Ketidaktepatan Pemerintah Menghitung Alokasi Solar Subsidi

ILustrasi BBM (Pertamina)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membenarkan adanya permintaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina (Persero) terkait tambahan kuota solar subsidi dari 16,8 juta kilo liter (KL) menjadi 18,1 juta KL (perhitungan KESDM). 

Menteri ESDM Arifin Tasrif lalu menanggapi usulan BUMN Pertamina itu dengan menyatakan, bahwa kuota solar subsidi pada prinsipnya masih menggunakan pagu yang sudah ada (yang telah disepakati dalam APBN) sekaligus meminta agar BUMN Pertamina memastikan tidak ada kekurangan solar di lapangan, khususnya jelang akhir tahun serta kemungkinan adanya potensi yang bisa mengganggu distribusi solar, disatu sisi.

Sementara disisi yang lain, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga/PPN (sub holding C&T, Pertamina) Riva Siahaan mengatakan pihaknya meminta tambahan kuota solar tersebut seiring dengan meningkatnya konsumsi masyakarat, sedangkan pengendalian subsidi telah dilakukan melalui pendaftaran penggunaan QR Code dari Juli hingga Agustus 2023 . 

Peningkatan konsumsi itu, menghasilkan prognosa kebutuhan solar subsidi di akhir tahun kemungkinan akan mencapai angka 18,3 juta KL dari awalnya 19,6 juta KL. Pihak PPN memang sedang mengajukan penyesuaian kuota kepada Kementerian ESDM untuk dapat ditindaklanjuti oleh Kementerian Keuangan terkait penyesuaian pagu alokasi subsidi tahun anggaran 2023.

Pertanyaan terkait permasalahan ini, adalah apakah data realisasi penyaluran solar subsidi tahun 2022 lalu digunakan sebagai pedoman (data historis) dalam menentukan pagu anggaran alokasi subsidi solar untuk tahun anggaran 2023? 

Kalau alokasi solar subsidi tahun anggaran 2023 ditetapkan hanya sejumlah 16,8 juta KL, sedangkan realisasi penyalurannya tahun 2022 menurut Direktur Pertamina Nicke Widyawati sejumlah 17,5 juta KL apakah sudah tepat? Tentu sangat masuk akal (logis) jika menggunakan data realisasi faktual tahun 2022 akan terdapat kekurangan pasokan solar subsidi sejumlah 700 ribu KL. 

Inilah bukti sebuah perencanaan program dan kegiatan terkait pagu alokatif yang tidak didasarkan pada data obyektif-faktual realisasinya yang berdampak menimbulkan permasalahan realisasi faktualnya sejak dini.

Apalagi, ditambah data realisasi solar subsidi tahun 2022 menunjukkan konsumsi sejumlah 17,5 juta KL atau lebih tinggi dari pagu alokasi tahun 2023. Realisasi inipun terjadi pasca pemerintah juga menaikkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar subsidi menjadi Rp 6.800 per liter terhitung sejak 3 September 2022 dari awalnya Rp5.150 per liter atau terdapat selisih Rp1.650 per liter. 

Ternyata kenaikan harga solar subsidi tidak berpengaruh pada perilaku konsumsi kalangan masyarakat konsumen, dan sepatutnya pagu alokasi solar subsidi tahun 2023 ditetapkan kuotanya lebih tinggi sedikit dibanding tahun 2022, kecuali pemerintah serius melakukan pengendaliannya.

Dengan demikian, dapat dipastikan ketidaktepatan perencanaan pagu alokasi solar subsidi yang telah ditetapkan pada akhir tahun anggaran 2022 lalu menjadi sebab utama yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pasokan diakhir tahun 2023. 

Dan, ini merupakan kesalahan otoritas pembuat kebijakan, yaitu KESDM, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas bumi (BPH Migas). Sebab, sebagai operator Migas nasional BUMN Pertamina telah melakukan berbagai terobosan (breakthrough) yang lebih efisien dan efektif dalam mengatasi ketidaktepatan sasaran konsumsi alokasi BBM jenis solar subsidi ini. 

Atas dasar ini, tidaklah tepat menuding BUMN Pertamina yang bertindak sebagai operator menjadi pihak yang menanggung kesalahan dalam penentuan kuotanya.

Selain itu, permasalahan utama dalam setiap pengambilan kebijakan publik di Indonesia saat ini, adalah para pelaku industri, termasuk pemilik korporasi juga bertindak sebagai  pejabat pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung (insider trading), terdapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun lembaga eksekutif lainnya, bahkan di lembaga yudikatif. 

Maka dari itulah, dalam setiap penyusunan Rancangan Undang-Undang (terakhir RUU EBET terkait klausul power wheeling) dan pengambilan keputusannya sulit melepaskan dirinya dari konflik kepentingan dimaksud. 

Termasuk dalam hal ini kebijakan penentuan alokasi anggaran dan besaran alokasi subsidi untuk kepentingan kelompok masyarakat miskin yang sarat dengan kepentingan politik partisan, khususnya memasuki tahun politik 2024. ***


Related Stories