LPD Antarkan Pariwisata Bali Menjadi Penyumbang Devisa Besar bagi Indonesia

I Ketut Wisna, ST.MM., (Jro Mangku Wisna/JMW) (Istimewa)

Saya terkesiap, ketika secara tidak sengaja menonton acara TV, salah satu stasiun TV nasional mainstream, yang judulnya demikian bombastis : “Mega Korupsi Desa Adat Bali”, yang ditayangkan pada Senin (16/5) pukul 22.05 WIB.

Kenapa saya demikian terkejut? Bali saat ini sedang tertatih tatih setelah babak belur secara ekonomi, selama 2 tahun menghadapi Pandemi COVID-19. Desa Adat sedari awal telah berperan dan diperankan dengan sangat massif serta sistematis untuk tidak hanya sekedar menjadi “bagian”, tetapi mengambil peran di garis depan.

Lalu kemudian, “Duarr”, seluruh Indonesia yang malam itu membaca judul program stasiun TV ini atau menonton langsung liputannya, pasti saat ini sedang bertanya-tanya, ada apakah dengan Desa Adat di Bali?

Pertama, harus dipahami bahwa secara entitas hukum, Desa Adat dan LPD adalah dua identitas berbeda yang diatur dalam dua peraturan hukum berbentuk peraturan daerah yang berbeda pula. Desa Adat saat ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, sedangkan LPD sebagai Lembaga Perkreditan Desa diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Lembaga Perkreditan Desa.

Kedua, berkaitan dengan pengelolaan keuangan, Desa Adat juga memiliki rel tersendiri yang diatur melalui Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali. Bagaimana dengan keuangan LPD? Keuangan LPD juga memiliki aturan aturannya tersendiri, selain Perda 3 Tahun 2017, juga ada Peraturan Gubernur No 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Perda 3 Tahun 2017.

Artinya, sistem pengelolaan keuangan, administrasi keuangan, sistem pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi memiliki pedoman dan rel masing-masing, antara satu dengan yang lain.

Ketiga, perlu dipahami dengan bijak, Desa Adat sebagai warisan adiluhung leluhur Bali, adalah pelaku utama yang membangun sebuah peradaban istimewa yang bernama Pulau Surga selama ribuan tahun. Sebuah peradaban yang mendatangkan kekaguman dari berbagai pelosok dunia, hingga turut menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Negara Indonesia di sektor pariwisata. Inilah peran dan fungsi Desa Adat di Bali, yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, tanpa banyak menuntut.  

Desa Adat yang hidup di Bali, perlu dipahami, bukanlah sekedar lembaga struktural yang hanya mengatur krama-nya (warga). Tetapi juga telah menjaga, memelihara dan memastikan tradisi yang terbungkus rapi dalam sistem religi yang kuat, terus terwarisi dari generasi ke generasi, hingga bisa hidup dan selanjutnya, kita nikmati sebagai sebuah keistimewaan di Pulau Dewata hingga saat ini.

Lalu bagaimana dengan LPD? LPD dalam pemahaman sebagai Lembaga Perkreditan Desa, merupakan salah satu tiang penyangga utama, dalam melestarikan tradisi, budaya berbalut sistem religi yang turun temurun dilakoni dan diwariskan di Desa Adat.

LPD telah membiayai pelaksanaan Panca Yadnya di Desa Adat di Bali, sesuatu yang akan sangat berat jika dibebankan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah ataupun Pemerintah Pusat. Berbagai pelaksanaan upacara /piodalan yang agung, berbagai prosesi yadnya yang dikagumi, upacara ngaben yang demikian istimewa, hingga berbagai festival budaya yang telah menarik wisatawan untuk hadir, rata-rata bisa berjalan dengan campur tangan LPD di dalamnya. Entah secara langsung, maupun melalui dana pembangunan atau dana sosial yang pengelolaannya diserahkan kepada Desa Adat.

Berapa nilai pembiayaan berbagai upacara yadnya yang dilakukan oleh LPD? Sangat besar tentunya! Nilai yang telah diberikan untuk tetap membuat Bali “hidup” dengan segala keunikan laku budaya, tradisi yang terbalut dalam nilai nilai religi Hindu Bali, mungkin jauh berkali kali lipat nilainya dari nilai asset yang dibukukan saat ini yang mencapai Rp 23,5 Triliun.

Inilah yang tidak dimunculkan dalam liputan yang malam itu kami tonton. Seberapapun besar masalah yang kini dihadapi tidak hanya oleh LPD, tetapi juga hampir semua entitas lembaga keuangan yang beroperasi di Bali, tentu tidak boleh begitu saja menegasi peran LPD yang telah membangun, menjaga dan mewariskan Bali yang luar biasa istimewa ini.

Tidak boleh juga, liputan ini menghilangkan peran Bali dalam menyumbang devisa kepada Negara Indonesia yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Tidak benar juga jika liputan ini menghilangkan jejak jejak sumbangsih Bali yang karena keistimewaanya tadi, telah mampu mendukung pembangunan berbagai Bandar Udara di luar Bali yang berada dalam wilayah kerja PT Angkasa Pura, ini sumbangsih Bali, sumbangsih Desa Adat, sumbangsih LPD kepada negara ini.

Lalu kemudian, ketika beberapa LPD saat ini ada dalam kondisi yang memprihatinkan, janganlah kemudian kita ramai ramai menghujat, menenggelamkan bahkan mengeneralisasi, seolah ini adalah Mega Korupsi sebuah lembaga tradisional yang telah menjadi bagian pembentuk NKRI, dan berpuluh tahun menyumbang devisa kepada negara yang kita nikmati bersama.

Pikiran saya akhirnya menerawang, apakah ini yang kita sebut sebagai momentum untuk mengenal lagi diri kita sendiri? Momentum untuk mengenal bahwa, Bali, Desa Adat dan tentu saja LPD didalamnya mestinya banyak berbenah, dan mau menyatukan diri untuk bersama-sama menghadapi upaya untuk mendegradasi keberadaan Desa Adat kita yang tercinta dan LPD yang kita banggakan.

Mungkin ini juga momentum untuk kita merenungi lagi, betapa upaya Gubernur Bali Bapak Wayan Koster untuk melakukan review terhadap kedudukan, fungsi, dan sistem pengelolaan LPD yang sebelumnya adalah Lembaga Perkreditan Desa menjadi Labda Pacingkreman Desa, mungkin saja adalah solusi dari upaya penguatan dan perjuangan LPD saat ini untuk kembali berjaya di masa mendatang.

Kami secara pribadi tidak menampik, bahwa ada LPD yang mungkin tidak di kelola dengan benar, atau dikelola oleh oknum pengurus yang tidak melakukan tata kelola dengan benar. Ini tentu saja adalah tanggungjawab kita besar, siapapun yang telah menikmati Bali, hidup di Bali dan bangga menjadi bagian dari keistimewaan Bali.

Bagi nasabah LPD yang sedang mengalami permasalahan, semoga bisa diselesaikan dengan win-win solution, penyelesaian permasalahan yang bisa mengembalikan kembali hak-hak nasabah secara utuh, sehingga tidak menjadi efek trauma berkepanjangan. Desa Adat juga tentunya harus mengambil peran, apalagi selama beroperasi telah ikut serta mengelola dan menikmati baik dana Pembangunan, Dana Sosial maupun program lain dari LPD.

Selama ada keinginan, kebersamaan dan kebijaksanaan yang menjadi nafas dan jiwa rajegnya Desa Adat di Bali, pasti selalu akan ada jalan keluar. Mari Jaga Bali, Jaga Desa Adat dan Jaga LPD kita semua.

Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru!  (*)

*Ketua Umum Forkom Taksu Bali, Jro Mangku Ketut Wisna (JMW), ST MT, 

 

Editor: Rohmat

Related Stories