Pegunungan Kintamani Kantong Penting Spiritualitas Bali

Narasumber dan moderator Rembug Sastra Sarasastra. Dari kiri ke kanan (I Gusti Suarbhawa, I Ngurah Suryawan, IGA Darma Putra, dan Putu Eka Guna Yasa). (Balinesia.id/IST)

Bangli, Balinesia.id – Pegunungan Kintamani menjadi satu kantong spiritual penting Pulau Dewata sejak masa silam. Ini terbukti melalui tinggalan-tinggalan benda arkeologi hingga di khazanah sastra klasik kini.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Gusti Made Suarbhawa, dalam makalahnya yang disampaikan dalam Rembug Sastra Sarasastra ke-32 Yayasan Janahita Mandala Ubud bertajuk “Batur Atiti Masa: Peradaban Batur Masa Kuno, Spiritualitas, dan Respon Kini”, Minggu, 30 April 2023 meyakini bahwa Pegunungan Kintamani telah dihuni manusia sejak masa prasejarah yang ditunjukkan dengan ditemukannya benda-benda berbahan batu khas prasejarah seperti kapak genggam dan kapak perimbas di undakan Trunyan dan Kintamani.

Selanjutnya, pada masa klasik puluhan prasasti Bali Kuno ditemukan dari rentang masa abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi. Pada prasasti-prasasti itu pula ditemukan narasi bahwa di kawasan tersebut telah eksis kantong-kantong spiritual. 

“Melalui paparan Prasasti Sukawana AI kita dapat mengetahui bahwa pada masa itu telah ada bangunan suci yang dikenal sebagai ulan berlokasi di Kebun Bukit Cintamani atau Bukit Cintamani Mmal,” katanya dalam diskusi yang juga menghadirkan akademisi Universitas Hindu Indonesia, I Gde Agus Darma Putra dan akademisi Universitas Warmadewa, I Ngurah Suryawan.

Baca Juga:

Menurut Prasasti Sukawana AI, lanjut Suarbhawa, raja yang berkuasa pada masa itu memerintahkan Senapati Danda untuk membangun pertapaan yang dilengkapi dengan pasanggrahan di wilayah hutan perburuan raja agar dapat digunakan sebagai tempat menginap baggi orang yang hilir-mudik. “Termasuk juga membangun bangunan suci Hyang Api dan Hyang Tanda,” jelas Suarbhawa di Madya Mandala Pura Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli.

Tapak-tapak spiritual di kawasan Pegunungan Kintamani juga dapat dilihat melalui paparan Prasasti Kintamani yang menjelaskan sebuah satra atau pasanggrahan di Air Mih. Sementara, di desa-desa yang terletak di tepi Danau Batur juga dijelaskan eksistensi Bhatara Da Tonta di Trunyan, Sang Hyang Silih Diri di Kedisan, serta pemujaan Bhatara Ganapati di Tumpu Hyang. 

Selain itu, dalam Prasasti Manikliyu AII, disebutkan eksistensi Patapan Langgaran yang saat ini menjadi Pura Petapan di Desa Lembean, Kintamani, sedangkan menurut Prasasti Dausa Puri Bukit Indrakila AI dijelaskan narasi Bhatara Bukit Humintang.

Baca Juga:

“Seiring berjalannya waktu, tapak-tapak spiritual ini berkembang seiring dinamika geopolitik dan perekonomian di masa Bali Kuno, Bali Pertengahan, zaman Kolonial, hingga zaman Pascakemerdekaan yang berimplikasi pada perubahan fisik dan nonfisik tapak tersebut. Beberapa di antaranya menjadi pusat orientasi spiritual yang mampu menembus ruang Perbukitan Kintamani, bahkan sebagai pusat orientasi spiritual Pulau Bali,” kata dia.

Dalam dimensi sastra, Darma Putra dalam makalahnya “Baturisme: Menggali Tubuh Sendiri” mengkhususkan pembahasan pada seluk-beluk tentang Batur di khazanah sastra klasik. Ia pun menilai Batur bukan saja nama sebuah kawasan dan komunitas, namun telah menjadi semacam “ideologi”.

Ada sejumlah lontar yang membahas Batur, misalnya Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul. Lontar ini menyebut bahwa di Gunung Batur berstana Hyang Narakresna yang layaknya seperti Dewa Wisnu. “Jika diterjemahlan, Narakresna berarti ‘manusia hitam’. Siapa dia?” tanyanya.

Baca Juga:

Selanjutnya, Babad Pasek menyatakan Batur sebagai parhyangan Dewi Danu yang adalah adik dari Bhatara Putrajaya yang kemudian berparhyangan di Besakih. Eksistensi Batur juga tampak pada lontar Raja Purana Pura Ulun Danu Batur yang terdiri atas belasan cakep lontar. “Batur dalam lontar Raja Purana Pura Ulun Danu Batur adalah manajemen tradisional dan pusat orientasi subak. Lontar ini juga memuat tata aturan untuk masyarakat yang mesti diingat, bahkan lebih khusus lagi ada aturan tentang perkawinan dalam lontar Gama Patemon,” katanya.

Selain itu, di dalam Kakawin Purwaning Gunung Agung secara khusus bahwkan Danau Batur dinyatakan sebagai Tirtha Mahamreta Mahottama yang dapat diartikan sebagai air yang sangat utama. Danau Batur disebut sepadan dengan Gunung Batur sebagai Gunung Apuy.

“Menurut cara pandang desa-kala-patra, tiap-tiap kelompok sosial memiliki ruang, waktu, dan aturan mainnya sendiri-sendiri. Cara pandang ini yang menjelma menjadi tata prilaku manusia di dalamnya, yang membuat Batur berbeda dengan daerah lainnya,” pungkasnya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories