah dalam APBN TA 2022 telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sejumlah US$63 per barrel atau sama dengan ketetapan asumsi harga TA. 2020. Namun, apa yang akan terjadi apabila kebijakan harga dan asumsi ekonomi makro terkait harga minyak mentah ini kembali meleset jauh lagi, apa resiko dan dampaknya bagi kinerja BUMN Pertamina yang terus mengalami penurunan laba sejak Tahun 2014 atau 6 (enam) tahun terakhir.

Penurunan laba bersih BUMN PT. Pertamina (Persero)yang cukup signifikan terjadi pada Tahun 2014. Laba Pertamina saat itu anjlok 45%, dari Rp33,8 Triliun di tahun 2013 menjadi Rp18,5 Triliun Tahun 2014. Penurunan laba bersih terus berlanjut setiap tahun, dan pada Tahun 2020 laba bersih konsolidasi (audited) hanya mencapai senilai US$1,1 Miliar atau setara Rp15,6 Triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nominal tersebut anjlok 58,4% dibandingkan pada 2019 yang berhasil dicapai sejumlah US$2,53 Miliar atau setara Rp35,9 Triliun. Laba bersih yang dicapai tersebut juga belum mampu menyamai perolehan laba bersih BUMN Holding Migas ini pada Tahun 2013.

Pada TA. 2021 harga minyak mentah dunia ditetapkan dalam asumsi ekonomi makro APBN sejumlah US$ 45 per barel, yang disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai "asumsi the worst is over" saat melakukan konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2021, pada Hari Jumat, tanggal 14 Agustus 2020 yang lalu. Selisih kurang asumsi ekonomi makro atas harga keekonomian minyak mentah dunia sampai mencapai US$45 per barrel, yang berarti kemampuan kalkulasi Menteri Keuangan dalam menetapkan asumsi tidak memadai apalagi mumpuni. 

Tentu saja, konsekuensi penganggaran ini akan berpengaruh kepada kinerja keuangan negara dan BUMN Pertamina yang harus menanggung beban kompensasi subsidi migas dan selisih harga bahan baku dengan harga jual ke konsumen akhir.

Harga Migas Naik, Diskresi BUMN Sempit

Disamping itu, Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga telah berulangkali merevisi aturan terkait penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebijakan yang mengatur harga BBM ini kembali direvisi dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.69 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 191 Tahun 2014 dan 43 Tahun 2018)  yang ditandatangani pada 3 Agustus 2021.

Perpres itu, selain mengatur penugasan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM Tertentu (JBT) yaitu jenis solar (gas oil) dan minyak tanah (kerosene), juga mengatur BBM khusus penugasan jenis RON 88 atau Bensin/Premium kepada Badan Usaha. Perpres ini juga mengatur tentang ketentuan harga jual eceran jenis BBM tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tersebut. 

Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 14  terkait harga jual eceran BBM yang ditetapkan melalui peraturan atau keputusan Menteri Energi  Sumber Daya Mineral (ESDM), termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Apabila terdapat perubahan harga jual eceran JBT dan JBKP sebagaimana dimaksud dalam materi Perpres tersebut, maka Menteri menetapkan harga jual eceran JBT dan JBKP berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

Disamping itu, Perpres juga memberikan kewenangan Menteri dalam menetapkan harga jual eceran JBT dan JBKP yang berbeda dengan perhitungan badan usaha dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro. Perpres ini juga mengatur kewenangan Menteri menetapkan formula harga dasar yang terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin dari badan usaha,  termasuk jenis BBM Umum.

Tidak berbeda dengan BBM, harga acuan elpiji atau contract price aramco (CPA) juga telah mengalami kenaikan dibandingkan dengan asumsi yang digunakan pada APBN TA.2021 yaitu sejumlah US$379 per metrik ton. Sementara itu, realisasi harga LPG sejak bulan Januari - April 2021 adalah sejumlah US$570 per metrik ton atau terdapat selisih lebih besar dibandingkan asumsi ekonomi makro APBN sejumlah US$191 per metrik ton. Pemerintah juga menetapkan harga patokan elpiji 3 kilogram (kg), melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 253.K/12/MEM/2020 tentang Harga Patokan Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. 
 

Dalam diktum kesatu Kepmen tersebut dinyatakan, bahwa harga patokan elpiji 3 kg ditetapkan berdasarkan harga indeks pasar (HIP elpiji tabung 3 Kg) yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi dan margin. Harga patokan elpiji tabung 3 kg sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu itu ditetapkan dengan formula 103,85 persen HIP elpiji tabung 3 Kg + US$50,11 dollar per metrik ton (MT) + Rp 1.879,00 per kg sebagaimana uraian diktum kedua yang dipublikasikan pada tanggal 18 Januari 2021. Diktum tersebut juga menyebutkan, formula harga patokan tersebut dapat dievaluasi sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan realisasi dari faktor yang mempengaruhi penyediaan dan pendistribusian elpiji 3kg.

