Musibah Dihadapi, Pinjaman Energi yang Dicicipi

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Selain hasil pemeringkatan udara kotor dan tidak sehat yang diterbitkan oleh lembaga atau perusahaan swasta di Goldach, Swiss yang perlu dipertanyakan keabsahan dan kredibilitasnya. Maka langkah penanganan polusi udara oleh pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga lucu, konyol dan tak masuk akal (absurd). 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala BKF Kemenkeu, Febrio Kacaribu, bahwa Indonesia telah mendapatkan pendanaan investasi untuk penanganan masalah perubahan iklim senilai US$500 juta.

Nilai investasi tersebut setara Rp 7,6 triliun dengan tingkat kurs saat ini Rp 15.323 per 1US$ dan dana tersebut diperoleh dari sejumlah lembaga keuangan internasional dalam bentuk pinjaman lunak. 

Pinjaman yang disebut lunak dan sangat lunak ini juga berpotensi ditambah hingga US$4 miliar dari sumber Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan bank lainnya, termasuk Pemerintah Indoenesia. Hal ini disampaikan Febrio dalam Seminar On Energy Transition Mechanism: ASEAN Country Updates, pada hari Rabu 23 Agustus 2023 di Jakarta.

Kenapa pernyataan Kepala BKF ini begitu lucu, konyol dan tak masuk akal? Sebab menurut akal sehat (logika) orang terdidik jelas tidak sejalan antara pinjaman lunak dengan penanganan perubahan iklim sebagai akibat polusi udara. 

Kalau penanganan iklim merupakan tragedi alam dan kemanusiaan, maka memberikan penyelesaiannya melalui utang atau pinjaman berapapun lunaknya adalah tidak menghargai perikemanusiaan dan perikeadilan. 

Apalagi melakukan penanganan tragedi perubahan iklim dengan mencicipi pinjaman lunak atau sangat lunak bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan, tetap saja utang yang membebani ditengah utang luar negeri yang pada bulan Mei 2023 sudah mencapai US$398,3 miliar. Tidaklah bijaksana dan membanggakan menambah utang lagi!

Perubahan iklim membutuhkan peta jalan (road map) yang lebih pasti, tidak saja soal sumber penyebabnya tapi juga langkah penanganan kolektif dunia, khusus nya negara-negara produsen utama kendaraan bermotor atas apa yang terjadi di negara-negara yang bukan industri utama seperti Indonesia. 

Indonesia dalam posisi sebagai negara yang terkena dampak atas berbagai kebijakan negara industriawan harus mengambil posisi lebih tegas atas pendanaan bagi dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Bukan malah terus mencicipi pinjaman yang katanya lunak tapi keras mengunyahnya apalagi tanggungan masa depannya. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 

 


Related Stories