"Head and Heart for Good Governance"

AAN Eddy Supriyadinata Gorda (Balinesia.id)

Oleh AAN Eddy Supriyadinata Gorda*


ALIH-ALIH menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi yang didasarkan pada konsesus masyarakat. Belakangan masyarakat justru lebih banyak dikecewakan oleh kepemimpinan pejabat publik. Tulisan ini mencoba untuk mengulik bagaimana pejabat publik sebaiknya mulai menyentuh “Head and Heart” sebagai aspek dalam pengambilan kebijakan.

“Head and Heart”, jarak hati dan kepala hanya sejengkal, namun menyatukan kedua-duanya sepertinya sungguh sebuah perkara yang tidak mudah. Berkaca dari sudut pandang ilmu kepemimpinan dan manajemen, kepemimpinan publik sebenarnya akan diuji ketika menghadapi krisis.

Ketidaknyamanan tersebut menantang status quo seorang pemimpin, memaksanya untuk keluar dari zona equilibrium. Di satu sisi, krisis menimbulkan masalah, namun di sisi lain tantangan, ujian, masalah, dan cobaan yang muncul menghadirkan proses pembelajaran terhadap kepemimpinan publik seseorang. Dengan kata lain, krisis dapat merefleksikan dengan jelas kinerja kepemimpinan publik dan sejauh mana kinerja tersebut mampu memenuhi ekspektasi masyarakat.

Ketika dihadapkan pada krisis, semua berada di tengah ketidakpastian dan berkembang secara tidak terduga. Pemimpin didesak untuk bergerak cepat dalam cara-cara yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebagai konsekuensinya, untuk memunculkan hal tersebut “Head and Heart” harus mampu 
diseimbangkan.

Di sini menarik karena kedua hal ini dalam ilmu kepemimpinan seringkali dipertentangkan dan sebagian besar memilih untuk menempatkan dirinya lebih berat di satu sisi dibandingkan yang lain. Meski demikian, menurut pandangan saya pribadi kedua hal tersebut harus berjalan dengan seimbang. Ketika head and heart mampu beresonansi dengan baik maka tercipta sesuatu yang luar biasa.

Kita ambil contoh kebijakan PPKM yang diambil oleh pemerintah untuk menangani kasus Covid-19. Secara rasional (head) PPKM mungkin adalah salah satu jalan terbaik yang dapat dilakukan untuk 
menurunkan laju penularan Covid-19 dengan membatasi mobilitas penduduk secara ketat.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa sudah hampir dua tahun masyarakat berhadapan dengan pademi. Krisis demi krisis datang silih berganti. Harapan masyarakat kian menipis menghadapi krisis multidimensi yang berlarut-larut.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana tekanan hidup yang dihadapi. Disinilah aspek heart dalam bentuk empati dan toleransi perlu dimunculkan. Bukan pemberitaan dugaan kekerasan penindakan PPKM darurat atau dana bansos yang dikorupsi. Tidak mengherankan bila kemudian tren tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 semakin menurun.

Sebagai bahan refleksi kita bisa belajar dari Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru. Selama krisis, beliau mengadakan pengarahan rutin, baik formal maupun informal (yang terakhir menggunakan Facebook Live). Obrolan Facebook Live-nya menjadi populer di kalangan orang Selandia Baru karena menunjukkan bahwa beliau juga manusia, sama seperti kita.

Beliau berbicara tentang keprihatinannya sendiri untuk keluarganya, latar belakang keilmuan dibalik keputusan pemerintah dan kesulitan yang dialami selama lockdown berlangsung. Ardern membuat pembaruan yang positif dan menginspirasi serta mendesak orang untuk bersatu. Satu hal yang paling penting, beliau “mendengarkan” apa yang orang katakan.

BACA JUGA:

Kasus lainnya yang menarik untuk didiskusikan adalah carut marut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sempat viral di media sosial beberapa waktu yang lalu. Seolah seperti siklus tahunan, kisruh dalam proses PPDB selalu terulang. Tetapi ada yang berbeda tahun ini. Ratusan wali murid dan calon siswa baru, mendatangi Gedung DPRD Bali. Kedatangan para wali murid, ini untuk mempertanyakan nasib anak mereka yang “tercecer” dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2021.

Selain mengeluhkan karena sekolah negeri sudah ditutup, mereka juga sangat keberatan  dan biaya sekolah swasta yang mahal. Menanggapi keluhan para orangtua siswa, pihak terkait kemudian memberikan janji agar ratusan siswa tersebut diterima di sekolah negeri. Di beberapa kesempatan juga muncul wacana untuk mendirikan sekolah negeri. Sekali lagi langkah tersebut di lihat dari sudut pandang tertentu sangat rasional (head), agar pendidikan bisa dijangkau oleh berbagai kalangan.

Meski demikian, secara etika (heart) hal tersebut bertentangan karena menyebabkan sekolah swasta sebagai pihak yang tidak diuntungkan. Pemimpin selayaknya menjadi payung yang utuh, bukan payung yang bolong. Payung yang utuh menaungi dengan sempurna, bukan hanya bagian-bagian tertentu saja.

Kepemimpinan publik ketika sudah berada pada orientasi tingkatan tertinggi akan menjadi manusia yang tidak lagi berpusat pada ”saya” atau ”kami”, tetapi ”kita”. Sudah tidak lagi khawatir dengan nasib dirinya yang sudah selesai dengan dirinya. Perlu dipahami bahwa bagaimanapun, dorongan kepentingan diri (selfish) yang disembunyikan sedalam dan serapat apa pun, tetap tercermin pada perilaku.

Upaya yang dilandasi ketulusan dan nirkepentingan diri akan memberikan percikan harapan kepada masyarakat 
untuk bertahan dan keluar bersama-sama dari krisis yang tengah dihadapi. Barangkali ini yang disebut surya brata dalam Ajaran Asta Brata. Dimana dikatakan bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki 
sifat-sifat seperti Matahari (surya) yang mampu memberikan semangat dan kekuatan pada kehidupanyang penuh dinamika dan sebagai sumber energi.

Sebagai catatan terakhir dalam kepemimpinan publik, seorang pemimpin tidak bisa menyalahkan situasi. Dirinyalah kendali subyek penentu peristiwa. Ketika 
semua unsur kondusif bagi pelanggaran etis, harapan hanya ada pada kualitas pemimpin. Seimbangkanlah head and heart agar semua menjadi lebih sempurna.

_________

*Penulis adalah Ketua Perdiknas Denpasar

_____________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 

Editor: E. Ariana

Related Stories