Kinerja Pertamina Semakin Melorot, Akankah Bernasib Seperti Garuda Indonesia?

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Akhirnya apa yang dikhawatirkan banyak pihak, khususnya para pengamat energi menjadi kenyataan bahwa kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Holding Minyak dan Gas bumi (Migas) PT. Pertamina pada Tahun 2021 semakin melorot. Hal ini, jika mengacu kepada laporan keuangan sementara (belum diaudit/unaudited BPK) yang dipublikasikan, terlihat pendapatan BUMN Pertamina sepanjang 2021 adalah sejumlah Rp548,29 Triliun dan laba atau rugi bersih yang dapat dibukukan sejumlah tertentu belum terpublikasi, sebagaimana halnya telah dilakukan BUMN lainnya. Pendapatan BUMN PT. 

Pertamina (Persero) memang semakin melorot dari tahun ke tahun (paling tidak 3 tahun terakhir) yang dengan berbagai justifikasi, maka pandemi Covid-19 dan kenaikan harga keekonomian minyak mentah dunia dipastikan akan menjadi alasan klasik Dewan Manajemen.

Pada Tahun 2019, pendapatan usaha Pertamina yang tercatat adalah sejumlah US$54,79 Miliar atau senilai Rp798,40 Triliun dengan kekayaan (asset) sejumlah US$67,08 Miliar. Sedangkan pada Tahun 2020 pendapatan Pertamina adalah sejumlah US$41,47 Miliar atau senilai Rp604,30 Triliun dan membukukan laba bersih US$1,05 Miliar atau setara dengan Rp15,3 Triliun (asumsi nilai tukar US$1= Rp14.572). 

Dalam laporan keuangan yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut, membuktikan bahwa realisasi laba bersih perusahaan anjlok sebesar 58 persen dibanding realisasi laba bersih pada 2019 yang sejumlah US$2,52 Miliar. Jumlah pendapatan Pertamina pun semakin menurun jika dibandingkan dengan realisasi yang dicapai 2 (dua) tahun sebelumnya (2019) yang berarti mengalami penurunan signifikan sejumlah US$13,32 yaitu senilai Rp194,10 Triliun atau turun sebesar 24,32 persen.

Bahkan, berdasarkan data dan informasi yang diterbitkan (release) oleh Kementerian BUMN terhadap total laba BUMN hingga kuartal III-2021 yang sejumlah Rp61 Triliun, maka BUMN Pertamina tidak lagi berada dalam peringkat 10 (sepuluh) besar pemberi kontribusinya. 

Sejumlah 10 BUMN yang memperoleh laba terbesar, yaitu PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 25,66 Triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp21,05 Triliun, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Rp19,07 Triliun, PT PLN Rp12,45 Triliun, MIND ID Rp9,82 Triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp7,77 Triliun, PT Pupuk Indonesia Rp4,63 Triliun, PT Asabri Rp3,53 Triliun (baru saja kena kasus korupsi), PT Perkebunan Nusantara Rp2,95 Triliun, dan IFG Rp2,9 Triliun.

Terhadap perkembangan kinerja BUMN terbesar kebanggaan rakyat Indonesia ini, maka ketiadaan penyesuaian harga BBM jenis Pertalite dapat dipastikan menjadi penyebab utama melorotnya kinerja PT. Pertamina (Persero). Kinerja ini tentu akan semakin melorot, jika pada tanggal 18 September 2021 PT. Pertamina (Persero) melalui PT. Pertamina Patra Niaga, atau Sub Holding Commercial & Trading tidak menaikkan dua produk BBM non subsidi yaitu Pertamax Turbo dan Pertamina Dex.

Pertamax Turbo (RON 98) yang semula harganya Rp9.850 per liter dinaikkan menjadi Rp12.300 per liter, berarti terdapat perubahan sejumlah Rp2.450 atau sebesar hampir 25%. Kenaikan harga juga diberlakukan kepada Pertamina Dex (CN 53) yang semula harganya Rp10.200 per liter menjadi Rp 11.150 per liter  atau mengalami perubahan harga sejumlah Rp950 atau hanya sebesar 9,3% saja.

Namun, untuk produk BBM jenis lain seperti Pertalite tidak mengalami perubahan, dan mengikuti ketentuan yang telah diberlakukan pada jenis BBM non subsidi tersebut, padahal konsumsi Pertalite mencapai 70 persen dari total jenis BBM yang diperjualbelikan. Ketiadaan penyesuaian harga BBM jenis Pertalite ini tentu akan berpengaruh signifikan biaya atau beban operasional korporasi yang berakibat pada kondisi aliran kas (cash flow) Pertamina dalam jangka pendek untuk membeli sumber bahan baku yang lebih mahal, sementara harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan. 

Dalam jangka panjang, implikasinya adalah terkait dengan kebijakan subsidi energi dan transisi energi yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo tentu akan menghambat aksi korporasi BUMN Pertamina dalam mencari sumber pembiayaan ekonomis dan membayar kewajiban kepada pihak ketiga serta melayani masyarakat konsumen sampai ke daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).  

Sebelum terlambat, supaya tidak mengikuti jejak kasus ambruknya BUMN Garuda Indonesia, maka selayaknya Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang cepat, cermat dan tepat untuk melakukan penyesuaian harga dimaksud. Kenaikan harga BBM jenis Pertalite ini penting dalam kerangka mendukung mandat Presidensi G20 pada Presiden Joko Widodo dan komitmen COP26 untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan, dan Pertalite masih termasuk dalam jenis BBM yang tidak mendukungnya. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri


Related Stories