Pembagian Dividen BUMN: Antara Yang IPO dan Non-IPO

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Salah satu indikator kinerja sebuah badan hukum usaha sebagai entitas ekonomi dan bisnis yang dinilai secara periodik (1 tahunan) oleh publik, khususnya pemegang saham (shareholders), yaitu variabel dividen. Seberapa besarkah masing-masing pemegang saham mendapatkan dividen dari laba perusahaan itu tergantung pada porsi kepemilikan saham masing-masing pihak.

Pembahasan dan keputusan pembagian laba perusahaan yang diperoleh ini menjadi kebijakan kinerja operasi dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai forum tertinggi yang dihadiri oleh para pemegang saham. Lalu bagaimana halnya dengan pembagian dividen pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

Mengambil contoh kasus pada PT. Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN, merupakan salah satu subholding gas dari Holding BUMN Pertamina yang akan  membagikan dividen Rp3,01 triliun pada tanggal 29 Juni 2022 sesuai keputusan RUPS. RUPS PGN telah menyepakati pembagian dividen kepada pemegang saham sejumlah Rp3,01 triliun atau setara Rp124,42 per saham.

Keputusan pembagian saham ini adalah hal yang luar biasa dan patut diapresiasi oleh publik disebabkan manajemen PGN mampu berkinerja dengan baik dan positif. Pasalnya saat itu, BUMN ini sedang bersengketa soal pajak yang mana Mahkamah Agung menetapkan bahwa kerugian sengketa pajak sejumlah Rp 3,06 triliun. Sementara dalam laporan keuangan PT PGN Tbk sebelumnya korporasi ini mengalami kerugian tahun 2021 sebesar US$ 264 juta atau sekitar Rp 3.845 Triliun, artinya ada selisih sejumlah Rp740 miliar.

Atas perspektif dan terkait kebijakan dividen itu, maka penyelesaian permasalahan sengketa pajak PGN dengan Ditjen Pajak melalui jalur hukum dapat dianggap telah mampu diselesaikan secara efektif dan efisien oleh para direksi. Namun demikian, terkait keputusan pembagian laba perusahaan, maka dengan komposisi saham yang sejumlah 43,04% dimiliki publik/swasta dan asing dan 56,96% porsi pemerintah atau Negara jelas laba yang diperolehnya tidak akan utuh masuk ke kas negara.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kebijakan pemecahan saham (stock split) melalui penjualan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) ke pasar Bursa Efek Indonesia  (BEI dulu BEJ) pada tanggal 15 Desember 2003.

Oleh karena itu, berdasarkan keputusan pembagian dividen oleh RUPS PGN pada bulan Juni 2022 dan mengacu pada porsi kepemilikan saham negara, jelaslah yang akan masuk ke kas negara hanya sebesar 56,96 persen saja atas Rp3,01 triliun atau sejumlah Rp1,7 triliun saja. 

Tentu saja, porsi pembagian laba ke kas negara akan berbeda hasilnya jika tidak ada kebijakan IPO, dan 43,04 persen yang harus dibagikan ke orang per orang atau sekelompok orang yang berjumlah Rp1,301 triliun takkan terjadi serta utuh masuk ke kas negara. Begitu pulalah halnya yang terjadi dengan kebijakan pembagian dividen di BUMN-BUMN lain, seperti BRI, Bank Mandiri, BNI, BUMN Karya, dan lain-lain yang sahamnya telah diperjualbelikan di BEI. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi,    

Editor: Rohmat

Related Stories