Nasionalisme: Kumbhakarna versus Wibhisana*

I Wayan Westa (Balinesia.id)

Oleh I Wayan Westa**

ADA dua tokoh penting dalam Rāmāyana yang membuat kita coba berpikir tentang nasionalisme,  terutama perihal  kesetiaan pada negara, tanah air, dan bangsa sendiri. Kita tahu nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi harus diserahkan pada tanah air, negara dan kebangsaan.  Dua tokoh dimaksud adalah kakak beradik Kumbhakarna dan Wibhisana. Dalam pewayangan Jawa, Wibhisana dikenal dengan  panggilan Gunawan Wibhisana.

Ketika perang antara pasukan Rahwana  dari Alengka melawan pasukan Rāma dari Ayodya, dua kakak-beradik ini mengalami dilema amat sulit. Kumbhakarna dan Wibhisana  bersikeras menasihati sang kakak [Rahwana] untuk mengembalikan Sītā pada Rāma, karena itu bukan haknya. Bukan sepantasnya seseorang menguasai  wanita yang sudah bersuami. Namun, nafsu menguasai dan membutakan mata batin Rahwana.  Sang raja yang dibayangkan berkepala sepuluh itu tak hendak mengembalikan Sītā, walau Rahwana sendiri tak sekalipun menyentuh Sītā--dan tak juga  ia punya keberanian memaksakan kelaki-lakiannya.

        Baca Juga:

Tapi, perang keburu terjadi. Rahwana ingin adik-adiknya, Kumbhakarna dan Wibhisana ikut berperang di pihak Alengka. Perdebatan dan pemihakkan pun terjadi. Namun, Wibhisana yang terpelajar itu, yang memahami ilmu pemerintahan, yang paham menegakkan Niti Sastra memilih engkang dari Alengka. Ia bergabung  memohon perlindungan pada Rāma yang ia yakini sebagai raja ideal, penegak keadialan, serta sumber kebenaran darma raja. Wibhisana pun akhirnya meninggalkan Alengka, memihak Rāma--meningggalkan tanah airnya.

Jauh hari sebelum ia  meninggalkan Rahwana, sang ibu pun telah berpesan pada Wibhisana, supaya hendaknya ia mengabdi pada Rāma. Dalam satu kutipan Kakawin Rāmāyana Sarga XIII, sang ibu berkata begini, "Nya yogya tangguha ri kakanta Rāhwaņa, sirang Raghūttama juga lingku sémbahén, priyā nirékana dulurén panémbaha, yatosadhā gumawaya tuṣța ning jagat (ini yang amat pantas ananda nasihatkan pada Rahwana. Hanya Rama menurutkan patut disembah. Istri beliau patut dijadikan jalan berbakti. Karena itu merupakan obat yang akan menyelamatkan dunia)".

       Baca Juga:

Namun, Wibhisana  dan Kumbhakarna gagal meyakinkan Rahwana. Perang pun meletus. Kedua-duanya, Kumbhakarna dan Wibhisana mengambil sikap dan jalan berbeda.  Kumbhakarna akhirnya berperang, namun tidak dalam pemenuhan membela Rahwana yang  dianggap tidak adil itu. Ia berperang demi tugas yang lain, ia berperang demi Tanah Air Alengka yang telah memberi hidup berlimpah, entah ia mati, entah ia hidup, itu persoalan lain.

Memang, dibandingkan dengan Wibhisana, sang adik, Kumbhakarna mengambil jalan  berbeda. Ia berperang demi membela negerinya. Sebentuk nasionalisme real.  Namun, Wibhisana memilih Rāma,  yang dipandang wujud kebajikan dan keselamatan dunia. Sementara, Kumbhakarna memilih tanah air yang telah memberinya hidup. Ia bukan tidak berani berontak pada sang kakak, Rahwana--alasan paling tepat ia tidak mungkin melakukan itu, karena betapa di masa kecil Rahwana selalu membimbingnya. "Sebagai putra Alengka aku wajib berbakti kepada tanah air,"  kata Kumbhakarna.

Ketika Wibhisana mempertanyakan sikap Kumbhakarna yang bertindak dengan perasaan, Kumbhakarna menyatakan tidak. "Tidak!" potong Kumbhakarna.

"Jangan kau samakan diriku dengan dirimu. Engkau seorang negarawan. Penglihatan dan perhitunganmu pasti telah melampaui zaman. Sebaliknya, aku tidak memiliki jangkauan pemikiran demikian. Percayalah, aku tidak memusuhi Rāma. Aku berperang hanya demi tanah air semata."

Sampai di sini kita memasuki satu spekulasi tak ubahnya lapisan-lapisan kesadaran. Bahwa penggalan cerita ini memiliki lapis atau irisan-irisan kesadaran yang berbeda dengan Wibhisana, dan dengan terang Kumbhakarna menyatakan; ia  tidak memusuhi Rāma.  Ia hanya terpanggil oleh lapisan kesadaran perihal tanah air, yang ia pandang sebagai "Ibu Alengka".  

Bila pembelaan Wibhisana lebih pada nilai-nilai, kebajikan-kebajikan semesta yang kelak dipercaya oleh Rāma sebagai seorang pengganti raja--jelasnya Wibhisana  sangat paham darma raja, namun tidak demikian dengan Kumbhakarna.  Yang ia pilih justru hal-hal di lapisan fisikal-material, membela tanah air, tak peduli dari siapapun serangan itu. Sikapnya jelas, entah hidup, entah ia gugur, tak penting  akhir dari pilihan itu--semua demi tanah air, yang telah memberi dia hidup, kenikmatan, tanah yang memberi segalanya. Apakah mungkin Kumbhakarna meninggalkannya? Inilah sisi kebenaran Kumbhakarna.

Lalu Wibhisana berpikir dalam lapisan kesadaran  lain, ia lebih membela kebijaksanaan sebagaimana pesan ibunya, karenanya ia memilih membela nilai-nilai, ia mengutamakan dharma raja--karena bagi Rāma wajib hukumnya melindungi siapa saja yang datang memohon perlindungan. Dan, Rāma adalah teladannya. Ketetapan hati Wibhisana  sesuai dengan permohonan tapanya yang kuat, mendapatkan segala kebijaksanaan. Tapi, terpilih di posisi Kumbhakarna juga penting--sebagai si penidur mistik dia tidak meninggalkan kerajaannya, ia takluk pada tanah airnya, ia berperang demi ibu pertiwi yang telah merawatnya, yang telah memberi hidup selama di bumi Alengka.

Pertanyaan kini, bila diukur, ditimbang dengan kesetiaan, siapakah gerangan lebih tinggi, Kumbhakarna atau Wibhisana? Lagi-lagi satu presisi mesti diperbincangakan, bila kita ditanya soal kesetian, kesetiaan ala siapa lebih tinggi?  Kumbhakarna bersetia pada "ibu" pertiwi, sebagai pusat sarwa tattwa, tanah air, penyandang, penyusu segala yang hidup. Sementara, Wibhisana bersetia pada langit kebijaksanaan, walau dia harus meninggalkan tanah air--membiarkan negaranya dihancurkan tentara Rāma. Ia tak hendak membela sang kakak, walau ia menangisi kematianya.

        Baca Juga:

Tapi, tak banyak yang memilih sikap ala Kumbhakarna, ingin menikmati "rasa mati"  di medan perang.  Entah apakah ini jalan yoga yang lain, atau inikah  gerangan disebut raja yoga, yoga di jalan pedang, yoga di jalan kesatria, di medan juang bernama "rana yajna"--kurban di tengah perang.

Sampai di sini saya tak  berusaha  memberi jawaban, memberi jawaban sama artinya mendifinisikan, mendifinisikan sama artinya dengan memenjara  kebenaran yang seharusnya tetap mengalir layaknya Sanatana Darma.

Ong Ganapatya ya namah

Pakubuan Kusa Agra
Purnama Katiga, 2021

_______________

*Makalah disampaikan dalam Rembug Sastra Purnama Bhadrawada “Kākāwin Rāmāyana Menembus Batas Zaman” yang digelar daring Komunitas Purnama Bhadrawada Pura Jagatnatha, Minggu, 22 Agustus 2021.

**Penulis adalah seorang penulis dan budayawan Bali. Pada 2014 mendapatkan Hadiah Sastra Rancage untuk kumpulan esai berjudul “Tutur Bali” (2013).

__________________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

Editor: E. Ariana

Related Stories