Pengentalan Politik Identitas hingga Hoaks, Inilah Tantangan Umat Hindu Pasca-Reformasi

Tangkapan layar webinar DPD Prajaniti Jawa Barat. (Balinesia.id)

Denpasar, Balinesia.id -  Pengakuan negara atas Hindu sebagai agama resmi pada 5 September 1958 silam bukanlah titik akhir perjuangan penganut Hindu di Indonesia. Dalam konteks kekinian, utamanya pasca-Reformasi, umat Hindu kini menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari pengentalan politik identitas hingga hoaks.

Demikian dinyatakan Koordinator Staf Khusus Presiden, AAGN Ari Dwipayana, dalam webinar yang digelar DPD Prajaniti Jawa Barat, Sabtu, 7 Agustus 2021. Tokoh yang juga Wakil Ketua Dewan Penasihat DPP Prajaniti Pusat ini mengatakan, tantangan pertama yang dihadapi umat Hindu adalah hadirnya fenomena politik identitas di ranah lokal.

"Pasca-1999 (Reformasi, red), terjadinya pergeseran lokus kekuasaan dari Jakarta ke daerah yang memicu pengentalan politik identitas yang berbasis suku dan agama. Sentimen agama dan etnis seringkali dimunculkan dalam momen-momen politik elektoral, seperti pemilu dan pilkada," katanya.

Kondisi itu pada akhirnya menjadi titik masuk untuk merebut kepemimpinan lokal, yang  setelah terpilih seringkali mengeluarkan kebijakan yang ekslusif- primordialis. "Inilah tantangan diaspora Hindu yang tersebar di berbagai daerah di luar Bali," kata tokoh Puri Kauhan Ubud ini.

Tantangan selanjutnya adalah merebaknya sikap intoleransi dalam kehidupan kewargaan, termasuk di kalangan kelas menengah dan kalangan milenial. Sikap intoleransi tampak dari keengganan sebagian warga untuk bertetangga dengan warga beda agama. Ada penolakan pendirian tempat ibadah agama lain di lingkungannya, serta penolakan terhadap pemimpin yang berbeda agama.

Tantangan ketig, lanjut Ari, adalah merebaknya hoaks yang memecah-belah bangsa. Menguatnya intoleransi semakin diperparah dengan adanya politik post-truth yang sering dikonstruksi untuk kepentingan politik.

"Sejak tahun 2000-an mulai merebak semburan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian yang muncul kepermukaan melalui media sosial. Post-truth menjadi berbahaya karena bukan hanya menimbulkan disintegrasi sosial, tapi juga bertujuan menebar ketakutan atau ketidakamanan  yang merebak sampai ke ruang-ruang privat warga," jelasnya.

Menyikapi tantangan-tantangan itu, umat Hindu harus bersama-sama menjaga common platform yang menjadi konsensus kebangsaan, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Menurutnya, umat Hindu harus mengambil bagian dari gerakan citizenship untuk memperjuangkan penegakan konstitusi dan demokrasi. Itu artinya umat Hindu  perlu berjuang, menjaga dan mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan  beragama dan beribadah yang sudah dijamin oleh konstitusi.

"Umat Hindu bersama berbagai elemen bangsa yang lain juga harus ikut  memperjuangkan kesetaraan hak sebagai warga negara, yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara.  Perlu ada upaya advokasi kalau ada kebijakan negara di tingkat nasional maupun lokal yang diskriminatif. Tentunya dengan tetap mengedepankan cara-cara demokratis, dan dilakukan dengan tanpa kekerasan," kata dalam webinar yang juga menghadirkan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Dr.I Dewa Gede Palguna itu. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories