Larangan Ekspor Batubara Diantara Komitmen COP26 dan Kepentingan Nasional

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Bernarkah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menguasai cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedang atau akan mengalami kelangkaan batubara?

Kalau memang sampai terjadi kelangkaan pasokan (supply) batubara untuk menggerakkan pembangkit listrik sehingga Direktur Utama PLN yang baru 3 (tiga) minggu menjabat sampai menyampaikan surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cq. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) pada tanggal 31 Desember 2021. Tidak berpikir terlalu lama, pada waktu yang sama Dirjen Minerba langsung menanggapi surat dari Dirut PLN Darmawan Prasodjo tersebut dengan melakukan pelarangan ekspor batubara. Luar biasa cepatnya tanggapan dari Kementerian ESDM tentu mengundang tanda tanya bagi sebagian besar pemangku kepentingan (stakeholder) dan publik pada umumnya, ada apakah dengan pasokan batubara seketika akan mengalami kelangkaan?

Apakah ada hubungannya dengan meningkatnya harga keekonomian batubara dunia sehingga berlaku hukum permintaan dan penawaran, yangmana saat harga meningkat, maka kecenderungan produsen akan menjual produknya ke pasar internasional dibandingkan dengan pasar domestik. Lalu, kalau terjadi pelarangan ekspor batubara tersebut, bagaimana halnya dengan penerimaan devisa negara, tentu juga akan terganggu kepentingan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan dalam meningkatkan devisa dari penerimaan ekspor minerba ini.

Tentu publik sangat sepakat, kalau kebijakan pelarangan ekspor yang diambil oleh Kementerian ESDM terkait surat Dirut PLN adalah untuk mengutamakan kepentingan pasokan domestik, terutama untuk konsumsi pembangkit listrik milik PLN. Sebab, jika hal ini tidak dipenuhi maka kelangkaan batubara akan mengakibatkan pasokan listrik kepada industri dan konsumen Rumah Tangga akan terganggu dan berpotensi terjadinya pemadaman setiap hari. Namun demikian, menjadi pertanyaan pula bagi publik atas penyebab kelangkaan pasokan batubara yang disinyalir mengantisipasi keluarnya batubara ke pasar luar negeri disebabkan harganya yang lebih kompetitif.

Artinya, jajaran Direksi PLN selama ini tidak melakukan perhitungan (kalkulasi) yang matang terhadap kebutuhan periodik yang harus disiapkan, apalagi terkait dengan kontrak perjanjian jual beli batubara dengan para pengusaha batubara yang cenderung mencari keuntungan.

Selain itu, sebagai pemegang amanah Presidensi G20 (Group of Twenty/kelompok negara maju) dan wujud dari komitmen COP26 yang mengharuskan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, Presiden Joko Widodo harus mampu memainkan peranan pentingnya. Hal ini mengingat, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya menggunakan batu bara, disatu sisi. Di sisi yang lain, pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang harus ditindaklanjuti terkait COP26 masih belum dapat diandalkan untuk menghasilkan listrik.

Berdasarkan data yang dipublikasikan PLN, pada Tahun 2019 dari segi kapasitas terpasang PLTU masih mendominasi sekitar hampir 44 persen untuk menghasilkan listrik. Sementara itu, disegmen EBT, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) kontribusinya hanya sekitar 8 persen, kemudian diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kontribusi  hanya sekitar 3 persen. Sedangkan dari sisi produksi listrik, PLTU justru menyumbang lebih besar lagi, yaitu sekitar 61 persen. Dan, segmen EBT, PLTA hanya menyumbang 5 persen, serta PLTP hanya sekitar 2 persen dari produksi listrik dalam negeri.

Lalu, dengan posisi seperti ini bagaimanakah kepentingan Presiden Joko Widodo menyelamatkan postur APBN dan keuangan negara atas kebijakan larangan ekspor batubara tersebut terkait dengan potensi devisa bagi penerimaan negara di satu sisi. Sementara itu, pada sisi yang lain sebagai pemegang mandat Presidensi G20 Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmen bagi pelaksanaan agenda perubahan iklim (climate change) yang baru saja disepakati dalam pertemuan tingkat tinggi pada tanggal 31 Oktober-12 November 2021 lalu di Glasgow, Skotlandia. (*)

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.


Related Stories