pertamina
Selasa, 05 April 2022 17:14 WIB
Penulis:Rohmat
Editor:Rohmat
Publik kembali harus menerima kenyataan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax 92 dan termasuk BBM non subsidi. Kenaikan harga Pertamax 92 non subsidi yang resmi berlaku pada 1 April 2022 merupakan pilihan dilematis bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Pertamina (Persero), ibarat memakan buah simalakama.
Paling tidak publik harus memahami posisi BUMN Pertamina yang merupakan Holding Minyak dan Gas (Migas) saat ini beroperasi tidak hanya merujuk pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 (UU 22/ Tahun 2001) tentang Minyak dan Gas dan berbeda secara diametral dengan posisi BUMN Pertamina saat menerima mandat UU 8/Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Negara, yang memberikan kewenangan cukup besar kepada Pertamina dalam mengusahakan minyak dan gas bumi di Indonesia: mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, hingga pengangkutan dan penjualan.
Pasca reformasi, jelas posisi Pertamina berubah secara drastis, yangmana sektor hulu dikelola oleh Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) dan hilirnya berada dalam kewenangan Badan Pengelola Hilir Migas (BP Migas). Hal ini diperburuk oleh kondisi Indonesia yang dulu merupakan negara produsen minyak dan gas (salah satu anggota OPEC), dan pernah merasakan kejayaan hasil migas (boom minyak) Tahun 1970-an, maka sejak Tahun 2003 telah berubah menjadi negara importir penuh (net importir).
Selain itu, penentuan harga minyak mentah telah mengacu pada harga keekonomian dunia, yang berarti produk migas adalah komoditas pasar. Pada posisi inilah seharusnya publik menilai secara rasional konsekuensi yang harus dihadapi oleh BUMN Pertamina terkait kebijakan harga BBM yang harus disediakan dan dijual kepada para konsumen masyarakat sehingga lebih komprehensif dalam menempatkan kesalahan kebijakan dalam sektor industri minyak dan gas bumi oleh Negara dan mandat yang diberikan kepada Pertamina.
Aturan Berlapis
Pertamina (tentu saja melalui izin pemerintah) telah menetapkan kenaikan harga BBM dengan jenis RON 92 (non subsidi) dari sekitar Rp 9.000-Rp 9.400 per liter menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter di 34 provinsi, Indonesia. Alasan kenaikannya, yaitu telah terjadinya kenaikan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) per 24 Maret 2022 mencapai US$114,55 dollar per barrel, atau melonjak hingga 56 persen dari periode Desember 2021 yang sebesar US$73,36 dollar per barrel. Namun, untuk BBM subsidi seperti Pertalite tidak mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp 7.650 per liter. Sementara itu, data Pertamina menunjukkan porsi konsumsi BBM subsidi mencapai 83 persen, sedangkan porsi konsumsi Pertamax yang non subsidi hanya sebesar 14 persen.
Dengan porsi seperti ini, maka secara hukum ekonomi memang tidaklah layak harga BBM Pertamax dinaikkan, namun menaikkan harga Pertalite yang awalnya non subsidi tentu tidaklah cocok karena porsi konsumsi nya masih besar. Lebih dari itu, tidaklah mudah bagi BUMN Pertamina melakukan perubahan kebijakan harga BBM disebabkan oleh aturan yang berlapis.
Pada awalnya, Pertalite yang merupakan jenis BBM RON 90 termasuk kategori non subsidi, yang kemudian diputuskan oleh pemerintah menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Artinya, Pertalite menjadi BBM yang distribusinya diatur oleh pemerintah ke wilayah penugasan dan dapat alokasi subsidi melalui skema pemberian kompensasi nantinya kepada PT Pertamina (Persero) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kecenderungan harga keekonomian minyak mentah dan gas dunia terus meningkat telah tampak dan faktual selama bulan Januari-Nopember 2021, yaitu bergerak diantara US$70-80 per barrel. Sementara itu, asumsi ekonomi makro untuk harga minyak mentah dalam APBN TA 2022 telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sejumlah US$63 per barrel atau sama dengan ketetapan asumsi harga TA. 2020. Namun, apa yang akan terjadi apabila kebijakan harga dan asumsi ekonomi makro terkait harga minyak mentah ini kembali meleset jauh lagi, apa resiko dan dampaknya bagi kinerja BUMN Pertamina yang terus mengalami penurunan laba sejak Tahun 2014 atau 6 (enam) tahun terakhir.
Penurunan laba bersih BUMN PT. Pertamina (Persero)yang cukup signifikan terjadi pada Tahun 2014. Laba Pertamina saat itu anjlok 45%, dari Rp33,8 Triliun di tahun 2013 menjadi Rp18,5 Triliun Tahun 2014. Penurunan laba bersih terus berlanjut setiap tahun, dan pada Tahun 2020 laba bersih konsolidasi (audited) hanya mencapai senilai US$1,1 Miliar atau setara Rp15,6 Triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nominal tersebut anjlok 58,4% dibandingkan pada 2019 yang berhasil dicapai sejumlah US$2,53 Miliar atau setara Rp35,9 Triliun. Laba bersih yang dicapai tersebut juga belum mampu menyamai perolehan laba bersih BUMN Holding Migas ini pada Tahun 2013.
Disamping itu, pada TA. 2021 harga minyak mentah dunia ditetapkan dalam asumsi ekonomi makro APBN sejumlah US$ 45 per barel, yang disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai "asumsi the worst is over" saat melakukan konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2021, pada Hari Jumat, tanggal 14 Agustus 2020 yang lalu. Selisih kurang asumsi ekonomi makro atas harga keekonomian minyak mentah dunia sampai mencapai US$45 per barrel, yang berarti kemampuan kalkulasi Menteri Keuangan dalam menetapkan asumsi tidak memadai apalagi mumpuni. Tentu saja, konsekuensi penganggaran ini akan berpengaruh kepada kinerja keuangan negara dan BUMN Pertamina yang harus menanggung beban kompensasi subsidi migas dan selisih harga bahan baku dengan harga jual ke konsumen akhir.
Kebijakan semakin diperburuk oleh, Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah berulangkali merevisi aturan terkait penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebijakan yang mengatur harga BBM ini kembali direvisi dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.69 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 191 Tahun 2014 dan 43 Tahun 2018) yang ditandatangani pada 3 Agustus 2021.
Perpres itu, selain mengatur penugasan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM Tertentu (JBT) yaitu jenis solar (gas oil) dan minyak tanah (kerosene), juga mengatur BBM khusus penugasan jenis RON 88 atau Bensin/Premium kepada Badan Usaha. Perpres ini juga mengatur tentang ketentuan harga jual eceran jenis BBM tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tersebut. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 14 terkait harga jual eceran BBM yang ditetapkan melalui peraturan atau keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Apabila terdapat perubahan harga jual eceran JBT dan JBKP sebagaimana dimaksud dalam materi Perpres tersebut, maka Menteri menetapkan harga jual eceran JBT dan JBKP berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. Disamping itu, Perpres juga memberikan kewenangan Menteri dalam menetapkan harga jual eceran JBT dan JBKP yang berbeda dengan perhitungan badan usaha dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro. Perpres ini juga mengatur kewenangan Menteri menetapkan formula harga dasar yang terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin dari badan usaha, termasuk jenis BBM Umum.
Berdasar penetapan kebijakan harga dan non harga yang demikianlah, maka dampak negatifnya mengarah kepada kinerja BUMN Pertamina yang semakin melorot. Dengan kerangka kebijakan di sektor energi pada umumnya dan sektor minyak dan gas bumi pada khususnya, mungkinkah publik dengan seenaknya menjatuhkan kesalahan pada BUMN Pertamina dan jajarannya, sementara kebijakan harga dan non harga secara struktural harus melalui paling tidak 4 (empat) kementerian, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri BUMN, Menteri Keuangan dan atas koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian? (*)
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri
13 hari yang lalu
18 hari yang lalu