Mengenang Kembali Pemikiran Bung Hatta

Cokorda Gde Bayu Putra. (Balinesia.id)

Oleh Cokorda Gde Bayu Putra

SELAIN peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, bulan Agustus juga merupakan bulan kelahiran salah satu bapak pendiri bangsa ini yaitu Mohammad Hatta. Ia  lebih dikenal dengan nama “Bung Hatta”. Wakil Presiden pertama Republik Indonesia tersebut dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. 

Selain sebagai seorang proklamator, Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang pemikir dan intelektual yang cukup disegani. Gagasan-gagasan Bung Hatta yang dituangkan dengan penuh ketekunan di berbagai media cetak, artikel dan beragam karya tulis, menyiratkan begitu berlimpahnya sumbangan pemikiran beliau untuk bangsa ini baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Walau secara realitas perayaan Bulan Bung Hatta tidak segemerlap perayaan Bulan Bung Karno di beberapa daerah, namun diskusi tentang pemikiran-pemikiran serta tulisan-tulisan Bung Hatta cukup banyak dilakukan oleh berbagi pihak, utamanya beberapa Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi. Prof. Dr. Emil Salim selaku Ketua Dewan Redaksi Buku Karya Lengkap Hatta dalam pengantarnya pada Buku 4 dengan terang menguraikan bahwa Peran Bung Hatta sangat krusial untuk negeri ini. Perjuangannya tidak terbatas hanya dalam merintis kemerdekaan dan penyusunan UUD RI 1945, namun juga aktif mencetakkan pengaruh pada “wujud” dan “isi” Indonesia Merdeka. Setidaknya, Pasal 28 UUD RI 1945 yang menitikberatkan pada kemerdekaan warga negara berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan sebagai bentuk Negara Republik yang demokratis serta Pasal 33 UUD RI 1945 yang memuat prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan produksi dikerjakan oleh semua untuk semua, merupakan buah gagasan serta pemikiran mulia seorang Bung Hatta.

Membaca beberapa kumpulan pemikiran Bung Hatta di bidang “keadilan dan kemakmuran” setidaknya terdapat beberapa poin penting yang dapat kita petik, cermati, dan renungkan sebagai insan bangsa utamanya dalam menatap masa depan Indonesia yang berkelanjutan bernapaskan cita-cita luhur beliau di masa lalu.

Jiwa Kolektivisme
Ini berawal dari tulisan Bung Hatta yang berjudul “Ekonomi dan Kemakmuran” yang ditulis di Digul dan Neira kisaran tahun 1935-1941 serta dimuat kembali dalam buku “Beberapa Fasal Ekonomi”. Bung Hatta mencoba mengingatkan bahwa manusia tidak pernah hidup seorang diri. Oleh karenanya manusia disebut sebagai makhluk sosial yang sejak masa lalu telah didapati hidup berkampung-kampung serta memiliki pertalian rohani dan sikap saling memerlukan di antara sesamanya. Itulah sejatinya yang menyebabkan dalam upaya manusia mencari kemakmuran selalu bergantung pada lingkungan dan bangun masyarakat tempat ia dilahirkan. Pada titik itulah, Bung Hatta kemudian menjelaskan praktik tersebut sebagai cita-cita kolektivisme masyarakat yang berlainan corak dengan individualisme.

Dalam masyarakat kolektivis, tiap-tiap orang atau individu merasai segala tindakannya merupakan bagian dari suatu golongan yang besar. Sehingga, sebagai anggota dari golongan itulah, diri manusia ada berkedudukan. Ulasan Bung Hatta mengenai esensi jiwa kolektivisme tersebut kemudian menyadarkan kita tentang pengaruh selanjutnya dengan motif ekonomi kolektivis yang berbeda dengan motif ekonomi individualis. Dalam masyarakat individualis, sesorang akan bertanggung jawab sendiri terhadap baik dan buruk dirinya, bebas bertindak serta akan merasa hidup sebatang kara.  

       Baca Juga:

 

Perekonomian Masyarakat Bersifat Historis
Masih dalam tulisan yang sama, Bung Hatta berpandangan bahwa walau hukum ekonomi yang menguasai kelakuan manusia dalam mencapai tujuan kemakmuran bersifat tetap dan kekal, namun penjelmaannya dipengaruhi serta ditentukan oleh bangun masyarakatnya.

Kesadaran akan pemahaman itulah yang kemudian mengilhami Hatta untuk melihat bahwa upaya penyelidikan ekonomi tidak serta merta bersentuhan dengan penyelidikan hukum-hukum yang bersifat tetap saja, namun harus dimulai dari penyelidikan dasar dan bentuk perekonomian masyarakat yang bersifat historis, di mana kecenderungan masyarakat senantiasa hidup dalam dinamika dan perubahan. Bung Hatta lantas berpandangan bahwa corak ekonomi masyarakat tentu akan berlain-lainan menurut tempat dan waktunya, dikarenakan perilaku yang terpengaruh oleh berbagai keadaan dan paham yang ada, adat dan kebiasaan, pendapat sosial, politik, agama, dan lainnya.

        Baca Juga:

 

Berekenomi yang Seharusnya
“Berekonomi adalah memilih dengan pilihan yang tepat”. Itulah sepenggal pernyataan Bung Hatta dalam karyanya tentang “Ekonomi dan Kemakmuran”. Pernyataan itu lahir dari sebuah gambaran kondisi keprihatinan melihat fenomena bahwa segala macam keperluan hidup yang bersifat jasmani dan rohani dipuaskan dengan alat yang sama, namun terbatas jumlahnya.

Saat itu, Bung Hatta dengan seksama telah melihat bahwa pemuas kebutuhan masyarakat berupa uang atau harta akan ditukar dengan barang-barang yang dikehendaki. Oleh karena alat pemuas kebutuhan terbatas jumlahnya terhadap keinginan yang cukup banyak, maka Bung Hatta menjelaskan bahwa tindakan ekonomi itu “selalu memilih” keperluan dan keinginan yang sebanyak itu dapat dipuaskan dengan alat yang terbatas. Maka muncul istilah bahwa pilihan itu bersifat alternatif. Melalui pandangannya, Bung Hatta mengingatkan bahwa alat pemuas yang bersifat alternatif tersebut menyebabkan manusia wajib berhati-hati melakukan pilihan dalam menggunakan alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Kehati-hatian dalam memilih itulah sejatinya “tindakan berkenomi”.

         Baca Juga:

Perekonomian Modern Ibarat Badan
Ini berasal dari Tulisan Bung Hatta tentang “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme” yang terbit pertama kali pada tahun 1934 dalam bentuk brosur dan telah diterbitkan kembali dalam Kumpulan Karangan III tahun 1954. Melalui pandangannya, Bung Hatta mencoba menjelaskan krisis ekonomi sebagai sebuah kerobohan organik yang bersangkut paut dengan sakitnya seluruh tubuh. Jika kaki, tangan, dan beberapa fungsi tubuh (organik) mengalami kerusakan sehingga menimbulkan sakit, maka penyakit itulah yang dinamakan “krisis ekonomi”.

Jika hanya segelintir perusahaan atau toko saja yang roboh atau bangkrut, sedangkan yang lain tidak terdampak maka yang demikian bukanlah krisis ekonomi sekalipun menimbulkan kerugian sampai beratus-ratus ribu. Andai suatu kerobohan ekonomi terjadi pada suatu bank sampai menyeret sektor-sektor lainnya ke lembah krisis, maka yang demikianlah patut disebut krisis. Pandangan kritis Bung Hatta kala itu seperti berupaya mencerahkan masyarakat tentang makna “krisis” yang sesungguhnya, mengingat kata “krisis” kala itu sedang latah di bibir orang banyak serta acapkali digunakan orang untuk mencap suatu peristiwa.

Lebih lanjut lewat artikel yang sama, Bung Hatta kembali mencoba mengistilahkan bangun sebuah perekonomian modern seperti badan manusia yang dialiri darah dan dijalani oleh urat. Jika darah tertahan, maka badan akan merasa tidak enak. Demikian pulalah perekonomian modern, jika uang yang menjadi peredaran darahnya terganggu maka rusaklah penghidupan ekonomi senegerinya. Seandainya bank dan bursa bagi ekonomi kapitalis diumpamakan sebagai jantung dan urat saraf bagi badan manusia, maka kerusakan keduanya dipastikan akan berdampak pada “krisis ekonomi”.    

        Baca Juga:

Pemerataan
Dalam ceramahnya pada Seminar Kadin di Jakarta tanggal 20 September 1972, Bung Hatta membawakan makalah yang berjudul Pikiran-Pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata. Undangan tersebut beliau manfaatkan untuk mengingatkan kembali pokok-pokok keadilan sosial dalam upaya meraih kemakmuran yang merata sesuai amanat Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 33 UUD RI 1945. Bung Hatta saat itu menjelaskan bahwa kepada rakyat jelata dianjurkan membangun perusahaannya dalam bentuk koperasi. Dengan koperasi yang bersendikan “kerjasama” diharapkan perekonomian orang kecil maju, berkembang menuju semangat pemerataan.

Dalam tataran kebijakan yang lebih luas, menurut Bung Hatta, pemerintah sejak merdeka dengan Bantuan Panitia Pemikir Siasat Ekonomi, telah berpikir tentang konsepsi kemakmuran merata dengan jalan koordinasi “transmigrasi” dan “industi”. Melihat luasnya hamparan Indonesia, Pemerintah sejatinya berniat melanjutkan program transmigrasi yang telah dijalankan sebelumnya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Indonesia merdeka berkehendak meneruskan tugas penting tersebut dengan menyebarkan industri di luar Pulau Jawa. Dengan industri yang terpencar itulah menurut Bung Hatta akan lebih mudah memindahkan penduduk yang berlebih di Pulau Jawa ke daerah seberang. Di lain sisi, masyarakat yang ditransmigrasi patutlah merupakan orang-orang muda produktif yang berasal dari keluarga tani, keluarga tukang dengan beragam spesialisasi, serta para guru-guru potensial. Seandainya politik transmigrasi dan industri dijalankan secara teratur, maka Bung Hatta berkeyakinan kesengsaraan hidup akan berkurang bagi Pulau Jawa dan kemakmuran berangsur angsur akan bertambah.

Ulasan ini hanyalah mencoba untuk mengingatkan kembali tentang hal-hal prinsip yang telah banyak disinggung serta dikumandangkan dengan tegas oleh Bung Hatta di masa lalu.

Di luar lima poin diatas, tentu masih banyak lagi gagasan-gagasan lainnya yang hadir dari seorang Bung Hatta mengingat cukup banyak sekali Catatan yang Beliau tulis seputar perekonomian dan kebangsaan.

Selamat Hari Lahir ke-119 Sang Proklamator!!!

_______

*Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpsar

_____________________________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.     

Editor: E. Ariana

Related Stories