Mengembalikan Keaslian Nilai Inti (Core Value) BRI

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Pada tanggal 16 Desember 2021, BRI memasuki Hari Ulang Tahun-nya (HUT) ke-126 dengan mengambil tema "Memberi Makna Indonesia". Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto saat konferensi pers Kick-Off HUT BRI secara virtual pada Hari Kamis tanggal 28 Oktober 2021 yang lalu. Bahwasanya, HUT BRI Tahun 2021 akan sangat istimewa mengingat dalam perjalanannya kehadiran BRI selalu memberikan kontribusi positif bagi Indonesia.

Benarkah BRI telah memberikan kontribusi positif bagi perkembangan perekonomian bangsa dan negara Indonesia semenjak kehadirannya? Untuk itu, perlu publik mengetahui secara kesejarahan kehadiran BRI sebagai sebuah organisasi perbankan yang tumbuh dimasa kolonialisme Belanda. Yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan penindasan, penjajahan dan alienasi (keterasingan) rakyat pribumi. 

Indikasi kontribusi itu paling tidak tampak dari sejarah awal berdirinya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang bermula di Purwokerto, Jawa Tengah atas prakarsa Raden Bei Aria Wirjaatmadja dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau "Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto". Pendirian suatu lembaga keuangan yang khusus melayani orang-orang berkebangsaan Indonesia (pribumi) yang secara resmi berdiri pada tanggal 16 Desember 1895, dan tanggal ini kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran BRI.

Selanjutnya, pasca kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi pula perubahan kebijakan terhadap BRI. Melalui PERPU No. 41 tahun 1960, dibentuklah Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) peleburan dari BRI, Bank Tani Nelayan dan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 9 tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan. 

Setelah berjalan satu bulan, keluar Penpres No. 17 tahun 1965 tentang pembentukan bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Dalam ketentuan baru tersebut, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama Bank Negara Indonesia unit II bidang Rural, sedangkan NHM menjadi Bank Negara Indonesia unit II bidang Ekspor Impor (Exim).

Kemudian, sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1992 status badan hukum BRI berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT), namun kepemilikan BRI saat itu masih 100% di tangan Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan, pada Tahun 2003, Pemerintah Indonesia melalui Menteri BUMN Laksamana Sukardi mengambil kebijakan memecah bagikan saham negara (stock split) dengan menjual 30% saham bank ini kepada sebagian publik melalui penawaran perdana publik (Initial Public Offering/IPO) sehingga menjadi perusahaan terbuka dengan nama resmi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan menggunakan kode bursa BBRI.

BBRI pertama kali tercatat sebagai emiten di BEI pada 10 November 2003 dengan penawaran saham perdana yang dijual pada harga Rp875/ lembar saham. Disamping itu, Perseroan  juga pernah melakukan stock split sebanyak dua kali lagi, yaitu pada Januari 2011 dan November 2017, sehingga harga sahamnya saat ini telah meningkat lebih dari 54 kali jika dibandingkan dengan harga pada saat IPO. Atas perkembangan IPO itu, maka omposisi saham Negara yang diwakili oleh
Pemerintah Indonesia pun berubah, yaitu 56,75% dan berada ditanga publik sebesar 43,25%. Artinya, terjadi pengurangan saham negara lagi yang diperjualbelikan kepada publik di BEI sebesar 13,25%.

Makna Kinerja Dan Kepemilikan Saham
Memaknai HUT BRI dengan perkembangan kinerja dan komposisi saham di BEI tersebut, maka seluruh insan Bank BRI akan didorong untuk meningkatkan value bagi Indonesia melalui dua strategi peningkatan nilai (value), yaitu dari sisi ekonomi dan sosial. Dari sisi nilai ekonomi (economic value) diharapkan dapat mencapai sasaran (target) dengan ukuran seperti market cap, pertumbuhan bisnis melalui laba yang bermanfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholder). 

Selain itu, BRI juga harus mampu membawa nilai sosial, yakni memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui pemberdayaan nasabah yang sebagian besar UMKM serta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Tahun 2020 berjumlah 64 juta unit.

Tidak dapat dipungkiri, diantara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor industri perbankan atau yang tergabung dalam Himpunan bank-bank milik Negara (Himbara), maka PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah jawaranya. Betapa tidak, kinerja BRI selama 7 (tujuh) tahun terakhir sangat positif sehingga mampu meningkatkan nilai sahamnya di pasar Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Hanya pada Tahun 2015 dan 2016, BRI menempati urutan kedua setelah Bank Mandiri dalam kinerja jumlah alokasi dan pertumbuhan kredit. Pada Tahun 2015 BRI hanya berhasil mencapai jumlah alokasi kredit sejumlah Rp558,4 Triliun, sementara Bank Mandiri mencapai  Rp595,5 Triliun, sedangkan Tahun 2016 Rp635,3 Triliun dan Rp662 Triliun.

Sementara itu, perolehan laba yang berhasil dibukukan oleh BRI tidak dapat ditandingi oleh kelompok Himbara lainnya. Rata-rata perolehan laba yang berhasil dicapai oleh BRI selama enam tahun (sejak 2015) terakhir adalah Rp18-35 Triliun, dengan perolehan terendah pada Tahun 2020 sebesar Rp18,65 Triliun, sedang Bank Mandiri hanya mencatatkan laba sejumlah Rp17,1 Triliun. Begitu pula halnya dengan kredit macet (Non Performing Loan/NPL) nya rata-rata sebesar 2 persen, berbanding Bank Mandiri yang mencapai rata-rata 3 persen.

Dengan kinerja manajerial seperti itu, lalu bagaimanakah bentuk dan cara BRI meningkatkan nilai sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia supaya tidak hanya menjadi slogan. Sebab manfaat ekonominya, setelah saham negara diperjualbelikan di pasar BEI, maka alokasi perolehan laba sebesar 43,25 persen telah terdistribusi kepada pemilik saham sebagian publik, baik korporasi swasta, organisasi maupun perorangan. 

Termasuk yang diberikan ke Kas Negara dari laba yang dihasilkannya secara tahunan juga hanya 56,75 persen saja atau tidak lagi seluruhnya atau 100 persen. Dengan kinerja cemerlang yang dihasilkan dan komposisi kepemilikan sahamnya, perlu publik mempertanyakan dimana letak nilai sosial dari HUT BRI, apalagi jika dikaitkan dengan sejarah pendirian awal BRI. Permasalahan utamanya adalah terletak pada kebijakan memecahbagikan saham (stock split) Negara tersebut.

Setidaknya, ini menjadi perhatian strategis bagi para Direksi dan Komisaris Himbara dalam perspektif menegakkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ekonomi konstitusi, di satu sisi. Sementara disisi yang lain, kebijakan pemerintah justru kontraproduktif atas pencapaian tujuan ayat 3, yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan memecahbagikan saham (stock split) yang notabene laba perseroan hanya terbagi kepada sebagian publik pemilk saham 43,25% itu saja, dan tentu saja tidak sampai kepada 64 juta unit UMKM dan Koperasi. Tidak mungkin kelompok ini terlibat atau mampu memperjualbelikan saham yang berada di BEI dalam kaitannya dengan porsi pembagian perolehan laba BRI berdasarkan komposisi saham sementara mereka kekurangan modal (Capital).

Oleh karena itu, mengembalikan kepemilikan saham negara 100 persen sebagaimana yang terjadi pada masa sebelum BRI diIPO-kan lebih relevan memaknai HUT BRI ke-126 Tahun. Sebab, saat ini nilai inti BRI tidak lagi mengacu pada maksud pendirian BRI yang mulia untuk membantu para petani, nelayan, pekebun dan nelayan dengan paradigma liberalisme-kapitalisme melalui kepemilikan saham sebagian orang tersebut yang hanya memakmurkan orang per orang atau sebagian orang saja. Tidak mungkin kelompok masyarakat lainnya dapat memaknai nilai ekonomi dan sosial pertumbuhan bisnis yang berhasil dicapai BRI. (*)

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email kotakbalinesia@gmail.com. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 

Editor: Rohmat

Related Stories