DJP
Jumat, 19 November 2021 20:29 WIB
Penulis:Rohmat
Badung, Balinesia.id – Mengantisipasi dampak pemulihan perekonomian pascapandemi yang masih dibayangi ketidakpastian maka reformasi perpajakan yang mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel menjadi semakin diperlukan.
"Untuk itulah, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) lahir," tegas Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI), Sri Mulyani Indrawati dalam acara kick off sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center Jumat, 19 November 2021.
UU HPP, menurut Sri Mulyani adalah suatu bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia maju yang mengalami disrupsi yang luar biasa akibat Covid-19.
Reformasi dilakukan pada masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global dan diharapkan dapat menjadi instrumen multidimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian insentif untuk mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit.
Sri Mulyani nenegaskan, reformasi perpajakan sangat diperlukan untuk mendukung upaya mewujudkan Indonesia maju.
Indonesia maju adalah cita-cita Indonesia menjadi negara high income dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045.
Pada masa bonus demografi menjadi momentum reformasi untuk penguatan fondasi dan daya saing dibutuhkan reformasi struktural yang didukung dengan reformasi fiskal yang berkelanjutan.
Acara kick off sosialisasi UU HPP ini sendiri merupakan awal rangkaian kegiatan sosialisasi terkait UU HPP yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Namun, Sri Mulyani melanjutkan, di tengah upaya mewujudkan Indonesia maju, pandemi Covid19 mengguncang perekonomian dan menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan.
Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi terkontraksi -2,07%, jauh di bawah ekspektasi APBN 5,3%. Penerimaan pajak melemah hingga hanya mencapai 8,33% PDB di bawah kondisi rata-rata dalam lima tahun terakhir di angka 10,2%, sementara defisit dan rasio utang meningkat tajam.
Sampai dengan saat ini, APBN telah bekerja keras untuk menahan agar pemburukan tidak terjadi terlalu dalam.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengatakan disebabkan perkembangan ekonomi pascapandemi dan keterbatasan kapasitas administrasi dan kebijakan, pemerintah melalui DJP menyusun materi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang telah berada di program legislasi nasional (prolegnas) dan merupakan Nomor SP- 38/2021 bagian dari tahapan reformasi kebijakan fiskal DJP.
Tidak hanya berisi ketentuan formal tetapi juga ketentuan material, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, Pajak Karbon, dan Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak.
Pada akhirnya, RUU KUP tersebut disetujui dengan nama RUU HPP dengan beberapa perubahan yang didasarkan pada masukan dari para pemangku kepentingan, seperti perubahan pada ketentuan PPh, PPN, serta mengubah Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak menjadi Program Pengungkapan Sukarela (PPS). (roh) ***