Revisi UU Perkoperasian Harus Mendukung Entitas Sokoguru Perekonomian

ilustrasi (Image by Freepik)

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) telah menyatakan kepastian kepada publik, bahwa pembahasan RUU (Rancangan Undang-Undang) Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian akan dimulai Oktober 2023. 

Hal ini merujuk kepada pernyataan Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi, di Jakarta, pada Hari Selasa, 26 September 2023 mengenai Surat Presiden (Surpres) yang telah disampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terkait revisi UU tersebut. 

Namun, sangat disayangkan, statusnya adalah kumulatif terbuka, sehingga tidak masuk dalam Prolegnas. Artinya, pemerintah dalam posisi kesiapan waktu kapanpun, sedangkan DPR tidak jelas komitmennya.

Meskipun kami yakin, bahwa tidak semua anggota DPR yang tidak memberi perhatian serius (concern) atas RUU penting ini, disebabkan bukan salah satu Prolegnas, tetap harus mendesak (urgent) dikawal pembahasannya. Untuk itu, kami dari Forum Ekonomi Konstitusi menyampaikan catatan kunci (key notes) terkait prinsip konstitusi ekonomi dan proses formal-material dari revisi UU No. 25/1992 yang telah berlaku selama 30 tahun ini, sebagai berikut:

1. Bahwa, pertimbangan hukum (konsideran) revisi UU harus mengacu pada konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945, ayat 1 yang menyatakan, "bahwa sebuah entitas perekonomian haruslah merupakan usaha bersama berdasar azas kekeluargaan yang harus diberikan pengertian secara lengkap dalam konsep (draft) RUU ini.

2. Elaborasi RUU Perkoperasian ini juga harus mencermati prinsip-prinsip dan azas perkoperasian yang selama ini dikenal secara luas sehingga meminimalkan intervensi kepentingan politik praktis sekelompok orang dan pemerintah sekalipun hanya akan bertindak sebagai pembuat kebijakan bersama DPR (regulator) dan memfasilitasi (fasilitator) bagi pendirian dan pembangunan Koperasi sebagai badan usaha yang profesional.

3. Rancangan UU Perkoperasian ini juga harus memperhatikan mandat ayat 2 dan 3 dari Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan hak konstitusi bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menguasai cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang terdapat dalam bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang tidak bisa dialihkan kepada entitas ekonomi dan bisnis apapun.

4. Syarat pendirian koperasi harus dipermudah tanpa melupakan kualitas pengembangan manajemen bisnis usahanya, dan oleh karena itu jumlah anggota pendiri harus direvisi bukan 9 orang, tetapi 5 orang atau lebih sebagaimana mudahnya pendirian badan usaha Perusahaan Terbatas (PT) yang diizinkan minimal 3 orang pemegang saham.

5. Rapat Anggota Tahunan dan Istimewa (dalam kasus tertentu) Koperasi sangat berbeda secara diametral atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT yang mengacu pada jumlah modal disetor dengan dominasi pemegang saham mayoritas dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam hal pembubaran badan usaha. 

Maka, revisi UU Perkoperasian harus memperkuat posisi forum Rapat Anggota sebagai perencanaan strategis badan usaha dan Badan Pengawas dalam mengawasinya (domain manajerial) sekaligus rekomendasi pembubaran atau penyatuan koperasi atas dasar kepentingan anggota yang sama.

Apabila hal ini telah diperhatikan dengan baik dan seksama, maka diharapkan pendirian dan keanggotaan koperasi akan berasal dari partisipasi anggota pendiri secara penuh dan bukan didorong oleh kepentingan pemilik modal (capital ownership), apalagi hanya berdasar kesamaan profesi. 

Koperasi haruslah dibangun secara terbuka dan sukarela dan tidak didasarkan oleh kesesuaian profesi yang selama ini banyak terjadi, seperti Koperasi Pegawai Negeri, Induk Koperasi Kepolisian, Induk Koperasi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara yang para anggota sudah menerima gaji layak dari negara. Koperasi haruslah beroperasi secara sektoral, diluar mandat konstitusi terhadap peran dan fungsi BUMN sebagai badan usaha yang memperkuat keuangan negara untuk menggerakkan pembangunan ekonomi bangsa dan negara (agent of development). *

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories