Impor Sapi: Apakah Kemandirian Pangan dan Ekonomi?

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Pada Hari Kamis. 6 Agustus 2020, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah melantik Direktur Jenderal atau Dirjen pada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) yang baru, yaitu Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc. Dirjen PKH pada Kementerian Pertanian (Kementan) sebelumnya, yaitu   I Ketut Diarnita setidaknya telah menorehkan sebuah perencanaan jangka panjang dalam mengatasi permasalahan impor sapi dan daging sapi yang membuat Indonesia tergantung atau tidak mandiri dalam mengkonsumsi daging sapi selama bertahun-tahun.  

Terhadap permasalahan ketergantungan itu, akhirnya Ditjen PKH, Kementerian Pertanian membuat sebuah inovasi melalui program bernama UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting).

UPSUS SIWAB merupakan sebuah program dari pemerintah untuk mempercapat peningkatan populasi ternak pada sapi bunting betina yang berumur 2-8 tahun. Diharapkan dengan meningkatnya populasi ternak sapi dan kerbau secara signifikan dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara merata. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting yang ditandatangani Menteri Pertanian pada tanggal 3 Oktober 2016.

Program ini juga merupakan  perwujudan komitmen pemerintah dalam mengejar swasembada sapi yang disasarkan (targetkan) oleh Presiden Joko Widodo tercapai pada tahun 2026 mendatang serta mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam pemenuhan pangan asal hewan, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat. Lalu, pertanyaannya adalah apakah kalau terdapat peningkatan kebijakan impor sapi dan daging sapi oleh pemerintah, maka program peningkatan populasi sapi untuk tujuan kemandirian pangan dan kesejahteraan petani serta peternak menjadi relevan?

Kebijakan Kontraproduktif

Pemerintah mengklaim terus berupaya untuk mengendalikan harga daging yang tinggi di pasaran, salah satu cara yang ditempuh yaitu melakukan peonggaran kebijakaj atas impor daging kepada swasta, yang sebelumnya hanya diberikan kepada BUMN. Akhirnya, kebijakan tersebut berimbas pada dibanjirinya daging impor di pasaran sepanjang bulan Maret 2022. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),  bahwa Indonesia telah melakukan impor sebanyak 22.816,8 ton daging jenis lembu dengan nilai US$ 73,93 juta atau setara Rp1,09 triliun.

Tentu saja, kebijakan ini menghasilkan realisasi impor daging jenis lembu pada bulan Maret 2022 meningkat 198,06% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yang volume impornya hanya mencapai 7.667,2 ton atau setara dengan US$ 24,81 juta (Rp365,9 miliar).

Padahal, sebelum adanya kebijakan impor ini Kementan menyatakan, bahwa kebutuhan impor daging sapi/kerbau pada tahun 2022 telah mengalami penurunan sejumlah 266.065 ton atau sebesar 6,4% dibandingkan dengan realisasi impor daging kerbau/sapi pada tahun 2021 yang sebesar 284.277 ton. Selain itu, berdasarkan data Ditjen PKH, Kementan, bahwa secara nasional jumlah populasi ternak sapi potong dan sapi perah tahun 2017 mengalami peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2016, dimana sapi potong 16,4 juta ekor (meningkat 2,70%) dan sapi perah 0,54 juta ekor (meningkat 1,22%).

Begitu juga pada tahun 2018 dimana sapi potong 17,05 juta ekor (meningkat 3,77%) dan sapi perah 0,55 juta ekor (meningkat 1,85%) dibandingkan tahun 2017. Bahkan, BPS mencatatkan jumlah populasi sapi di Indonesia pada tahun 2021 berjumlah 18,05 juta ekor. Angka ini lebih besar 3,52% dibanding tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 17,44 juta ekor.

Sehubungan dengan meningkatnya populasi ternak sapi, maka secara logis akan mampu diimbangi dengan pemenuhan konsumsi untuk dalam negeri yang berasal dari peternak dan kelompok peternak. Dengan kondisi tersebut memberikan peluang untuk dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan memberikan peningkatan pendapatan masyarakat peternak sapi Indonesia.

Tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh Dirjen PKH Nasrullah tentu menjadi semakin ringan, yaitu melanjutkan program UPSUS SIWAB yang telah dijalankan pejabat sebelumnya. Diantaranya, yaitu menyelesaikan permasalahan industrialisasi peternakan terintegrasi dari sektor hulu dan strategi perumusan kebijakan sektor hilirnya. Artinya tak sebatas soal produksi dan konsumsi daging ternak saja. Paling tidak, ada 2 (dua) persoalan penting yang harus dirumuskan dengan tepat, yaitu: Bantuan dan Subsidi, serta pendampingan manajemen kelembagaan konstitusionalnya dari kelompok peternak menjadi Koperasi yang telah memperoleh bantuan sapi dari pemerintah tersebut.

Namun, justru disaat terjadi peningkatan populasi sapi sebagai indikator keberhasilan program UPSUS SIWAB Kementan malah melakukan impor sapi dan daging sapi dalam jumlah besar. Adapun yang diimpor pada bulan Maret 2022 itu adalah daging jenis lembu yang terbesar jumlahnya berasal dari India dengan volume 16.464 ton. Disamping itu terdapat juga impor dari Australia sejumlah 4.627 ton, Amerika Serikat 889,65 ton, Selandia Baru 734 ton, Spanyol 99,4 ton, dan negara lainnya 2,7 ton. Melalui impor yang sebesar ini, apakah akan terwujud kemandirian pangan dan ekonomi seperti yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo, bagaimanakah keberlanjutan program UPSUS SIWAB yang telah dirintis sebelumnya?  

Kebijakan impor ini jelas kontraproduktif dan bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai sasaran swasembada daging sapi, kemandirian pangan dan ekonomi serta kesejahteraan petani dan peternak Indonesia. Ditengah wabah Penyakit Mulut dan Kaki sapi (PMK) yang berasal dari negara lain, maka impor sapi ini adalah tindakan mencari keuntungan atas penderitaan para peternak dan kelompok peternak apabila sapi yang dipelihara mereka tertular penyakit tersebut.

Yang paling diuntungkan oleh impor sapi dan daging sapi itu jelaslah para importir dan para perantara yang melakukan transaksi perdagangan luar negeri tersebut. Oleh karena itu, patut dicurigai adanya persekongkolan antara pembuat kebijakan dengan para pelaku usaha importir ditengah data populasi sapi di Indonesia yang meningkat. Tidakkah kebijakan ini semakin membuat masyarakat di sektor pertanian komplek ini bertindak fatalis, lalu bermigrasi ke sektor industri lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi. *

* Defyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universtas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories