Wagub Bali Ungkap Disharmoni Antara Budaya dan Pariwisata Memuncak Era Tahun 2000

Wagub Cok Ace saat Bincang Budaya Nata Cintya Mani yang berlangsung di Aula Widya Sabha Mandala Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Sabtu 27 November 2021. (Humas Pemprov Bali)

Denpasar, Balinesia.id - Wakil  Gubernur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace mengungkapkan disharmoni antara budaya dan pariwisata memuncak pada era tahun 2000.

Wagub Cok Ace menyatakan, jika merunut ke belakang, pada era tahun 30an, Bali dikenal sebagai daerah agraris yang menjiwai perkembangan budaya masyarakatnya. Saat itu, satu dua orang asing mulai datang, bukan untuk tujuan wisata tapi dengan kepentingan lain.

Ketika berkunjung ke Bali, satu dua orang asing itu takjub dengan keindahan alam dan keunikan seni dan budaya Bali.

“Mereka mendapati sebuah pulau yang begitu eksotis lalu tertarik membawa kolega lainnya berkunjung. Oleh masyarakat Bali, awalnya mereka belum disebut turis, tapi krama tamiu. Demikianlah awal perkembangan pariwisata Bali,” tuturnya saat Bincang Budaya Nata Cintya Mani yang berlangsung di Aula Widya Sabha Mandala Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Sabtu 27 November 2021.

Sampai era tahun 70an, budaya masih dominan dan pariwisata masih dianggap sebagai bonus. Seiring makin banyaknya turis yang berkunjung ke Pulau Dewata, sektor pariwisata Bali booming pada tahun 90an yang mulai memicu kekhawatiran akan munculnya ketimpangan antara budaya dan pariwisata.

Kekhawatiran ini kemudian dijawab dengan pembentukan kawasan khusus pariwisata di Nusa Dua yaitu BTDC.

“Tujuannya agar kantong-kantong budaya tetap dijaga,” imbuhnya.

Ia menyebut Bali berada di persimpangan dan dihadapkan pada pilihan sulit hingga akhirnya sebagian memilih sektor pariwisata yang memang menawarkan kesejahteraan.

Ketua Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) Bali ini mengumpamakan budaya dan pariwisata seperti pohon, dimana budaya yang akarnya tumbuh di tanah Bali sebagai bagian batang dan pariwisata ada di bagian ranting yang relatif rapuh.

Sebagian memilih pariwisata atau bagian ranting-ranting kecil, sementara batang dan akarnya terkesan luput dari perhatian. Karena terlalu fokus pada ekonomi.

"Antara pariwisata dan budaya jangan sampai ada kesan saling mendominasi satu sama lainnya sehingga diperlukan harmonisasi," tegasnya lagi.

Karenanya, Wagub Cok Ace menekankan pentingnya harmonisasi antara penguatan budaya dan pengembangan sektor pariwisata.

Dianalogikan budaya dan pariwisata seperti sosok ibu dan anak yang idealnya memiliki hubungan harmonis serta tak boleh ada kesan saling mendominasi.

Mantan Bupati Gianyar ini melanjutkan, pendemi Covid-19 yang meluluhlantahkan perekonomian Bali memberi sebuah pelajaran bahwa ketidakharmonisan yang terjadi harus segera dibenahi.

“Kita diingatkan agar jangan tersesat lebih jauh lagi ke dalam materialistik,” cetusnya. Menurut dia, Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan konsep pembangunan satu pulau satu tata kelola menjadi satu jawaban untuk mengembalikan harmonisasi sektor pariwisata dan budaya.

Dialog budaya ini merupakan salah satu acara memeriahkan rangkaian kegiatan Reinkarnasi Budaya yang dilaksanakan Badan Eksekutif Mahasiswa FIB Unud. (roh) ***


Related Stories