Tumpek Wayang: Momentum Menyadari Eksistensi Waktu sebagai Realitas

ilustrasi pentas wayang kulit. (Balinesia.id)

Denpasar, Balinesia.id – Umat Hindu di Bali kembali merayakan Hari Suci Tumpek Wayang pada Sabtu, 7 Agustus 2021. Hari suci yang identik dengan pabayuhan atau ruwatan Wayang Wapuh Leger itu jatuh setiap Sabtu atau Saniscara Kliwon Wuku Wayang atau sepanjang 210 hari.

Dibandingkan hari suci lainnya,  Tumpek Wayang memiliki beberapa kekhususan. Hari suci ini merupakan tumpek (pertemuan Saptawara dan Pancawara) terakhir dalam siklus Pawukon. Selain itu, Tumpek dan Wuku Wayang juga seringkali dipandang sebagai wuku yang penuh nuansa mistis. Orang Bali percaya, mereka yang lahir pada Wuku Wayang hendaknya melakukan ruwatan kelahiran untuk menghindari hal-hal negatif.

Akademisi Politeknik Negeri Bali, Dr. Ida Bagus Putu Suamba, menyingkap esensi dasar perayaan Tumpek Wayang. Menurutnya, perayaan Tumpek Wayang berlandas pada kesadaran akan entitas waktu sebagai realitas. Menurut sastra pendukungnya, hari suci ini didasari oleh kisah kekuasaan dan “peruwatan” Bhatara Kala, yang merupakan simbol waktu, oleh ayahnya Bhatara Siwa.

“Esensi perayaan Tumpek Wayang itu tidak lain sebagai momentum menyadari eksistensi waktu sebagai realitas. Sumber-sumber sastranya antara lain teks Sundarigama, Kala Purana, dan lain-lain,” katanya Jumat, 6 Agustus 2021.

Berpijak pada Sundarigama, Tumpek Wayang adalam momentum memuja Bhatara Iswara, untuk memohon penyucian segala jenis tetabuhan, seperti gong, gender, gambang, genta, gendongan (kulkul), dan lain-lain[ berbagai jenis ukir-ukiran seperti wayang hingga pratima (arca); termasuk manusia yang merupakan percikan kecil Hyang Widhi Wasa. “Secara filosofi, manusia ibaratnya wayang itu sendiri, sedangkan dalangnya tiada lain adalah Bhatara Siwa. Itu konsepnya,” kata ahli Filsafat Siwaisme ini.

Konsep itulah yang menurutnya kemudian diterjemahkan dalam teks Kala Purana atau Kala Tatwa melalui narasi Bhatara Kala sebagai air mani Bhatara Siwa yang jatuh ke samudera akibat tidak bisa menahan asmaranya kepada Bhatari Uma. Karena kejadian itulah kemudian Sang Kala lahir sebagai entitas yang sangat kuat dan mampu mengalahkan para dewa. 

Dalam upaya menenangkan Sang Kala, Bhatara Siwa akhirnya turun dan memberikan anugerah memakan manusia yang lahir pada pekan kelahirannya, yakni di Wuku Wayang. Sayangnya, beberapa waktu kemudian adiknya, Hyang Rare Kumara, juga lahir pada wkatu yang sama, sehingga patut pula dimakan Bhatara Kala.

“Karena cintanya pada sang anak, Bhatara Siwa berupaya menunda, namun akhirnya Bhatara Kala tidak bisa diredam. Rare Kumara dikejar-kejar, hingga akhirnya bersembunyi di sebuah gender pementasan wayang,” tutur penulis  buku Siwa-Buddha di Indonesia ini.

Ketika itu, Sang Kala yang sudah kelelahan juga tanpa banyak bertanya memakan sesajian yang diperuntukkan kepada sang dalang. Oleh karena itulah kemudian terjadi “kesepakatan” antara Bhatara Kala dan sang dalang, bahwa mereka yang lahir pada Wuku Wayang akan terbebas dari takdirnya dimakan Sang Kala jika diruwat Wayang Sapuh Leger.

“Jadi ruwatan itu adalah penyucian sarira atau tubuh dari leteh atauketidaksucian. Dalam teks penyucian dilakukan dengan upakara, namun secara non-upacara, hendaknya dilakukan dengan penyadaran dan pengendalian diri. Pengendalian diri bagian dari yoga, dasar yoga adalah ajaran Dasasila (yama dan niyama), dalam Dasasila ada konsep Sauca yang artinya suci lahir-batin,” jelasnya.

Jika direfleksikan dalam kondisi kekinian, Suamba menafsir Tumpek Wayang berupaya memberi pesan bahwa manusia berada di dalam dan terikat oleh waktu. Hanya waktu yang abadi di alam semesta, sementara yang ada di dalamnya mengalami perubahan. Suatu kelahiran atau utpheti, pemeliharaan atau sthiti, dan penghancuran kembali atau pralina ada di dalam waktu.

“Di Bali ada ilmu Wariga yang ilmu tentang kesadaran akan waktu. Sementara, jika kita bawa ke dalam suasana pandemi Covid-19 ini, kesadaran pentingnya waktu akan menentukan masalah ini. Kita sejatinya berpacu dengan waktu, kapan mencegah, kapan mengobati. Maka, mari tetap disiplin melaksanakan protokol kesehatan, memohon keharmonisan pada Tuhan, agar pandemi cepat berakhir,” katanya.

Suamba menambahkan, saat ini hendaknya dilakukan upaya membangun optimism oleh semua kalangan. Hal-hal yang terlihat buruk harus dibalikkan menjadi baik. “Dalam cerita, Bhatara Kala itu kan digambarkan menyeramkan. Ini sama saja dengan virus. Mari kita bangun optimisme, pahami maslah dan gejalanya, dan jangan menyebar ketakutan yang justru melemahkan imunitas kita,” pungkasnya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories