Tingkat Efisiensi dan Efektifitas BUMN Pertamina Justru Menurunkan Laba Bersih

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Sangatlah wajar publik mengkhawatirkan kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini bertindak sebagai penggerak dan agen pembangunan (locomotive and agent of development) bangsa dan negara Indonesia. 

Sesuatu yang tak mungkin mampu dilakukan oleh perusahaan atau korporasi swasta dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, apabila tidak memberikan keuntungan atau laba bagi organisasi bisnisnya. Terlebih-lebih hal itu berkaitan dengan sektor energi, khususnya industri minyak dan gas bumi (Migas) dan merupakan isu dan perhatian serius (concern) pemerintahan seluruh negara di dunia ini, yangmana untuk Indonesia mandat pengelolaannya diserahkan kepada Holding Minyak dan Gas bumi (Migas) PT. Pertamina.

Atas dasar kesejarahan dan peran penting dan kunci Pertamina inilah, maka kehadiran (eksistensi) BUMN Pertamina harus tetap dipertahankan secara integralistik, tak bisa dipecah-pecah apalagi kemudian sahamnya dipecahbagikan (stock split) melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) ke pasar bursa dalam hal ini Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Paling tidak, publik harus menyelamatkan pertama kali beban-beban Pertamina terkait aksi korporasinya dan penugasan oleh pemerintah. Jika mengacu pada laporan keuangan sementara (belum diaudit/unaudited BPK) Tahun 2021 yang dipublikasikan, terlihat pendapatan BUMN Pertamina sepanjang 2021 adalah sejumlah Rp548,29 Triliun. Sedangkan laba atau rugi bersih yang dapat dibukukan sejumlah tertentu belum dipublikasikan Pertamina, sementara BUMN lainnya telah "berani" mempublikasikan laba bersih perseroannya.

Hal ini terbukti, berdasarkan data dan informasi yang diterbitkan (release) oleh Kementerian BUMN terhadap total laba BUMN hingga kuartal III-2021 yang sejumlah Rp61 Triliun, maka BUMN Pertamina tidak lagi berada dalam peringkat 10 (sepuluh) besar pemberi kontribusinya. Sejumlah 10 BUMN justru memperoleh laba terbesar, yaitu PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 25,66 Triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp21,05 Triliun, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Rp19,07 Triliun, PT PLN Rp12,45 Triliun, MIND ID Rp9,82 Triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp7,77 Triliun, PT Pupuk Indonesia Rp4,63 Triliun, PT Asabri Rp3,53 Triliun (baru saja kena kasus korupsi), PT Perkebunan Nusantara Rp2,95 Triliun, dan IFG Rp2,9 Triliun.

Menurunnya kinerja BUMN Pertamina dapat dianalisa dari 2 (dua) pos laporan rugi-laba, yaitu pendapatan dan biaya-biaya sehingga menghasilkan laba atau rugi. Bahwa memang BUMN PT. Pertamina (Persero) dari tahun ke tahun (paling tidak 3 tahun terakhir) semakin berkurang jumlah perolehan dari hasil operasinya. Pada Tahun 2019, pendapatan usaha Pertamina yang tercatat adalah sejumlah US$54,79 Miliar atau senilai Rp798,40 Triliun dengan kekayaan (asset) sejumlah US$67,08 Miliar atau sejumlah Rp977,489 Triliun, serta laba bersih sejumlah US$2,52 Miliar atau setara Rp36,7 Triliun. Dengan demikian, total beban biaya operasional dan administrasi ditambah biaya bunga dan pembayaran pajak adalah sejumlah Rp761,7 Triliun atau 95,4 persen dari pendapatannya.

Sedangkan pada Tahun 2020, pendapatan yang berhasil diperoleh Pertamina adalah sejumlah US$41,47 Miliar atau senilai Rp604,30 Triliun dan membukukan laba bersih US$1,05 Miliar atau setara dengan Rp15,3 Triliun (asumsi nilai tukar US$1= Rp14.572). Total beban biaya Pertamina adalah sejumlah Rp589 Triliun atau 91,9 persen dari pendapatan, yang berarti terdapat penurunan beban biaya Rp172,7 Triliun atau menurun sebesar 22,7 persen dibandingkan beban biaya Tahun 2019. Namun penurunan beban biaya Tahun 2020 yang sebesar 3,5 persen dibandingkan beban biaya Tahun 2019 ternyata tidak mampu meningkatkan laba bersih, sebaliknya laba bersih turun drastis.

Dalam laporan keuangan yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut, membuktikan bahwa realisasi laba bersih perusahaan anjlok sebesar 58 persen dibanding realisasi laba bersih pada 2019 yang sejumlah US$2,52 Miliar atau sejumlah Rp.36,7 Triliun. Jumlah pendapatan Pertamina pun semakin menurun jika dibandingkan dengan realisasi yang dicapai 2 (dua) tahun sebelumnya (2019) yang berarti mengalami penurunan signifikan sejumlah US$13,32 yaitu senilai Rp194,10 Triliun atau turun sebesar 24,32 persen. Ada 2 (dua) kemungkinan yang bisa terjadi atas hubungan yang tidak positif antara tingkat efisiensi dan efektifitas dari beban biaya, diantaranya adalah besarnya harga pokok produksi atau penjualan dan atau meningkatnya beban pembayaran utang  perseroan.

Tentu berbagai justifikasi terkait hal itu juga sudah disiapkan untuk disampaikan kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tak terkecuali alasan pandemi Covid-19. Walaupun begitu, dengan beban yang menurun ternyata Pertamina tidak mampu menaikkan hasil operasinya menjadi laba bersih yang meningkat. Oleh karena itu, efisiensi dan efektifitas yang dihasilkan selama 3 (tiga) tahun terakhir bukan berasal dari semakin efisien dan efektifnya pengelolaan Pertamina, tapi lebih disebabkan oleh dampak faktor harga keekonomian minyak mentah dunia serta ketiadaan penyesuaian harga BBM disektor hilir.

Apabila tidak ada perubahan kebijakan terhadap pengelolaan dan diskresi bagi manajemen BUMN Pertamina, maka peningkatan efisiensi dan efektifitas yang dijalankan oleh BUMN Pertamina tidak akan berpengaruh besar pada perolehan laba bersih disebabkan oleh meningkatnya beban pembayaran utang dan Harga Pokok Produksi/Penjualan (HPP). Kemampuan membayar utang akan semakin menurun jika tidak ada diskresi dalam pengelolaan beban-beban Pertamina terkait HPP dan harga jual BBM ke konsumen. Apalagi kalau karyawan Pertamina juga menuntut adanya perbaikan remunerasi yang kemudian meningkatkan biaya tetap perusahaan, otomatis dewan direksi dan komisaris yang mesti berkorban. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

 


Related Stories