Pentingnya Diskresi Harga dan Non-Harga Diberikan pada BUMN

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina (Persero) melalui sub holding nya PT. Pertamina Patra Niaga (Commercial and Trading/C&T) secara resmi telah memutuskan kebijakan menaikkan harga jual Elpiji non-subsidi yaitu untuk produk 12 kg dan Bright Gas ukuran 5,5 kg. Imbas kenaikan harga jual Elpiji membuat masyarakat ramai diprediksi beralih ke gas Elpiji 3 kg atau gas melon.

Alasan kenaikan harga jual Elpiji tersebut tidak hanya didasarkan oleh terjadinya kenaikan harga keekonomian minyak dan gas dunia, namun juga telah lama juga Persero tidak menggunakan diskresi nya (kewenangan) melakukan perubahan harga terkait faktor permintaan dan penawaran sesuai hukum ekonomi.

Sehubungan dengan kebijakan kenaikan harga jual Elpiji dimaksud, maka kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Terhadap kebijakan perubahan harga Elpiji non subsidi tersebut, maka publik harus memahaminya sebagai salah satu upaya krusial bagi perusahaan dalam menanggapi (respon) atas perkembangan kenaikan harga minyak mentah dan gas bumi (migas) yang terjadi dalam sektor industri energi serta akan berpengaruh pada kinerja BUMN, khususnya dalam pembentukan Harga Pokok Produk dan atau Penjualan (HPP) yang akan dijual ke masyarakat konsumen.

2. Memberikan dukungan penuh atas langkah BUMN Pertamina melalui sub holdingnya yang telah menaikkan harga gas Elpiji non subsidi sebagai bagian dari tanggapan atas kenaikan harga gas dunia secara signifikan dan sebagai langkah dalam menyelamatkan kehadiran (eksistensi) BUMN menjalankan pelayanan publik secara efektif, efisien dan berkelanjutan.

3. Meskipun agak terlambat waktunya, sebab sebagian besar produsen atau perusahaan minyak dan gas dunia telah melakukan penyesuaian atas harga gas Elpiji retail yang dijual kepada konsumen untuk mensiasati fluktuasi harga minyak mentah dan gas dimaksud untuk tetap menjaga operasi dan keberlanjutan pelayanan kepada masyarakat konsumen, bangsa dan negara.

Sebagai contoh, India yang telah menaikkan harga gas Elpiji mengacu pada perjanjian Contract Prime Aramco (CPA) perusahaan negara dari Saudi Arabia dan  pemerintahan India terkait kenaikan harga propana dan butana yang  berpengaruh pada melonjaknya anggaran subsidi sejak awal Tahun 2020 sehingga dihentikannya subsidi Elpiji oleh pemerintah India pada bulan Juli 2020.

4. Kenaikan harga CPA dari Saudi Aramco saat itu memang sangat signifikan dalam mempengaruhi anggaran negaranya, yaitu dari US$565 menjadi US$800 per metrik ton dengan selisih harga US$235 per metrik ton atau naik sebesar 41,5 persen, dan butana dari harga US$590 menjadi US$795 per metrik ton dengan selisih kenaikan sejumlah US$205 per metrik ton atau sebesar 25,8 persen.

Atas perubahan harga 2 (dua) komponen Elpiji ini pemerintah India mengambil kebijakan perubahan harga jual elpiji yang awalnya adalah Rs305  per tabung (12 kg) atau sejumlah Rp57.831,7 (kurs 1Rs= Rp189,94) dinaikkan menjadi Rs899,5 per tabung (lebih 50%) atau menjadi Rp274.347,5.

5. Dengan begitu, secara logis perubahan harga jual Elpiji non subsidi yang dilakukan oleh BUMN Pertamina untuk jenis 12 kg dan 5 kg yang berkisar antara Rp 1.600-Rp 2.600 per kg adalah masih dalam batas wajar, masih lebih rendah dibandingkan dengan harga di negara lain, dan tetap mengacu kepada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

6. Terkait imbas dari perubahan kebijakan harga jual Elpiji non subsidi yang berpeluang adanya migrasi konsumsi konsumen ke Elpiji subsidi 3 kg yang tak ada penyesuaian harga, maka pemerintah harus memastikan alokasi dan skema subsidi Elpiji 3 kg dipenuhi secara tepat sasaran, sebab  konsumsinya secara nasional mencapai 92,5 persen.

Oleh karena itulah, kenaikan harga Elpiji non subsidi ini harus dipandang sebagai upaya menyelamatkan kinerja BUMN Pertamina ditengah tekanan kenaikan harga minyak mentah dan gas bumi dunia, di satu sisi. Sementara itu sisi lain, adalah ruang yang wajar bagi perusahaan menggunakan diskresi nya untuk menjaga proses bisnis (business process) dalam menanggapi berbagai perubahan harga dan isu non harga dalam sektor industri migas dunia yang sangat kompetitif.

Justru tanpa adanya penyesuaian harga jual, BUMN Pertamina dan sub holdingnya tidak akan mampu menyediakan Elpiji dan BBM yang berkualitas bagi konsumen, apalagi posisi, tugas pokok dan fungsi BUMN berbeda secara diametral dengan korporasi swasta yang berorientasi hanya mencari keuntungan untuk memenangkan kompetisi global.

Alih-alih tanpa adanya penyesuaian harga jual disebabkan oleh tekanan harga bahan mentah dihulu berpotensi membangkrutkan operasinya dan kemungkinan terjadinya kelangkaan gas Elpiji. Inilah yang harus segera diantisipasi oleh pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo dalam jangka panjang. ***

 

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

Editor: Rohmat

Related Stories