Bukan Sekadar Tarian, Baris Batur Cermin Ksatria Bhatari Danu

Program Macandetan dan Masolah Yayasan Janahita Mandala Ubud, Minggu, 30 April 2023 di Jaba Tengah Pura ulun Danu Batur. (Balinesia.id/jpd)

Bangli, Balinesia.id – Sebagai salah satu desa adat yang menjaga satu pura besar dan penting di Bali, yakni Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur memiliki sejumlah piranti yadnya. Dua di antaranya adalah gong adat dan baris adat.

Kedua piranti adat ini bersifat sakral dan hanya dipentaskan untuk menyempurnakan ritual-ritual yang dilangsungkan di desa yang pernah terkena bencana besar erupsi Gunung Batur pada tahun 1926 itu.

Dalam upaya menelisik keberadaan dua warisan budaya tersebut, Yayasan Janahita Mandala Ubud yang bekerja sama dengan Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur, dan Lingkar Studi Batur menggulirkan diskusi bertajuk “Mudra Suara: Menelisik Pagongan dan Baris Batur”, Minggu, 30 April 2023 lalu. Diskusi merupakan bagian dari dua program unggulan Yayasan Janahita Mandala Ubud, yakni Masolah dan Macandetan.

Baca Juga:

Tiga narasumber diundang dalam diskusi yang digelar secara hybrid dari Jaba Tengah Pura Ulun Danu Batur. Ketiganya adalah Guru Wayan Kridit yang merupakan Jero Kraman Desa Adat Batur, Pande Gede Mustika yang merupakan seniman Gong Gede Tejakula dan pensiunan dosen ISI Denpasar, serta Made Ringan yang merupakan Jero Baris Desa Adat Batur. Diskusi dipandu akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Wayan Diana Putra

Made Ringan dalam paparannya mengatakan bahwa tari baris yang ada di Batur bukan sekadar tarian. Tari Baris Batur merupakan representasi dari ksatria pasukan Ida Bhatari Dewi Danu—entitas dewa yang dimuliakan di Pura Ulun Danu Batur. “Baris Batur itu sakral, ditarikan hanya ketika Ida Bhatari dipersembahkan pujawali, yakni jika pujawali menggunakan wewalungan (kurban) binatang berkaki empat,” katanya.

Baca Juga:

Ia mengatakan, sebagai perwujudan pasukan tempur, maka tari baris ditarikan sebelum pelaksanaan upacara. Setelah baris rampung, kondisi dianggap telah aman, sehingga masyarakat bisa melakukan upacara secara aman.

“Di Batur ada lima baris, yakni Baris Jojor, Baris Gede, Baris Bajra, Baris Perisi, dan Baris Dadap, tetapi konon dahulu yang inti hanya tiga, di mana Baris Bajra dan Baris Perisi dibuat belakangan sebagai pelengkap, sehingga dikenal sebagai Baris Panca Pandawa,” katanya.

Keberadaan Baris Batur sebagai simbol kepahlawan juga tampak ketika dilaksanakan iring-iringan Ida Bhatara di Pura Ulun Danu Batur, di mana kelompok atau Tempek Jero Gambel Desa Adat Batur dan Jero Baris Desa Adat Batur berada di depan iring-iringan. Posisi mereka di depan pralingga Ida Bhatara yang jika di daerah lain di Bali umumnya ditempatkan di belakang pralingga Ida Bhatara.

“Gong itu sebagai pertanda, jika misalnya ada kondisi gawat maka akan dipukul sebagai pertanda bahaya. Jika demikian, baris yang merupakan pasukan itu akan maju,” kata Ringan.

Baca Juga:

Hal senada dinyatakan Guru Wayan Kridit. Salah satu tetua desa di Batur ini menjelaskan bahwa Gong Gede Batur merupakan gong sakral yang tidak sembarangan bisa ditabuh. Cara menabuhnya pun memiliki tatanan yang tegas.

“Gong Gede Batur unik, lengkap, berbeda dengan gong yang ada di Bali. Siapa yang boleh menabuh gong, itu ada aturannya. Di Batur ada sekaa yang disebut Jero Gambel. Ini yang boleh menabuh,” katanya.

Terkait dengan waktu, Gong gede Batur hanya bisa ditabuh ketika pujawali Purnama Kadasa, Purnama Kelima atau Kelima Nadi, Purnama Kasanga, Kapat, dan upacara besar lainnya. “Ketika Ida Bhatara lunga masucianmelis (pembersihan arca, red) hanya digunakan bebonangan. Di Batur, kalau iring-iringan gong berada di depan, diawali dengan canggah gong, setelah itu baru gong, Jero Baris, dan seterusnya,” terangnya.

Baca Juga:

Pande Gede Mustika mengatakan hal yang tidak jauh berbeda. Ia mengatakan bahwa Gong Gede Batur sangat lengkap. Oleh karena itulah ketika ia menjadi dosen di ISI Denpasar kemudian memilih tabuh Pari Anom Gong Gede Batur sebagai salah satu tabuh wajib dalam kurikulum.

“Gong gede di Batur bentuk gendingnya sangat komplit. Ada Gilak, Tabuh Telu, Tabuh Pat, Tabuh Nem, Tabuh Kutus. Ada Tabuh Kutus Sembiran, Lomba-Lomba, Lasem Gede, Palegongan,” katanya.

“Karena itu di ISI Denpasar kemudian Gong Gede Batur digunakan sebagai kurikulum, yakni Tabuh Telu Mara Bangun, kemudian Tabuh Pat, Pari Anom. Ini memiliki ciri khas, memiliki keunikan tersendiri, di mana-mana mendengarkan tabuh lelambatan, akan tahu ciri khas gambelan yang mana,” kata akademisi yang sempat melakukan penelitian terhadap Gong Gede Batur pada tahun 2006 lalu. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories