Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah Soal Akses

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

DAHULU, di era Orde Baru (Orba), sebelum kegiatan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berlangsung maka ada kelompok orang-orang terpilih yang bekerja mempersiapkan bahan-bahan persidangan yang termasuk didalam struktur organisasi Badan Pekerja MPR yang akan menjadi pokok-pokok Ketetapan MPR (TAP MPR) dibentuk bersifat khusus dan sementara untuk sekali dalam masa 5 (lima) tahun periode kepemimpinan atau disebut Panitia Ad Hoc.

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 1997,  tentu saja  Badan Pekerja MPR ini telah terbentuk dan bekerja, adapun Panitia Ad Hoc ini selain beranggotakan unsur partai politik, dan utusan daerah, diantaranya juga berasal dari kalangan akademisi Perguruan Tinggi, tidak terkecuali dari Universitas Gadjah Mada (UGM), salah seorang yang memperoleh mandat, yaitu almarhum Profesor Doktor Mubyarto, Guru Besar Ekonomi UGM.

Dalam suatu kesempatan, berceritalah almarhum Profesor Mubyarto kepada kami mengenai "perdebatan" yang terjadi didalam Panitia Ad Hoc yang membahas soal perekonomian nasional, khususnya perekonomian rakyat.

Pada saat pembahasan mengenai terminologi "perekonomian rakyat" dengan berbagai keterbatasan akses ekonomi yang diperoleh rakyat selama masa pemerintahan Orde Baru, muncullah protes dari salah seorang anggota Panitia Ad Hoc yaitu Mbak Siti Hardiyanti Indra Rukmana atau lebih akrab dikenal dengan sebutan Mbak Tutut.  

Singkat cerita dari pembahasan dalam rapat Panitia Ad Hoc itu, adalah pernyataan dari Mbak Tutut, yaitu beliau merasa juga adalah rakyat juga, namun disanggah oleh almarhum Profesor Mubyarto, yang menyampaikan, bahwa "dalam posisi saat ini, anda bukanlah rakyat".

Lalu, apa kaitannya dengan kasus anak-anak Presiden Joko Widodo yang dipermasalahkan oleh Ubeidullah Badrun yang juga merupakan akademisi dari salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta, yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ) atas praktek korupsi, kolusi dan nepotisme saat ini? Yaitu, tidak lain adalah soal *AKSES EKONOMI* dari seseorang yang berasal dari kerabat pejabat publik dalam pemerintahan, baik pusat maupun daerah yang diterima berasal dari *AKSES POLITIK* nya.

Kenapa almarhum Profesor Mubyarto dan Doktor Ubeidillah Badrun mempermasalahkan posisi anak-anak pejabat publik dalam pemerintahan, khususnya Presiden tidak lain karena jabatan yang diemban oleh Bapaknya memungkinkan mereka secara khusus melabrak kepantasan, kepatutan dan kepatuhan dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Dengan posisi sebagai anak-anak pejabat publik apapun jabatan yang diemban, apalagi Presiden Republik Indonesia akan sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan diluar yang akan merusak sistem dan mekanisme pengelolaan berbangsa dan bernegara.

Melalui mereka anak-anak pejabat publik dan atau Presiden Republik Indonesia yang sangat dekat berinteraksi dengan Bapak atau Ibunya, maka banyak kalangan publik dan khalayak yang ingin memanfaatkan akses untuk memudahkan berbagai urusan mereka, termasuk melakukan berbagai cara diantaranya memberikan sebentuk saham dalam jumlah tertentu sebagai permodalan.

Pertanyaannya tentu saja adalah, apakah Mbak Tutut, Alissa dan Yenny Wahid, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gibran dan Kaesang beserta saudara-saudara, sanak kerabatnya kalau bukan ada hubungannya dengan jabatan Presiden Republik Indonesia akan dikenal publik dan memiliki pengaruh?

Maka itu, disinilah substansi atau pokok permasalahan terminologi "perekonomian rakyat" yang dipermasalahkan oleh almarhum Profesor Mubyarto jauh sebelum reformasi terjadi dan yang kemudian dipermasalahkan lagi oleh Ubeidillah Badrun dalam kasus Gibran dan Kaesang sang anak Presiden.

Bahwa, korupsi, kolusi, dan nepotisme justru potensi terbesarnya terjadi pada keluarga dan sanak kerabat pejabat publik, tidak hanya Presiden Republik Indonesia. Melakukan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme ini berarti membawa peradaban bangsa dan negara ke arah kegelapan atau merupakan tindakan primitif sebab hanya memanfaatkan kekuasaan atau *power*.

Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan para pendukung fanatik pejabat publik, khususnya Presiden Joko Widodo atas boleh atau tidaknya anak-anak, sanak dan kerabat Presiden Republik Indonesia dalam beraktifitas ekonomi dan politik, maka jawabannya adalah sejauh kegiatan ekonomi dan bisnisnya telah dirintis dimasa lalu tidak layaklah publik melarangnya.

Yang dipermasalahkan adalah saat orang tuanya menjabat dalam pemerintahan, maka banyak pihak yang memanfaatkan aksesnya, apalagi kemudian berkepentingan mengaburkan kasus kejahatan ekonomi nya terhadap rakyat, bangsa dan negara.

Jelas kegiatan ekonomi dan bisnis yang semacam ini sangat jelas *tidak dibolehkan* dan telah menjadi yurisprudensi TAP MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini diperkuat dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Teruslah berjuang saudaraku Ubeidillah Badrun, kami mendukung mu, sebab kami para alumni UGM sebagian juga prihatin atas praktek-praktek berbangsa dan bernegara pasca reformasi ini yang justru semakin jauh dari cita-cita dan amanatnya sejak para aktifis kampus UGM memperoleh dukungan dari para guru besarnya untuk memperjuangkan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, sebaliknya yang terjadi dengan para akademisi UGM saat ini hanya diam seribu bahasa dan seolah-olah "menikmati" bagian kekuasaan tersebut!  (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

 

Editor: E. Ariana

Related Stories