Disparitas Harga: Usulan Kebijakan Harga dan Distribusi BBM Bersubsidi

Ilustrasi BBM (Pertamina)

Pemerintah mengklaim telah mengeluarkan anggaran subsidi energi hingga Rp502,4 triliun dengan tujuan untuk membantu masyarakat miskin atau tak mampu.

Mengacu pada informasi yang disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers di Hari Jum'at, 26 Agustus 2022 menyatakan, bahwa pemerintah telah memberikan alokasi subsidi dalam APBN sejumlah Rp6.800 per liter terhadap harga jual Pertalite di SPBU-SPBU penyalur yang Rp7.650 per liter.

Sayangnya, alokasi subsidi Pertalite itu hanya dinikmati oleh 20 persen kelompok masyarakat miskin dari anggaran yang digelontorkan hingga Rp93,5 triliun untuk kuota sejumlah 23,05 juta KL sampai akhir tahun.

Bahkan, menurut Menkeu Sri Mulyani anggaran yang besar tersebut, justru 80 persennya dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, dan dari jumlah tersebut 60 persen diantaranya dinikmati oleh orang sangat kaya atau *crazy rich* atau sekitar Rp60 triliun.

Yang lebih memprihatinkan justru konsumsi BBM bersubsidi jenis solar, rumah tangga miskin yang menikmati haknya ini hanya 5 persen saja, sedangkan 95 persennya dinikmati oleh rumah tangga mampu.

Artinya, alokasi anggaran subsidi untuk solar yang mencapai Rp149 triliun dengan jumlah kuota 15,01 juta KL, mayoritasnya juga terdistribusi pada kelompok masyarakat mampu. Nilai subsidi untuk solar yang diberikan pemerintah pada harga jual berlaku yang disalurkan Pertamina ke SPBU-SPBU adalah sejumlah Rp8.800 per liter dengan harga jual oleh PT Pertamina (persero) hanya sejumlah Rp5.150 per liter.

Masalah utamanya memang terletak pada harga jual ke masyarakat konsumen yang hanya 37 persen dari harga pasarnya, berarti terdapat disparitas sebesar 63 persen yang berpotensi dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tidak berhak.

Sesuai data Menkeu Sri Mulyani itu, maka total alokasi subsidi untuk BBM jenis solar dan pertalite yang telah terdistribusi mencapai Rp242,5 triliun dengan tingkat ketepatan sasaran penerima manfaat yang mengkonsumsi hanya sebesar 10-15 persen.

Sejumlah 85-90 persen alokasi subsidi yang didistribusikan atau sejumlah Rp218,25 triliun terjadi penyimpangan signifikan pada masyarakat konsumen yang tidak berhak mengkonsumsinya.

Secara matematis, dari jumlah alokasi anggaran subsidi kedua jenis BBM itu totalnya hanya mencapai Rp242,5 triliun. Dari alokasi anggaran subsidi untuk pertalite sejumlah Rp93,5 triliun, yang terdistribusi kepada kelompok masyarakat miskin hanya sejumlah Rp18,7 triliun (20%).

Sementara untuk solar subsidi, dari alokasi anggaran sejumlah Rp149 triliun yang terdistribusi kepada kelompok masyarakat konsumen yang berhak hanya Rp7,45 triliun. Total realisasi alokasi subsidi BBM jenis pertalite dan solar yang terdistribusi kepada kelompok masyarakat miskin hanya sejumlah Rp26,15 triliun saja.

Sisanya yang berjumlah Rp216,35 triliun dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu atau terjadi penyimpangan distribusinya oleh penyalur BBM tersebut.

Apabila menggunakan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) BPH Migas, besaran alokasi BBM bersubsidi pada Tahun 2022 masing-masing untuk jenis Solar ditetapkan sejumlah 15,8 juta KL dan untuk jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite total alokasinya sejumlah 23,05 juta KL.

Dan, mengacu pada data realisasi kuota kedua jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tersebut per tanggal 20 Juni 2022 yang telah mencapai 50 persen lebih. Maka, besaran realisasi untuk jenis BBM solar menurut BPH Migas telah mencapai 51,24 persen atau telah dikonsumsi sejumlah 7,73 juta KL atau alokasi anggaran yang telah terdistribusi kepada masyarakat konsumen sejumlah Rp47,91 triliun.

Sedangkan, realisasi Pertalite telah mencapai 57,54 persen atau sejumlah 13,26 juta KL setara dengan terdistribusinya alokasi anggaran subsidi sejumlah Rp85,73 triliun. Total realisasi alokasi anggaran subsidi kedua jenis BBM ini yang telah terdistribusi sejumlah Rp133,64 triliun.

Mencermati perkembangan data alokasi dan realisasi kuota dua jenis BBM bersubsidi tersebut, secara volume atau jumlah kilo liter-nya, yang terbesar memang disalurkan untuk pertalite. Namun, jumlah alokasi anggaran subsidi yang terbesar dengan volume atau jumlah kilo liter-nya lebih kecil justru diberikan untuk solar, dengan selisihnya sejumlah Rp55,5 triliun.

Padahal, tingkat penyimpangan distribusi dari alokasi subsidi solar persentasenya lebih besar dibandingkan dengan pertalite. Untuk mengatasi ketidaktepatan distribusi dari alokasi subsidi BBM pertalite dan solar untuk kelompok masyarakat pemanfaat terus berulang serta berkelanjutan, maka pemerintah harus mengambil kebijakan metode distribusi yang lebih efektif dan efisien.

Misalnya,  dengan menyalurkan alokasi anggaran subsidi BBM ini dalam bentuk tunai kepada masyarakat sasaran atau menempatkan titik serah terima khusus (bukan SPBU) BBM bersubsidi jenis solar dan pertalite untuk meminimalisir penyimpangan.

Dalam jangka pendek, jika pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali harus mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi terkait keluhan beban APBN. Maka, atas dasar data besaran alokasi dan realisasi distribusi solar dan pertalite yang telah disampaikan masing-masing otoritas itulah sebaiknya lebih tepat menaikkan harga solar bersubsidi. 

Sebab, selain faktor disparitas harga atas BBM non subsidi yang signifikan mempengaruhi perilaku penyimpangan distribusi BBM subsidi. Disamping itu, dengan kuota volume kilo liter lebih kecil, tetapi akokasi anggaran subsidi dalam APBN lebih besar malah menghasilkan penyimpangan distribusi terbesar persentasenya dibandingkan dengan konsumsi pertalite. 

Tentu saja kebijakan ini harus dilengkapi dengan sistem pengawasan dan pengendalian distribusi BBM bersubsidi yang berdaya guna dan terpadu. *

 

*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 

Tags Defiyan CoriBagikan

Related Stories