Dirilis, Sastra Saraswati Sewana 2022 Ketengahkan Gagasan Konservasi Air secara Holistik dari Hulu hingga Hilir

AAGN Ari Dwipayana (Balinesia/jpd)

Gianyar, Balinesia.id - Kegiatan Sastra Saraswati Sewana 2022 resmi dirilis bertepatan pada Purnama Kawulu, Senin, 17 Januari 2022. Pada tahun kedua gelaran tersebut, penyelenggara mengambil tema "Toya Uriping Bhuwana Usadhaning Sangaskara" yang menekankan gerakan penyadaran konservasi air secara holistik dari hulu hingga ke hilir.

Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, AAGN Ari Dwipayana mengatakan tema "Toya Uriping Bhuwana Usadhaning Sangaskara" berarti "Air Kehidupan Penyembuh Peradaban". Tema tersebut diangkat sebagai bagian dari gerakan kesadaran untuk menjaga, mengkonservasi, memuliakan air yang memiliki arti penting dalam laku masyarakat Bali.

"Bisa dikatakan sejarah peradaban Bali adalah sejarah peradaban air. Air memegang peranan penting, baik niskala maupun sekala. Agama Bali dikenal sebagai Agama Tirta. Air adalah medium  penyucian yang menghanyutkan segala kekotoran. Angayutaken laraning jagat," katanya melalui siaran virtual.

Baca Juga:

Selain bermakna kesucian, dalam peradaban Bali air juga dipercaya sebagai obat yang menyembuhkan. Proses penyembuhan dengan perantara air, misalnya ditemukan dalam ulasan lontar Usada Yeh. Dalam pustaka tersebut dijelaskan bahwa bermacam-macam penyakit dapat disembuhkan hanya dengan sarana air dan mantra.

"Air juga lokus sumber amreta, sari-sari kehidupan. Dalam Astadasaparwa, disebutkan bahwa amreta, air kehidupan, berada di laut, kemudian disembunyikan di sebuah gunung bernama Somaka Giri. Keberadaan amreta yang ada di gunung mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali, paling tidak dalam dua teks, yakni Tantu Panggelaran dan Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul," jelasnya.

Konsep air sebagai amreta juga sangat mempengaruhi unsur ritus-ritus masyarakat Bali. "Toya penting dalam patoyan. Tirta jadi penting dalam patirtaan. Semua upacara yang kecil hingga besar ditandai dengan kehadiran tirta, tirta panglukatan, tirta pabersihan, tirta pakuluh, tirta wangsuhpada, dan sebagainya," kata Koordinator Staf Khusus Presiden RI ini.

Pada gelaran tersebut, pihaknya juga menggandeng tiga perguruan tinggi Hindu yakni UHN IGB Sugriwa, Universitas Hindu Indonesia (Unhi), dan STAHN Mpu Kuturan untuk mengeksplorasi karya sastra dan kekayaan tentang air yang tersurat dalam teks maupun terwarisi dalam cerita rakyat. "Kita harus bergerak dari dua arah, ortodoksi dan otopraksis. Penting melihat otopraksis masyarakat Bali karena secara sekala sumber-sumber air jadi episentrum peradaban Bali. Klebutan, pancoran, beji, patirtaan, danu, dan segara adalah tempat-tempat penting untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual. Setiap odalan di pamerajan, pura, kahyangan, dipastikan diawali dengan melis, melasti ke sumber air," ucapnya.

Dalam laku yang lebih nyata, jelasnya, masyarakat Bali turut memiliki warisan institusi dan teknologi yang mengatur tata kelola air, yaitu subak. Dalam tradisi agraris jika sebuah subak mengawali masa nandur (menanam), selalu dimulai dengan upacara magpag toya (menjemput air).

"Meski air sangat penting dalam alam pikir dan manusia Bali, tapi harus diakui peradaban air sudah mengalami pergeseran. Jika di masa lalu, dalam konteks masyarakat agraris, episentrum air klebutan, tukad, danu, dan segara, sejalan dengan perubahan, terutama dalam budaya industri, maka pusat-pusat episentrum peradaban air sudah tidak lagi di sumber air, tapi di jalan, airport, mall. Musimnya bukan lagi musim tanam yang diawali dengan magpag toya, tapi sekarang yang lebih puting adalah musim high season atau low season dengan ritus magpag turis," ucapnya.

Baca Juga:

Krisis, kelangkaan air, berkurangnya debit air terjadi akibat penyedotan tanpa kendali dan terjadinya intrusi air laut juga menjadi tantangan Bali saat ini. Sementara di permukaan, air yang secara prinsip disucikan juga mulai tercemar oleh limbah dan sampah. Kelangkaan air di beberapa tempat di Bali pun justru menjadi sumber konflik. Air sudah berubah jadi komoditas yang diperdagangkan.

"Menghadapi krisis air, Yayasan Puri Kauhan Ubud mengambil inisiatif untuk melakukan edukasi, literasi, dan advokasi melalui gerakan kesadaran untuk menjaga dan memuliakan air dengan tajuk 'Toya Uriping Bhuwana Usadhaning Sangaskara'. Gerakan kesadaran ini akan mengambil lokus DAS Tukad Wos dalam kurun waktu setahun," katanya.

