Revitalisasi Konsep Alas Kekeran untuk Menjaga Kelangsungan Air Bali

Tanggapan panelis dalam Kelompok Diskusi Terpumpun "Danu Pakreti: Agraning Tirtha Sangaskara" yang digelar Lingkar Studi Batur dan Yayasan Puri Kauhan Ubud. (Balinesia/Maiva Utama)

Bangli, Balinesia.id - Masyarakat adat di Pegunungan Kintamani memiliki konsep alas kekeran yang berperan sebagai kawasan resapan air. Konsep ini bisa direvitalisasi untuk menjawab persoalan air yang dihadapi Bali saat ini.

Demikian salah satu rekomendasi dari penelitian tentang tradisi pemuliaan air di hulu Batur yang dilakukan Lingkar Studi Batur bekerja sama dengan Yayasan Puri Kauhan Ubud melalui Program Sastra Saraswati Sewana 2022 "Toya Uriping Bhuwana Usadhaning Sangaskara".

"Berdasar penelitian yang kami lakukan, Desa Adat Batur secara tradisi memiliki konsep alas pingit atau alas kekeran, atau secara khusus di Pura Alas Arum Batur disebut sebagai alas angker. Ketiga konsep ini mengacu pada hutan yang dilindungi adat, tidak boleh diganggu masyarakat, yang sekiranya sepadan dengan hutan konservasi," jelas koordinator kajian, Jero Penyarikan Duuran Batur (IK Eriadi Ariana) dalam Kelompok Diskusi Terpumpun "Danu Pakrêti: Agraning Tirtha Sangaskara [Pemuliaan Danau sebagai Hulu Peradaban Air Bali]" di Batur 1926 Coffee, Batur, Sabtu, 12 Februari 2022.

Baca Juga:

Alas kekeran masyarakat adat Batur berada di kawasan Bukit Sampian Wani, terletak di kaki Gunung Batur sebelah barat daya yang merupakan kawasan hulu dari pusat Desa Batur kuno sebelum erupsi Gunung Batur tahun 1926 silam. Di kawasan tersebut kini juga berdiri Pura Perapen Pingit Batur yang terdapat Tirta Perapan, satu dari 11 air suci utama Pura Ulun Danu Batur.

Sementara, kawasan alas angker Pura Alas Arum Batur berada di areal Pura Tirtha Mas Munduk. Pada kawasan tersebut juga terdapat mata air suci atau patirthaan utama bagi Pura Alas Arum Batur.

"Jika dikaitkan dengan sistem pasihan yang esensinya merupkan solidaritas masyarakat hulu-hilir, konsep alas kekeran ini bisa direvitalisasi menjadi gerakan lebih besar untuk menjaga kelangsungan air, misalnya, setiap lembaga swasta atau institusi pemerintah membuat alas kekeran-nya sendiri di hulu-hulu Bali, kemudian secara berkelanjutan bertanggungjawab terhadap kehidupan pohon-pohonnya," katanya.

Sementara itu, tiga orang panelis yang dihadirkan dalam diskusi terpumpun tersebut memberikan tanggapan dari sudut pandang keilmuan yang berbeda-beda. Antropolog, I Ngurah Suryawan menilai penting kajian pemuliaan air yang digagas Lingkar Studi Batur memperhatikan persoalan isu kontemporer berbasis ekonomi-sosial-politik, bukan sekadar beromantisme pada kekayaan narasi pemuliaan.

Baca Juga:

"Kajian ini baiknya menyentuh persoalan kontemporer dan terjebak dalam romantisme sastra yang tidak mengakar. Hari ini sumber daya alam diprivatisasi, bisa dijual, dan bisa menjadi hak milik perseorangan atau kelompok," kata dia.

Menurutnya, privatisasi dan kapitalisme adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. "Struktur ekonomi dan wacana kontemporer penting disentuh saat ini. Produksi air-air kemasan masuk begitu masif ke wilayah pelosok-pelosok desa dan mengganti kearifan lokal yang sudah eksis sejak zaman dahulu, seperti air klebutan, patirtan, dan lain-lain," katanya.

Panelis lainnya, Cokorda Bayu Putra, mengatakan tradisi terkait air di Batur telah menciptakan praktik governance, yakni adanya keterbukaan informasi dalam manajemen Desa Adat Batur. Manajemen itu sudah ditemukan mulai pada praktik nyuratang dan milpilang selama proses ritual di Ulun Danu Batur yang merupakan praktik perencanaan kegiatan yang baik dari pangempon.

"Tapi kita tidak bisa menutup mata pada persoalan lingkungan yang masih menghinggapi Danau Batur  kini. Oleh karenanya, perlu adanya gerakan bersama yang berangkat dari solidaritas hulu-hilir ini," katanya.

Pada Juni 2021, lanjut akademisi Unhi Denpasar ini, terbit Perpres 61 tentang Penyelamatan Danau Skala Prioritas Nasional, salah satu dari 15 danau tersebut terdapat Danau Batur. 
"Berangkat dari Perpres tersebut, sebaiknya Lingkar Studi Batur ikut berpartisipasi dalam tim penyelamatan Danau Batur. Ikut dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi," harapnya.

Di sisi lain, Putu Eka Guna Yasa, dari perspektif bahasa dan sastra, menguatkan prinsip pemuliaan kawasan Batur. Hal ini ditandai dengan banyaknya narasi dan karya sastra yang menyinggung Batur. Menurutnya, gerakan penyadaran melalui sarana bahasa dan sastra sangat penting dilakukan, sebab bahasa adalah pangendag budi citta, sedangkan sastra adalah pangraksa bhuwana.

"Sastra dan bahasa memiliki tiga fungsi utama yakni: uning atau fungsi mengetahui jati diri sebagai manusia, nawur karma bandana dari hutang kita pada bumi; eling atau sadar bahwa kita memiliki utang; dan tiling yakni teguh dan konsisten terhadap janji yang kita buat," kata dia.

Pembina Yayasan Puri Kauhan Ubud, A.A. Bagus Ari Bramanta, dalam sambutannya menyatakan program Sastra Saraswati Sewana 2022 bertujuan menciptakan kembali kesadaran tentang praktik pemuliaan air di Bali. Ia pun menjelaskan beruntungnya Bali yang memiliki empat danau, di mana salah satunya Danau Batur. Aliran airBatur dinyatakan telah menciptakan peradaban-perasaban unggul di kawasan yang dilaluinya, misalnya di DAS Pakerisan yang saat ini ditemukan banyak tinggalan sejarah, mulai dari Tirta Empul, Mengening, hingga Gunung Kawi, dan seterusnya.

"Saat ini juga masih dilestarikan ritual-ritual untuk memuliakan air.
Namun, tantangannya, investasi menyebabkan kita melupakan pentingnya memuliakan air. Bahkan, beberapa investasi tidak menghiraukan sumber mata air. Padahal hingga kini, air dipercaya sebagai sumber kehidupan hingga sumber pengobatan," katanya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories