Menyoal Rencana Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Pemerintah berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam bulan Agustus 2022 ini sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi pada tanggal 19 Agustus 2022 dihadapan civitas academica Universitas Hasanuddin, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. 

Luhut Binsar Panjaitan memberikan sinyal, bahwa kenaikan harga BBM itu terutama untuk jenis Pertalite dan Solar subsidi. Pasalnya, harga BBM tidak mungkin lagi dipertahankan di harga saat ini dan untuk merespon tingginya harga keekonomian minyak mentah dunia, disatu pihak.

Sementara dilain pihak, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan tanggapan berbeda terkait rencana kenaikan harga BBM dimaksud. Sedangkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, bahwa di tengah tingginya harga BBM, pemerintah berkomitmen untuk mengupayakan ketersediaan BBM untuk masyarakat.

Namun demikian, saat ini sedang disiapkan beberapa opsi khusus untuk BBM bersubsidi yang diperuntukan bagi masyarakat berdaya beli menengah ke bawah supaya tidak menyimpang alokasinya atau tepat sasaran. Membengkaknya realisasi alokasi subsidi BBM mencapai Rp502,4 Triliun bisa jadi disebabkan oleh adanya penyimpangan penerima manfaat dan ketiadaan seleksi kriteria secara ketat.

Sehubungan dengan itu, maka beberapa hal patut diperhatikan oleh publik terkait kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah, yaitu pertama soal besaran kenaikan harga, dan yang kedua soal BBM bersubsidi. Terhadap penetapan harga BBM selama ini, maka kita meminta pemerintah untuk terbuka soal alasan mengikuti ketentuan harga keekonomian minyak mentah dunia tersebut. 

Pasalnya, adalah sebagian besar harga BBM yang dijual oleh korporasi swasta nasional dan asing telah lebih besar dibandingkan dengan harga jual BBM oleh BUMN Pertamina.  Namun, alasan ini tidak bisa dijadikan pembenaran (justifikasi) oleh pemerintah serta merta menaikkan harga BBM bersubsidi ditengah tingginya angka inflasi Triwulan II 2022 (sesuai data BPS) sebesar 3,34 persen. Padahal, diwaktu yang sama pada Tahun 2021 inflasi hanya sebesar 1,52 persen, dan khusus bulan Juli 2022 inflasi telah mencapai sebesar 0,64 persen sehingga berpotensi menuju angka berganda (double digit).

Banyak pihak kemudian membandingkan harga jual BBM oleh Pertamina terhadap harga jual BBM yang berada dalam penguasaan negara, tapi menjual harga BBM lebih murah seperti Petronas di Malaysia dan perusahaan Brunei Shell Petroleum (BSP) yang merupakan patungan Pemerintah Brunei dan perusahaan Shell Group. Tentu publik tidak bisa menilai murahnya harga BBM pada kedua perusahaan tersebut tanpa mengenal lebih jauh model pengelolaan minyak dan gas bumi dan konsep harga (pricing concept) yang diterapkannya. 

Jelas ini bukan perbandingan yang sejajar (Apple to Apple). Apalagi, jika pemerintah memaksakan kebijakan kenaikan harga BBM tetap dijalankan, tidak saja akan menambah angka laju inflasi, namun juga kelebihan kuota atas BBM subsidi akan terjadi kembali jika perangkat pengendalian dan pengawasan atas penerima manfaatnya tidak jelas seleksi kriterianya. 

Oleh karena itu,  terkait BBM bersubsidi agar tepat sasaran, maka pemerintah tidak bisa hanya melakukan anjuran verbal melalui pernyataan oleh otoritas yang terkait. Beban alokasi yang sedemikan besar bengkaknya harus diatasi melalui kebijakan yang komprehensif.  Tidak bisa diharapkan hanya dengan anjuran agar konsumen masyarakat membeli BBM bersubsidi dan melarang bagi yang tidak berhak. Tapi, lebih jauh dari itu sudah harus dirumuskan secara rinci (detail) kepada seleksi kriteria para pihak atau orang dan kendaraan seperti apa secara alokatif berhak menerima subsidi BBM sekaligus menghapuskan terminologi kuota yang secara gramatikal prakteknya diselewengkan!

Last but not least, pemerintah harus betul-betul memahami momentum untuk mengambil kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi ini, jangan sampai menjadi senjata makan tuan. Apalagi pernyataan mengenai rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tidak disampaikan dengan argumentasi yang masuk akal. Dan, seharusnya pernyataan Presiden lah yang tepat untuk publik hiraukan, bukan pernyataan para Menteri yang sekaligus pengusaha serta berasal dari partai politik, tentu punya kepentingan ekonomi dan politik! (*)

*Defiyan Cori,  Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

Editor: Rohmat

Related Stories