Kegiatan yang digelar juga menjadi realisasi harapan Yayasan Puri Kauhan Ubud untuk membangun role model penataan ekosistem sungai berbasis kearifan lokal dan budaya Bali. Di Bali, sungai, gunung, dan segara, adalah kesatuan ekologis yang dikenal dengan konsep sagara-ukir atau segara gunung yang terintegrasi satu dengan yang lain.

Pengangkatan narasi Tukad Wos juga tidak terlepas dari perjalanan Rsi Markandeya dari hilir ke hulu Tukad Wos, di mana pengikutnya banyak terserang wabah. Pada titik pertemuan dua sungai, yakni Campuhan Wos Lanang dan Wos Wadon, ia kemudoan memohon (ngredana) di Pura Gunung Lebah dan memperoleh obat atau ubad, yang menjadi asal-usul nama Ubud. Di sepanjang tukad Wos banyak ditemui beji, pancoran, pertapaan yang menjadi situs situs penting peradaban Bali.

"Gerakan konservasi ini mengajak penataan ekosistem secara holistik, terintegrasi berdasarkan kearifan lokal Bali. Terintegrasi dari hulu-hilir seperti konsep sagara ukir. Laut dan gunung satu kesatuan. Di gunung ada hutan, danau, ada mata air, di tengah hamparan, di hilir ada laut. Siklus air juga dari laut yang menguap jadi hujan dan turun. Maka air senantiasa mengalir," ucapnya.

Dalam ruang susastra, manusia Bali juga sudah memberi penekanan terhadap konsep konservasi tersebut yang secara jelas dinyatakan dalam Bhisama Batur Kalawasan. "Bahkan secara jelas, ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi (manusia Bali). Sampai saat ini di sepanjang Sungai wos kita mengenal Pasihan Batur, ini pernah ditulis dengan sangat menarik oleh Jero Penyarikan Duuran dalam buku Ekologisme Batur. Pasihan adalah kearifan lokal yang menulis harmoni hulu dan hilir, yakni antara kawasan hulu dengan danau dan sumber-sumber air dan pura-puranya, kemudian berharmoni dengan hilir, kawasan bagian selatan atau utara yang diyakini memperoleh manfaat dari keberadaan air yang ada di hulu, di danau Batur," jelasnya.

Adapun manfaat yang dirasakan masyarakat di hilir dalam konteks hari ini tampak dalam bentuk eksistensi sawah dan subak. "Itu sebabnya subak di bagian selatan maupun utara Bali selalu menghaturkan persembahan ke Pura Ulun Danu Batur, saat piodalan yang diselenggarakan di pura itu. Jadi, ada hubungan antara hulu dan hilir yang terbangun dalam tradisi ritual kita," katanya.

Ari Dwipayana menuturkan, ketika ia masih kecil ada tradisi yang hidup di Ubud yang diingatkan untuk naur karma bandana (membayar ikatan karma) pada masyarakat di hulu. "Kalau ada orang dari Batur datang kepada kami di Ubud,  membawa hasil pertanian mereka, kara atau yang lain, harus mampu dan mau ditukar dengan beras dengan masyarakat di pesisir. Oleh karena itu, kegiatan ini ingin membangkitkan kembali konsep  naur karma bandana, ingin merevitalisasi tradisi Pasihan Batur yang menjadi inspirasi jadi gerakan kesadaran konservasi air di DAS aliran sungai Wos," tegasnya.

Meski banyak dilimpahi catatan kearifan, pihaknya menilai persoalan tidak akan selesai hanya dengan membanggakan teks atau hanya bersandar dalam ritual, misalnya dengan memperingati tumpek atau yang lain sebagainya.

"Tapi, harus terbangun kesadaran bersama untuk jadi tindakan melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, anak-anak, desa adat, desa wisata, swasta, akademisi. Untuk itu Yayasan Puri Kauhan Ubud terpanggil untuk memanggil, melibatkan berbagai pihak untuk bergerak dalam gerakan kesadaran," katanya.

Kegiatan yang digagas pihaknya terdiri dari tiga gerakan penting. Pertama adalah gerakan di hulu Tukad Wos yang terkait dengan pemuliaan gunung, danau, dengan revitalisasi konsep alas kekeran, konservasi klebutan, dan kampanye konservasi danau. "Kita perlu revitalisasi konsep alas kekeran, bila perlu jangan hanya mewarisi, tapi juga membuat baru," katanya.

Selanjutnya, di bagian tengah akan dilakukan kegiatan bersama membersihkan Tukad Ws dari sampah. Menanam tanaman obat di DAS Tukad Wos, serta membersihkan pancoran dan tebing, revitalisasi desa wisata berbasis sungai dan mengingat arti penting campuhan.

"Di wilayah hilir yang merupakan bagian dari segara akan dilakukan pembersihan pantai, penataan muara, dan pemberdayaan masyarakat pesisir," katanya mewanti-wanti mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerakan tersebut. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories