KUR Selalu Terbentur Jaminan

Ilustrasi kurs Rupiah terhadap Dolar AS (Ismail Pohan/TrenAsia)

Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah salah satu kebijakan program pro rakyat yang dimulai diera pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009. 

Program ini resmi diluncurkan pada tanggal 5 November 2007 dan pembiayaan KUR bersumber dari dana perbankan atau lembaga keuangan yang ditunjuk menjadi Penyalur KUR. 

Dana yang disediakan berupa dana keperluan modal kerja serta investasi yang disalurkan kepada pelaku UMKM individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang memiliki usaha produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau layak (feasible) serta belum bankable (tidak memenuhi syarat bank). Dana yang disediakan untuk modal kerja serta investasi program KUR ini menyasar pada lima (5) sektor usaha, yaitu sektor pertanian, perikanan, kelautan, koperasi, kehutanan, perindustrian, dan perdagangan.

Sementara itu, bunga pinjaman KUR ditetapkan sebesar16 persen, dengan plafon pinjaman maksimal Rp500 juta per debitur. Antusiasme dan kinerja penyaluran KUR sudah terlihat sejak awal kemunculan program ini diluncurkan Presiden SBY. Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), realisasi penyaluran KUR pada 2007–2014 mencapai Rp178 triliun dengan 12,4 juta penerima pinjaman yang berakad. 

Kredit macetnya (NPL) pun berada pada rentang 1,06- 3,3 persen saja. Jumlah ini melonjak sampai tahun 2018 menjadi Rp447,5 triliun dengan jumlah 24 juta akad kredit. Sedangkan tahun 2022 penyaluran KUR berada pada level 97,95 persen atau senilai Rp365,5 triliun dari sasaran (target) Rp373,17 triliun.

Pertumbuhan Kredit Tanpa Jaminan
Setelah KUR dijalankan itulah, realisasi penyaluran dan jumlah debitur yang mampu beroleh akses pembiayaannya terus mengalami peningkatan secara signifikan. Agaknya keberhasilan persentase realisasi KUR yang rata-rata diatas 85 persen inilah menjadi dasar pasca tahun 2013  alokasi KUR ditingkatkan diatas Rp100 triliun, dimulai pada tahun 2014 alokasi KUR ditetapkan sejumlah Rp133,18 triliun. 

Lalu, pada tahun 2018 terjadi perubahan suku bunga KUR menjadi hanya sebesar 7%. Pada tahun 2019, pemerintah menurunkan suku bunga KUR sebesar 6% dan selanjutnya yang terus berjalan ditetapkan antara 3-6 persen sesuai kategori debitur dan status pinjamannya.

Kemenko Bidang Perekonomian menyatakahn penyaluran KUR telah melonjak Rp278,71 triliun dengan pemanfaat sejumlah 7,35 juta debitur. Selama tahun 2022, sekitar 66,29% penyaluran KUR disalurkan ke sektor usaha mikro, sebesar 31,95% ke usaha kecil, lalu 1,75% tersalur ke usaha super mikro, dan 0,01% menyasar kepada pekerja migran Indonesia (PMI). Secara kumulatif, sejak periode 2014-2022 nilai akad penyaluran KUR sudah mencapai Rp1.308 triliun dengan total jumlah debitur 43,76 juta orang. 

Adapun bank penyalur KUR terbesar selama periode tersebut masing-masing secara berurutan, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional masih diabaikan oleh kebijakan pemerintah.

Dibalik kesuksesan peningkatan jumlah alokasi KUR dan penerima manfaatnya, ternyata masih terdapat permasalahan sasaran penerima manfaat atau debitur sasarannya. KUR, ternyata hanya menyasar pada kelompok yang memiliki status formal, berbadan hukum, dan persyaratan jaminan (collateral) yang tidak ringan. Syarat jamiman yang berat ini dapat mengakibatkan jumlah penerima KUR akan stagnan pada kelompok penerima yang sama secara berganda dan cenderung berpotensi menimbulkan kredit macet dikemudian hari. Selain itu, ditengah upaya pemerintah yang terus mendorong percepatan penyaluran KUR, beberapa Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Koperasi Simpan Pinjam Penyalur KUR masih mengalami kendala dalam penyaluran KUR.

