Pandemi; Kita Butuh “Voice” Bukan “Noice”

A.A. Ngurah Eddy Supriyadinata Gorda (Balnesia.id)

Oleh A.A. Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda*
 

PERIODE pertama PPKM Darurat telah berakhir pada 20 Juli 2021, namun lonjakan kasus Covid-19 terus terjadi. Beberapa media internasional bahkan mengklaim bahwa Indonesia telah berubah menjadi episentrum baru penyebaran Covid-19 di Asia menggantikan posisi India.

Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah perlu dievaluasi kembali, termasuk dalam hal komunikasi terkait penanganan penyebaran virus korona, vaksinasi, termasuk langkah-langkah terkait upaya pencegahan. Di masa krisis seperti saat ini komunikasi memiliki peran dan fungsi signifikan. Saat semua orang berada dalam suasana yang serba tidak pasti dan tidak nyaman, pemilihan strategi komunikasi yang tepat menjadi sebuah hal yang tidak dapat dikesampingkan. Protokol komunikasi yang dijalankan pemerintah sama pentingnya seperti protokol kesehatan.

Dalam hal ini dibutuhkan kombinasi pendekatan yang menyentuh, kedisiplinan, keakuratan data, dan kepemimpinan yang empatik. Meski demikian, tampaknya sejak awal periode pandemi berlangsung hal tersebut belum mampu dijalankan secara baik oleh pemerintah. Sebut saja kejadian baru-baru ini di media sosial yang dibuat heboh oleh aksi oknum Satpol PP yang memukul pasangan suami istri (pasutri) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan saat melakukan razia PPKM Darurat.

Belum lagi narasi yang berkembang liar di media sosial perihal penanganan Covid-19 yang seringkali tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Harus diakui bahwa pemerintah terkesan kesulitan untuk membangun komunikasi publik yang baik. Sehingga sampai saat ini tidak ada pemahaman bersama antara pemerintah dan masyarakat mengenai cara pandemi ini harus ditangani. Semua memiliki pandangan dan caranya masing-masing.

Pada akhirnya noice lebih mendominasi dibandingkan dengan voice. Noise dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bermakna gaduh atau berisik. Informasi dan isu yang belum dapat dipastikan kebenarannya kita bisa golongkan ke dalam noise. Sementara, voice dimaknai sebagai sesuatu yang teratur, terpecaya dan mengandung kebenaran. Dengan kata lain, masih banyak kebohongan yang disebar daripada kebenaran.

Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Kebenaran menjadi sangat mahal harganya. Kebohongan menjadi sangat mudah diviralkan. Wabah Covid-19 adalah krisis kompleks yang terdiri dari beberapa titik pemicu; kesehatan, kebijakan, ekonomi. Krisis ini menghadirkan tantangan yang sangat rumit dan tidak ada jawaban yang mudah bagi pemerintah. Belum pernah pemerintah berada di bawah sorotan yang begitu intens oleh publik yang skeptis seperti saat ini. Komunikasi publik di saat krisis memang membutuhkan pendekatan yang berbeda.

Dalam kondisi krisis yang serius, semua orang yang terdampak umumnya akan terpapar informasi berbeda, memproses informasi secara berbeda, dan bertindak berdasarkan informasi yang berbeda. Oleh karena itu, pemerintah dapat menyesuaikan strategi komunikasi yang dipilih dengan karakteristik masyarakat sasaran. Kelompok masyarakat yang berbeda membutuhkan pendekatan komunikasi yang berbeda.

Perencanaan skenario yang tepat akan membantu masyarakat mengatasi krisis yang sedang berlangsung. Mengacu pada teori kepemimpinan setidaknya ada beberapa langkah perubahan yang dapat dilakukan dalam tata kelola komunikasi pandemi oleh pemerintah. Empati dan kepedulian. Menempatkan empati dan kepedulian sebagai elemen dasar komunikasi.

Dalam mengomunikasikan apapun, termasuk ketika menindak masyarakat yang sedang melanggar aturan, empati dan kepedulian diharapkan dapat menjadi ekspresi pertama. Misalnya ketika melakukan tindakan penertiban, menghimbau masyarakat bisa dilakukan dengan tindakan yang lebih persuasif. Modal dasarnya kebenaran tetapi ekspresikan dengan cinta. Akui ketakutan, rasa sakit, penderitaan, dan ketidakpastian yang mereka alami.

Kepakaran dan Keahlian. Dalam krisis, orang-orang tidak ingin "hanya memilih satu" dari banyak pesan, mereka ingin yang terbaik atau yang benar untuk diikuti. Pemerintah dapat mengambil alih peran ini dengan menunjukkan cara terbaik dalam mencegah dan menangani virus korona. Termasuk memberikan klarifikasi berdasarkan sains atas pandangan “ahli” lain yang dapat memicu munculnya perbedaan pandangan masyarakat.

Barangkali publik masih mengingat kemunculan dr. Lois Owien yang dengan lantang menyuarakan ketidakpercayaannya pada Covid-19. Kemunculannya di tengah situasi yang serba tak pasti di antara masyarakat yang tak sepenuhnya percaya pemerintah. Segala pernyataan dr Lois menjelma sebagai sebuah “kebenaran” baru bagi mereka yang meragukan keberadaan Covid19. Meskipun sudah diluruskan, kesalahpahaman publik telanjur ada.

Perbedaan pernyataan itulah yang akhirnya membuat sebagian masyarakat bingung walaupun ada juga yang akhirnya paham. Kendati sudah ditangani, siapa yang berani menjamin kelak di masa depan tidak akan ada lagi “dr. Lois” lain yang muncul dengan teori barunya. Sepanjang tahun 2020 saja persentase hoaks terkait Covid-19 mencapai 37 persen dari total 2.298 hoaks yang beredar. Belum lagi isu-isu kontroversial mengenai vaksin yang belakangan marak diperbincangkan.

Padahal, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, persentase hoaks menyangkut isu kesehtaan tidak pernah lebih dari 10 persen. Hoaks hanya bisa ditangkal dengan meningkatkan literasi digital dan membuka akses informasi yang valid dibandingkan dengan menangkap penyebar hoaks, karena informasi yang telah terlanjur menyebar sulit ditarik kembali, kalaupun bisa pasti membutuhkan waktu.

Kepakaran dan keahlian atas dasar sains harus terus dikedepankan pemerintah dalam mengomunikasikan segala kebijakan yang dilakukan. Jangan sampai berita bohong memperkuat pemahaman keliru masyarakat, hingga di titik dimana penyebaran hoaks menjadi lebih berbahaya dibandingkan dengan penyebaran Covid-19.

Komitmen pemerintah pusat hingga pemerintah daerah secara konsisten seyogyanya dapat menunjukkan komitmennya untuk menanggapi situasi krisis ini. Tunjukkan dedikasi dengan berbagi dalam pengorbanan dan ketidaknyamanan dalam keadaan darurat. Jangan sampai ada kelompok masyarakat tertentu yang merasa dirinya lebih tertekan dibandingkan kelompok masyarakat lain. Transparansi. Pemerintah hendaknya lebih transparan dalam menyampaikan data apapun berkaitan dengan Covid-19.

Transparansi data bisa meningkatkan kepercayaan publik kepada elite politik. Libatkan juga tokoh masyarakat atau pemuka agama informal untuk membantu mengedukasi masyarakat mengenai PPKM maupun kebijakan lainnya. Sekali lagi, percepatan penanganan Covid-19 tampaknya memerlukan perubahan tata kelola komunikasi yang mendasar. Terlalu banyak noise dibandingkan voice di masyarakat. Tujuan utama yang harus dicapai saat ini adalah menyamakan persepsi.

Sejauh ini berdasarkan pengamatan penulis belum ada persepsi yang sama tentang hal apapun berkaitan dengan Covid-19 sejak awal kemunculannya di Indonesia. Jika persepsi saja tidak sama bagaimana mungkin kita berpikir dan bertindak bersama? Sedangkan waktu terus bergulir, alih-alih berakhir, jumlah kasus terus bertambah. Sentuhan komunikasi efektif sangat diperlukan untuk menciptakan kejelasan, membangun ketahanan, dan mengkatalisasi perubahan positif sesegera mungkin. Jika tidak sulit rasanya membayangkan kita keluar dari krisis ini.

_________

*Penulis adalah Ketua Perdiknas Denpasar

_____________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

Editor: E. Ariana
Bagikan

Related Stories