Untuk menghasilkan produk Elpiji yang dikonsumsi masyarakat, komponen bahan bakunya didominasi oleh propana (C3H8) dan butana (C4H10), keduanya merupakan bahan yang berasal dari impor. Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12), dan volume elpiji berbentuk cairan yang lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Pertamina selama ini berpatokan terhadap acuan harga kontrak kurang dari Freight On Board (FOB) Saudi Aramco Contract Price (CP) yang saat ini mencapai US$550 per metrik ton (MT) dengan harga minyak dikisaran US$64 per barel.

Jika mengacu pada contoh kasus perjanjian CPA Saudi Aramco dengan pemerintahan India, maka kenaikan harga propana dan butana juga berpengaruh pada melonjaknya anggaran subsidi sejak awal Tahun 2020 yang membuat dihentikannya subsidi elpiji oleh pemerintah pada bulan Juli 2020. Kenaikan harga CPA Saudi Aramco  saat itu sangat signifikan mempengaruhi anggaran negara, yaitu dari US$565 menjadi US$800 per metrik ton dengan selisih harga US$235 per metrik ton atau naik sebesar 41,5 persen, dan butana dari harga US$590 menjadi US$795 per metrik ton dengan selisih kenaikan sejumlah US$205 per metrik ton atau sebesar 25,8 persen. Atas perubahan harga 2 (dua) komponen LPG ini pemerintah India mengambil kebijakan perubahan harga jual elpiji yang awalnya adalah Rs305  per tabung (12 kg) dinaikkan menjadi Rs899,5 per tabung (lebih 50%).

Sebaliknya dengan pemerintah Republik Indonesia terkait  kenaikan harga keekonomian minyak mentah dunia dan harga Liquid Petroleum Gas (LPG) berdasarkan perjanjian CPA dengan Saudi Aramco. Sebagai bahan baku produk BBM dan Elpiji yang membentuk Harga Pokok Penjualan/HPP (BPP) sub holding Commercial and Trading (C&T) Patra Niaga serta berpengaruh pada harga jual ke konsumen akhir belum mengambil kebijakan harga apapun.  

Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat Indonesia harus menyelesaikan posisi dilematis jajaran Direksi Holding BUMN Migas Pertamina dan sub holdingnya terkait ketentuan kebijakan harga BBM dan Elpiji yang perlu disesuaikan dengan perkembangan harga terkini (update).  Hal ini penting secara serius diperhatikan karena terkait atas 2 (dua) faktor, yaitu posisi keuangan negara dengan APBN yang selalu defisit (termasuk utang pemerintah ke BUMN) dan kinerja BUMN Pertamina, khususnya masalah keuangan yang menunjang operasionalisasi perusahaan menghasilkan laba yang terus merosot. 

Melesetnya asumsi ekonom makro yang telah ditetapkan pada TA. 2019, 2020 dan 2021 tentu berimplikasi pada digencetnya harga jual BBM dan Elpiji ke sektor industri serta masyarakat konsumen.

Ketiadaan penyesuaian harga BBM dan elpiji tentu akan berpengaruh pada kondisi aliran kas (cash flow) Pertamina dalam jangka pendek untuk membeli sumber bahan baku yang lebih mahal, sementara harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan. Apabila melakukan tolok ukur (benchmarking) atas kebijakan pemerintah India, seharusnya pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah mengajukan penyesuaian harga Elpiji kepada Presiden, supaya kasus Garuda Indonesia yang digencet oleh beban biaya operasional tidak terjadi pada BUMN Holding Migas Pertamina dan sub holdingnya.

Mengacu pada berbagai kebijakan mengenai harga BBM dan asumsi ekonomi makro didalam APBN, jelas menunjukkan bahwa BUMN Pertamina tidak bisa leluasa dan cepat menanggapi (respon) berbagai perubahan harga keekonomian minyak mentah dunia yang otorisasi dan kewenangannya berada ditangan pemerintah, yaitu Kementerian ESDM dan Presiden.

Jangan sampai di HUT ke-64 Pertamina justru pemerintah memberikan kado terburuk bagi kinerja BUMN kebanggaan rakyat, bangsa dan negara dengan semakin merosotnya pertumbuhan laba bersih. Selamat memperingati HUT Pertamina, semoga berbenah di Tahun 2022. (*)

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.


Related Stories