Tumpek Kuningan, Ketika Para Dewa dan Leluhur Turun Memberkati Hidup Manusia

Ilustrasi. (Balinesia.id/jpd)

Denpasar, Balinesia.id – Tumpek Kuningan merupakan hari suci yang dirayakan mensiklus oleh umat Hindu di Bali setiap 210 hari, tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Hari suci ini jatuh tepat sepuluh hari setelah Galungan dan diyakini sebagai momen para dewa dan leluhur turun untuk memberkati kesejahteraan hidup manusia.

Menurut perhitungan Wariga atau astronomi Hindu Bali, Saniscara Kliwon Wuku Kuningan disebut pula Tumpek Kuningan. Tumpek merupakan hari suci yang mempertemukan Saptawara Saniscara (Sabtu) dengan Pancawara Kliwon.

Saptawara adalah pekan berjumlah tujuh hari, sedangkan Pancawara merupakan pekan berjumlah lima hari. Saptawara terdiri dari Redite, Soma, Anggara, Buda, Wrehaspati, Sukra, dan Saniscara, sedangkan Pancawara terdiri dari Umanis, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Seperti namanya, Tumpek Kuningan adalah tumpek yang jatuh pada wuku Kuningan. Wuku merupakan nama-nama pekan dalam satu siklus Pawukon. Ada 30 wuku dalam satu siklus Pawukon dengan enam buah tumpek. Adapun Tumpek Kuningan adalah tumpek ke-3 dari keenam tumpek yang ada.

Sebagai hari suci enam bulanan yang penting dalam kalender umat Hindu, Tumpek Kuningan diyakini sebagai momentum para dewa dan leluhur turun dari Sunialoka ke bumi dan memberikan berkat bagi umat manusia. Oleh karena itulah umat Hindu diamanatkan melakukan pemujaan kepada para dewa dan leluhur.

Baca Juga:

Akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar yang juga praktisi spiritual dan pengelola Pasraman Pasir Ukir Pedawa, I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd.H., menjelaskan tentang keberadaan Tumpek Kuningan dan makna yang harus diresapi dari perayaan ini. Dijelaskannya, keberadaan Tumpek Kuningan tidak bisa dipisahkan dengan hari suci Galungan. Pemaknaannya pun tidak terlepas dari keberadaan Galungan sebagai hari suci yang diyakini sebagai momentum kemenangan Dharma atas Adharma.

“Lontar Sundarigama menjelaskan Kuningan bahwa Saniscara, keliyon Kuningan, tumurun watek déwata kabéh, muang sang dwa-pitara, asuci laksana, nehher mamukti bebanten, sege selanggi, tebog, saha raka dane sangkep. Gegantungan, tamiang candige ring teretepaning sarwa wewangunan, aja amujaning bebanten kelangkahaning jegjeg surya, sawatek déwata kabéh, mantuka maring sunia taya,” katanya mengutip isi lontar tersebut, Sabtu, 14 Januari 2023.

Dalam terjemahan bebas, ia menjelaskan bahwa Saniscara Kliwon Kuningan atau Tumpek Kuningan adalah momentum memuja para dewa dan leluhur. Pada saat itu diwacanakan bahwa para dewa dan leluhur melakukan pesucian dan melihat persembahan dari umat.

“Ketika itu juga dikenakan gantung-gantungan, tamiang, ceniga, di bangunan-bangunan. Juga diamanatkan jangan melakukan pemujaan setelah tengah hari, sebab para dewata sekalian, telah kembali ke alam sunia,” terangnya.

Baca Juga:

Menurut wacana tersebut, Satria memaknai bahwa perayaan Tumpek Kuningan dengan segala pirantinya memiliki makna penguatan atas pencapaian kemenangan pada hari suci Galungan. “Nasi kuning yang dipersembahkan saat Kuningan merupakan simbol memohonkan kepada Dewa Mahadewa yang terletak di barat dengan warna kuning dan senjata nagapasa. Pesannya adalah agar kita selalu memelihara kebaikan atau kemenangan Dharma untuk bisa mencapai kebebasan dan kemakmuran di sekala,” kata dia.

 

Lebih jauh, perayaan Kuningan juga dinilai sebagai momentum bagi manusia untuk tetap ingat (eling) melakukan pemujaan. “Kebenaran itu mesti dibungkus dengan keyakinan dan diikat oleh sradha-bhakti. Maka, kita harus berserah sepenuhnya, kita jadikan Kuningan ini sebagai tonggak untuk kembali ingat bahwa kebenaran yang hakiki akan mampu memberi kesejahteraan sakala dan niskala,” katanya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories