Kebijakan Harga BBM, Membuat BUMN Pertamina Terjepit!?

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Harga keekonomian minyak mentah dunia yang berfluktuasi sejak bulan Januari Tahun 2020 telah menunjukkan kecenderungan meningkat secara signifikan juga mulai bulan Januari-Nopember 2021, rata-rata berkisar antara US$70-80 per barrel. Kenaikan harga keekonomian ini jelas jauh meleset dari asumsi ekonomi makro harga minyak mentah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu US$63 per barrel pada Tahun Anggaran (TA) 2020 dan US$45 per barrel untuk TA. 2021.

Sementara itu, asumsi ekonomi makro untuk harga minyak mentah dalam APBN TA 2022 telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sejumlah US$63 per barrel atau sama dengan ketetapan asumsi harga TA. 2020. Namun, apa yang akan terjadi apabila kebijakan harga dan asumsi ekonomi makro terkait harga minyak mentah ini kembali meleset jauh lagi, apa resiko dan dampaknya bagi pengelolaan sektor industri energi Indonesia, terutama kinerja BUMN Pertamina?

Diskresi Menko Perekonomian
Pada TA. 2021 harga minyak mentah dunia ditetapkan sejumlah US$ 45 per barel yang disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai asumsi the worst is over saat melakukan konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2021, pada Hari Jumat, tanggal 14 Agustus 2020 yang lalu. Sedangkan lifting minyak saat itu, dipatok sebesar 705 ribu barel per hari, dan lifting gas dipatok 1,07 juta barrel of oil equivalent per day (boepd). Selain itu, Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga telah berulangkali merevisi aturan terkait penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebijakan yang mengatur harga BBM ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.69 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 191 Tahun 2014 dan 43 Tahun 2018)  yang ditandatangani pada 3 Agustus 2021.

Perpres itu, selain mengatur penugasan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu yaitu jenis solar (gas oil) dan minyak tanah (kerosene), juga mengatur BBM khusus penugasan jenis RON 88 atau Bensin/Premium kepada Badan Usaha. Perpres ini juga mengatur tentang ketentuan harga jual eceran jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan tersebut. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 14  terkait harga jual eceran BBM yang ditetapkan melalui peraturan atau keputusan Menteri Energi  Sumber Daya Mineral (ESDM), termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Untuk Jenis BBM Tertentu (JBT) seperti Minyak Tanah (Kerosene) setiap liternya diberikan subsidi dan harga jual eceran JBT lainnya berupa minyak solar (Gas Oil) di titik serah, untuk setiap liter, dihitung dengan formula yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikurangi subsidi, dan ditambah Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Sedangkan, untuk harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) di titik serah untuk setiap liter, dihitung dengan formula yang terdiri atas harga dasar ditambah biaya tambahan pendistribusian di wilayah penugasan, serta ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Dalam hal terdapat perubahan harga jual eceran JBT dan JBKP sebagaimana dimaksud dalam materi Perpres tersebut, maka Menteri menetapkan harga jual eceran JBT dan JBKP berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. 

Disamping itu, didalam Perpres itu juga dinyatakan kewenangan Menteri yang dapat menetapkan harga jual eceran JBT dan JBKP berbeda dengan perhitungan badan usaha dengan mempertimbangkan:
a. kemampuan keuangan negara;
b. kemampuan daya beli masyarakat; dan/atau
c. ekonomi riil dan sosial masyarakat, berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

Tidak kalah penting dan krusial dalam Perpres ini, yaitu Menteri menetapkan formula harga dasar yang terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin dari badan usaha. Selain itu, untuk harga jual eceran Jenis BBM Umum (JBU) juga diatur diantara Pasal 14 dan Pasal 15, yaitu Pasal 14A, yang memuat ketentuan harga jual eceran JBU di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Harga dasar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini juga merupakan formula yang terdiri atas biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin.

Jenis BBM Umum dinyatakan, yaitu bensin atau solar non subsidi, di luar BBM subsidi dan BBM khusus penugasan. Dan, BBM Umum meliputi seperti bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/ RON) di atas 90 seperti Pertamax. Saat ini harga BBM bersubsidi, seperti solar dan minyak tanah, serta BBM penugasan atau Premium masih mengacu pada Keputusan Menteri ESDM No. 125.K/ HK.02/ MEM.M/ 2021 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan.
Keputusan ini berlaku surut sejak 1 Juli 2021, meski ditetapkan pada 12 Juli 2021.

Terhadap perkembangan kenaikan harga keekonomian minyak mentah dunia, maka Pertamina (Persero) melalui PT. Pertamina Patra Niaga, atau Sub Holding Commercial & Trading telah menaikkan dua produk BBM non subsidi yaitu Pertamax Turbo dan Pertamina Dex. Pertamax Turbo (RON 98) yang semula harganya Rp9.850 per liter dinaikkan menjadi Rp12.300 per liter, berarti terdapat perubahan sejumlah Rp2.450 atau sebesar hampir 25%. Kenaikan harga juga diberlakukan kepada Pertamina Dex (CN 53) yang semula harganya Rp10.200 per liter menjadi Rp 11.150 per liter  atau mengalami perubahan harga sejumlah Rp950 atau hanya sebesar 9,3% saja.

Namun, untuk produk BBM jenis lain tidak mengalami perubahan, dan mengikuti ketentuan yang telah diberlakukan per hari Sabtu, tanggal 18 September 2021. Kebijakan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat atas Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Mengacu pada berbagai kebijakan mengenai harga BBM dan asumsi ekonomi makro didalam APBN, jelas menunjukkan bahwa BUMN Pertamina tidak bisa leluasa dan cepat menanggapi (respon) berbagai perubahan harga keekonomian minyak mentah dunia yang domain kewenangannya berada ditangan pemerintah.

Dengan memperhatikan beban kinerja BUMN strategis serta dukungannya terhadap berbagai agenda kegiatan perubahan iklim (climate change) yangmana Presiden Joko Widodo pemegang mandat Presidensi G20, maka pemerintah harus menetapkan harga BBM lebih wajar dan adil berdasarkan perkembangan harga keekonomian minyak mentah dunia. Sebagaimana harga patokan elpiji 3 kilogram (kg), yang diatur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 253.K/12/MEM/2020 tentang Harga Patokan Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Dalam diktum kesatu Kepmen tersebut dinyatakan, bahwa harga patokan elpiji 3 kg ditetapkan berdasarkan harga indeks pasar (HIP elpiji tabung 3 Kg) yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi dan margin. Harga patokan elpiji tabung 3 kg sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu itu ditetapkan dengan formula 103,85 persen HIP elpiji tabung 3 Kg + US$50,11 dollar per metrik ton (MT) + Rp 1.879,00 per kg sebagaimana uraian diktum kedua yang dipublikasikan pada tanggal 18 Januari 2021. Diktum tersebut juga menyebutkan, formula harga patokan tersebut dapat dievaluasi sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan realisasi dari faktor yang mempengaruhi penyediaan dan pendistribusian elpiji 3kg.

Lalu, bagaimana halnya dengan penetapan kebijakan subsidi BBM dan elpiji yang akan diambil oleh pemerintah Republik Indonesia terkait perkembangan kenaikan harga keekonomian minyak mentah dunia yang mencapai lebih dari US$100 per barrel dan harga Liquid Petroleum Gas (LPG) berdasarkan perjanjian CPA dengan Saudi Aramco yang berpengaruh pada Harga Pokok Produksi/BPP dan harga jual ke konsumen akhir?  Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat Indonesia harus menyelesaikan posisi dilematis, bahkan terjepitnya jajaran Direksi Holding BUMN Migas Pertamina dan sub holdingnya terkait ketentuan kebijakan harga BBM dan Elpiji yang perlu disesuaikan dengan perkembangan harga terkini (update).  Hal ini penting secara serius diperhatikan karena terkait atas 2 (dua) faktor, yaitu posisi keuangan negara dengan APBN yang selalu defisit dan kinerja BUMN Pertamina, khususnya masalah keuangan yang menunjang operasionalisasi perusahaan. Melesetnya asumsi ekonom makro yang telah ditetapkan pada TA. 2019, 2020 dan 2021 tentu berimplikasi pada pembayaran pembelian sektor hulu Pertamina dan kompensasi yang harus diterima sebagai selisih kenaikan antara harga beli bahan baku dan harga jual ke konsumen akhir.

Ketiadaan penyesuaian harga BBM dan elpiji tentu akan berpengaruh pada kondisi aliran kas (cash flow) Pertamina dalam jangka pendek untuk membeli sumber bahan baku yang lebih mahal, sementara harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan. Dalam jangka panjang, implikasinya adalah terkait dengan kebijakan subsidi energi dan transisi energi yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo tentu akan menghambat aksi korporasi BUMN Pertamina dalam mencari sumber pembiayaan ekonomis dan membayar kewajiban kepada pihak ketiga serta melayani masyarakat konsumen sampai ke daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).  Sebelum terlambat, supaya tidak mengikuti jejak kasus ambruknya BUMN Garuda Indonesia, maka selayaknya Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang cepat, cermat dan tepat dalam mengantisipasi kenaikan harga dimaksud.

Apabila melakukan tolok ukur (benchmark) harga BBM atas perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia melalui beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang dimilikinya, maka tidak pantas pemerintah menahan penyesuaian harga BBM Pertamina yang berlaku saat ini. Apalagi harga BBM tersebut lebih rendah dibandingkan produk sejenis dari SPBU-SPBU asing itu juga berpatokan pada harga keekonomian minyak mentah dunia yang sama, dan tidak ada kebijakan subsidinya. Pembiaran terhadap hak menyesuaikan harga BBM ini oleh pemerintah jelas melanggar peraturan dan Undang-undang yang telah ditetapkan serta melanggar konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 dalam rangka mendukung BUMN Pertamina melalui pengelolaan keuangan yang rasional dan aman bagi keberlanjutan mencapai tujuan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia melalui penyesuaian harga BBM yang wajar.

*Defiyan Cori,  Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri
 


Related Stories