Kasus Rempang 'Jangan' Membuat Rakyat Berang

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Pak Rudi, Pulau Galang itu kampung halaman kami! Kampung dimana kami dilahirkan, bermain dan dibesarkan! Itulah sepenggal kalimat yang berasal dari salah seorang warga Melayu beredar luas melalui sebuah rekaman video. 

Di lain pihak, orang Melayu juga menyatakan tidak menolak pembangunan, tapi menolak penggusuran dan pencerabutan mereka dari tanah air dan akar budaya Melayu dengan alasan investasi! Presiden sebagai Kepala Negara harus memberikan perhatian penuh dan serius atas permasalahan yang terjadi di Pulau Rempang pasca terjadinya bentrok aparat bersenjata dengan masyarakat setempat yang menolak penggusuran dan relokasi demi tujuan rencana pembangunan pabrik kaca terbesar kedua di Asia dan kawasan wisata Rempang Eco City!

Dikutip dari laman kepri.nu.or.id, bahwa pembangunan Rempang Eco City akan menggusur 1.835 bangunan di daerah sekitarnya. Jumlah ini mengacu pada Laporan Tentang Percepatan Investasi Pulau Rempang Direktorat Pengelolaan Pertanahan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang diterbitkan pada Oktober 2022. 

Saat ini pengelolaan pembangunan kawasan Pulau Batam dibawah kepemimpinan Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) Muhammad Rudi. 

Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, Kepala BP Batam, seharusnya dapat memahami arahan Presiden Joko Widodo terdahulu yang menyatakan apabila konsesi hendak diberikan kepada swasta maupun kepada BUMN kalau ditengahnya itu ada desa atau kampung yang sudah bertahun-tahun hidup disitu, mereka menjadi bagian dari konsesi itu, siapapun pemilik konsesi itu berikan kepada masyarakat kampung/desa kepastian hukum.

Artinya, arahan Presiden mengenai pembangunan infrastruktur dan kawasan industri, termasuk parawisata sebagai kunci utama agar daerah itu bisa maju harus melibatkan partisipasi masyarakat tidak diindahkan. 

Keharusan partisipasi masyarakat ini jelas untuk mendukung tujuan proyek ini dalam rangka menarik minat wisatawan dari Singapura dan wilayah sekitarnya, sambil mempromosikan konsep pembangunan berkelanjutan.

Lalu, pertanyaannya adalah kenapa arahan Presiden Joko Widodo ini diabaikan oleh Muhammad Rudi dan kemudian justru tindakan yang melawan hukum melalui pengerahan aparat keamanan untuk memukul masyarakat yang melakukan protes? Tidakkah ada cara atau pendekatan yang lebih manusiawi untuk menyelesaikan permasalahan tanah yang akan digunakan untuk pembangunan kawasan Pulau Rempang dan Galang?

Yang harus diingat lagi, bahwa konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 jelas menyatakan, bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Oleh karena itulah, meminta dan mendesak Presiden Joko Widodo mengambil tindakan cepat, tepat dan terukur dalam mensikapi kekerasan aparat keamanan kepada masyarakat setempat agar jangan sampai berangnya rakyat meluas.

Sebab, penyelesaian masalah perekonomian berdasar azas kekeluargaan adalah perintah konstitusi yang merupakan rujukan bersama (common denominator) dalam berbangsa dan bernegara. Semoga Presiden Joko Widodo mampu melakukan penindakan atas pelanggaran azas ini, terlebih perlakuan aparat yang menodai Hak Azasi Manusia (HAM) yang dijunjung tinggi dalam Pembukaan UUD 1945. (*)

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories