Menyoal Akuntabilitas Aliran Dana CSR BUMN

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Pada masa pemerintahan Orde Baru (periode 1969-1998) dengan alasan kekhususan kehadirannya (eksistensionalitas) berdasarkan kebijakan nasionalisasinya melalui Undang-Undang (UU)  Nomor 86 Tahun 1958, maka pengelolaan BUMN diatur berdasarkan UU No.9 tahun 1969 dan dikelompokkan menjadi 3 bagian.

Pertama  Perusahaan Negara Jawatan (Perjan), kedua, Perusahaan Negara Umum (Perum), keempat Perusahaan Negara Perseroan (Persero).

Perusahan Jawatan (Perjan). Perusahaan Jawatan (Perjan), yaitu bentuk BUMN yang semua modalnya dimiliki oleh pemerintah dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Disebabkan selalu mengalami kerugian, maka BUMN yang bersifat Perjan ini sudah tidak ada lagi yang beroperasi, sebab besarnya pengeluaran dibandingkan pemasukan untuk mengelola Perjan tersebut. Contoh Perjan misalnya seperti: PJKA yang sekarang sudah berganti menjadi PT. KAI (PT Kereta Api Indonesia).

Perusahaan Umum (Perum), yaitu bentuk BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan badan usaha.

Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan , dengan persetujuan menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain. Contoh BUMN Perum ini, antara lain Perum Damri, Perum Bulog, Perum Pegadaian, dan Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).

Pasca reformasi Tahun 1998, terdapat pula Perusahaan Perseroan, yaitu BUMN berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai badan usaha. Contoh Persero antara lain PT Pertamina, PT Kimia Farma Tbk., PT Kereta Api Indonesia, PT Bank BNI Tbk.

Berkaitan dengan jenis BUMN saat ini yang sebagian besarnya adalah Perusahaan Terbatas (Persero), maka konsekuensi yang ditimbulkan kemudian adalah, selain tunduk pada ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN juga sekaligus terikat dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berbagai peraturan dan kebijakan mengenai BUMN pasca Orde Baru berubah drastis, termasuk adanya kewajiban atas Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan perusahaan/TJSL (Corporate Social Responsibility/CSR). Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya kebijakan pengaturan dan porsi kewajiban TJSL/CSR bagi BUMN selama ini beserta akuntabilitasnya?

*Porsi Alokasi TJSL/CSR*
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan mengacu pada ketentuan
UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Pasal 74 ayat 2 menyatakan, bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) merupakan kewajiban PT yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya PT yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

TJSL adalah komitmen Perseroan Terbatas (PT) untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pengaturan TJSL selanjutnya juga terdapat pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012) yang menyatakan, bahwa setiap PT selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Namun, perlu digaris bawahi bahwa berdasarkan PP 47/2012, kewajiban melaksanakan TJSL hanya ditujukan bagi PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA) berdasarkan ketetapan undang-undang. Yang dimaksud dengan PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA adalah PT yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. N

Namun demikian, juga ada diktum yang menyatakan, bahwa meskipun PT bersangkutan tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup juga dikenakan TJSL.

Artinya, walaupun suatu PT tidak menjalankan usaha di bidang pengelolaan SDA, apabila kegiatan usaha yang dilakukannya berakibat pada kerusakan lingkungan atau menurunnya fungsi kemampuan SDA, maka PT tersebut wajib melaksanakan TJSL.

Pembedaan kewajiban terhadap PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan SDA tersebut juga telah diuji materikan (Judicial Review/JR) oleh kelompok masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi. Atas uji materi tersebut, menurut pandangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 disebabkan karena PT yang mengelola SDA berkaitan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga khusus BUMN negara berhak untuk mengatur secara berbeda (hal 96.).

Bahkan, menurut MK kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial juga berlaku terhadap badan usaha lain seperti Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal).

Porsi alokasi dana TJSL perusahaan yang diwajibkan setiap tahunnya, baik mengacu pada UU PT maupun PP 47/2012 selaku peraturan pelaksananya tidak ditetapkan pengaturan besarannya secara spesifik atau persentase minimal dana yang harus dialokasikan untuk TJSL.

Meski demikian, dalam praktiknya, beberapa Pemerintah Daerah telah mengatur besaran minimal anggaran TJSL dalam Peraturan Daerah (Perda) nya masing-masing. Sebagai contoh, merujuk kepada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas serta Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (Perda Kaltim 3/2013) Pasal 23 ayat (1) mengatur bahwa pembiayaan pelaksanaan TJSL dialokasikan sebesar minimal 3% dari keuntungan bersih perusahaan setiap tahunnya.

Selain itu, Erick Thohir selaku Menteri BUMN pernah menyatakan ingin memperbesar dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) perusahaan-perusahaan BUMN yang saat ini sebesar 22 persen menjadi 30 persen ke sektor pendidikan. Hal itu disampaikan pada acara perhelatan Milenial Fest di Jakarta, pada Hari Sabtu tanggal 14 Desember 2019.

Disamping itu, Erick Tohir juga berkeinginan agar dana CSR untuk bidang lingkungan yang saat ini hanya sebesar satu persen ditingkatkan menjadi lima persen dari total anggaran CSR.

Masalahnya kemudian, bagaimana akuntabilitas publik terkait porsi dan alokasi dana TJSL atau CSR perusahaan-perusahaan dibawah Kementerian BUMN selama ini apabila ketentuan mengenai porsi dan alokasi ini hanya merupakan keinginan dan kebijakan pribadi ex officio Menteri bersangkutan?

Akuntabilitas publik porsi dan alokasi dana TJSL atau CSR ini krusial dan penting supaya tidak terdapat tafsir tunggal atau sesuai selera pengambil kebijakan dalam suatu periode pemerintahan saja, dan berpotensi diselewengkan sekalipun diperiksa oleh lembaga tinggi negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagai contoh, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menganggarkan dana cukup besar untuk program TJSL atau CSR ini, dan BNI bukanlah termasuk kelompok perusahaan yang mengelola SDA dengan pengenaan kewajiban melekat.

Tahun 2021, berdasarkan keterangan Corporate Secretary-nya, Mucharom, bahwa BNI mengalokasikan sejumlah Rp100 Miliar untuk program CSR tersebut. Sementara itu, realisasi penyaluran anggaran program bina lingkungan atau CSR Tahun 2020 mencapai Rp174.61 miliar (audited).

Program bina lingkungan atau CSR BNI pada Tahun 2020 BNI antara lain, bantuan korban bencana alam dan bencana non alam, termasuk yang disebabkan oleh wabah, diantaranya, yaitu bantuan program swab test PCR Covid-19 dan bantuan sarana prasarana penanggulangan Covid-19 serta bantuan tanggap darurat bencana di sejumlah wilayah di Indonesia.

Oleh karena itu, publik perlu bertanya atas akuntabilitas porsi dan alokasi dana TJLS atau CSR pada perusahaan BUMN lainnya yang berjumlah 142 unit, jika rata-rata menggunakan contoh alokasi dari BNI tersebut, maka total alokasi dana TJLS atau CSR BUMN bisa mencapai lebih dari Rp14,2 Triliun.

Bagaimana porsi dan alokasi dana TJLS atau CSR bagi perusahaan BUMN yang mengelola SDA, seperti Pertamina, PLN, Inalum, Krakatau Steel dan lain-lain? Seharusnya ada kebijakan umum yang ditetapkan oleh pemangku kepentingan (stakeholders) atas porsi dan alokasi dana TJLS atau CSR sehingga meminimalisir tafsir dan penyimpangan pemanfaatannya oleh Menteri BUMN bersama  sekelompok elite politik lainnya yang berwenang.***

*** Defiyan Cori, Eonom Konstitusi

Editor: Rohmat

Related Stories