Adalah migrasi basis data pencatatan kredit/pembiayaan nasional yang semula dilakukan berdasarkan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (SID BI) menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (SLIK OJK), ikut berdampak pada proses penyaluran KUR pada entitas koperasi dan usaha non formal perorangan. Syarat yang diberikan dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR, diatur bahwa setiap Penyalur KUR wajib melakukan pengecekan data calon debitur KUR melalui Sistem Informasi Debitur atau Sistem Layanan Informasi Keuangan perlu dikoreksi dan lebih faktual atas permasalahan syarat jaminanan dari debitur. 

Hal ini masih mempersulit calon debitur KUR dalam mengakses pinjaman sehingga proses verifikasi data calon debitur beroleh pinjaman terhambat.

Disamping itu, untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan cara menggerakkan sektor riil, maka seharusnya kebijakan pembiayaan KUR bagi UMKM di sektor produksi porsinya ditingkatkan. Sampai tahun 2017, penyaluran KUR sektor produksi hanya sebesar sebesar 43,2% dari total penyaluran sebesar Rp 37 Triliun. 

Kinerja penyaluran KUR sektor produksi tahun 2018 mengalami sedikit perbaikan, yaitu secara nominal meningkat sejumlah Rp5,4 triliun dibanding bulan Mei 2017 yang hanya Rp16 triliun atau menjadi Rp21,4 triliun pada Mei 2018. Namun jika dilihat dari porsi penyaluran KUR sektor produksi terhadap total penyaluran kredit ke debitur justru terjadi penurunan porsi penyaluran yaitu dari 43,2% pada Mei 2017 menjadi 38,4% pada Mei 2018. Dalam Rapat Koordinasi Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi UMKM pada 22 Juli 2022, Menko Perekonomian Airlangga menyampaikan bahwa sasaran alokasi penyaluran KUR pada tahun 2023 telah ditetapkan sebesar Rp470 triliun dan Rp585 triliun pada 2024.

Selanjutnya, menurut data Kemenko Perekonomian sampai pertengahan Desember 2022 nilai sisa pinjaman yang belum dikembalikan (outstanding) debitur KUR mencapai Rp476 triliun dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) hanya sebesar 1,1%. 

Oleh karena itu, agar KUR dapat dipacu lebih cepat penyalurannya disektor produksi maka syarat jaminan bagi debitur yang ketat harus dilonggarkan oleh pemerintah. Pelonggaran itu tidak hanya terbatas pada debitur yang masuk dafta hitam (black list) BI, namun juga kebijakan periode kelonggaran (grace period) untuk kelompok sektor produksi.

Untuk itulah, pemerintah harus mendorong peran entitas ekonomi dan bisnis Koperasi (pro rakyat) lebih berperan dalam penyaluran KUR. Tentu saja, kemampuan dan keahlian Koperasi harus diseleksi terlebih dahulu agar kasus-kasus penyimpangan dana program pemerintah dapat diminimalisir. 

Salah satu alternatif yang dapat menjaminnya adalah melakukan program bantuan pendampingan manajemen teknis yang diberikan kepada konsultan manajemen individu/lembaga bekerjasama dengan Perguruan Tinggi. Melalui cara ini, maka pemerintah akan dapat mengalihkan jaminan efektifitas dan efisiensi penyaluran dana KUR, termasuk menjatuhkan penghargaan dan sangsi (reward and punishment) pada konsultan manajemen yang berkinerja positif.

Last but not least,  tanpa adanya perubahan kebijakan jaminan (collateral) seperti yang diberlakukan perbankan akan sulit bagi masyarakat kecil yang tak memiliki jaminan mendapatkan haknya atas KUR. Tugas pokok dan fungsi pemerintahlah yang harus melembagakan masyarakat kecil dalam membentuk kelompok penerima KUR dimaksud. 

Salah satu upaya penting, adalah penguatan kelembagaan badan hukum Koperasi yang dijamin oleh konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 dengan melakukan pembenahan manajemennya. Sebab, mustahil sasaran pertumbuhan ekonomi dapat dicapai lebih dari 5,2 persen apalagi menghapus kemiskinan dan pengangguran ekstrem hingga 0 persen ditahun 2024 dengan menggunakan paradigma kapitalisme! (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Rohmat

Related Stories