IPO PGE dan Kalkulasi Buy Back Saham PGN oleh Pertamina

Arya menuturkan, objek tersebut bukanlah objek pajak karena PGN tidak mengutip pajak ke konsumen yang membeli gas tesebut

Pada akhir Januari 2023, publik sedang menyoroti rencana penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) anak perusahaan (sub holding) dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Holding Minyak dan Gas Bumi (Migas) PT. Pertamina (Persero), yaitu PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang bergerak dalam industri energi panas bumi.

Lalu, apa yang sebenarnya dipermasalahkan oleh publik, khususnya oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) terkait dengan substansi IPO? Yangmana telah terdapat sejumlah 28 unit BUMN (dari 142 unit) yang telah diperjualbelikan sahamnya sebagai perusahaan terdaftar di Pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai tahun 1991 pertama kali oleh PT. Semen Gresik?

Berdasarkan peraturan dan per-Undang-Undangan (UU) yang berlaku, terutama UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yaitu pasal 72 pada huruf d, dinyatakan bahwa restrukturisasi dan privatisasi BUMN dilakukan dengan cara yang mudah.

Pada pasal ini tak disebutkan ruang lingkup kepemilikan saham negara dan BUMN apa saja yang boleh diprivatisasi dan seberapa besar jumlah saham yang bisa dipecahbagikan (stock split) ke publik. Maksud dan tujuan IPO juga terdapat pada Pasal 74, yaitu untuk memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero.

*Pengaruh Aksi Korporasi*
Mengacu pada ketentuan pasal-pasal dalam UU 19/2003 sebagai landasan hukum, maka IPO BUMN adalah kebijakan atau tindakan yang SAH! Apalagi secara data dan fakta kinerja BUMN yang telah IPO menunjukkan kinerja yang memang tidak selalu buruk. Banyak diantara BUMN IPO justru menunjukkan kinerja yang baik dan positif dengan menghasilkan laba dan setoran dividen ke Kas Negara.

BUMN Perbankan, misalnya rata-rata, seperti PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT. Bank Mandiri dan PT. Bank Negara Indonesia (BNI) pada tahun 2022 masing-masing berhasil membukukan laba signifikan. BRI berhasil mencatatkan laba Rp51,5 triliun (naik 67,15% dibanding tahun 2021), Bank Mandiri sejumlah Rp41,2 triliun (meningkat 46% dibandingkan tahun 2021), dan BNI sejumlah Rp18,3 triliun atau terdapat kenaikan sebesar 68 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 2021.

Pada bidang usaha hulu migas pun, telah ada anak perusahaan (sub holding) BUMN Pertamina yang juga diIPO-kan, yaitu PT. Perusahaan Gas Negara (PGN). IPO PGN dilakukan  pada tanggal 5 Desember 2003, melalui penawaran umum saham perdana kepada masyarakat sejumlah 4,32 miliar lembar dengan nilai nominal Rp500 per saham dan harga penawaran Rp1.500 per saham dan tercatat di BEI pada tanggal 15 Desember 2003. Dana hasil IPO berhasil diperoleh sejumlah Rp1,94 triliun dan PGN mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) sebanyak 8,56 kali.

Melalui aksi korporasi itu, saham PGN yang diperdagangkan di BEI kinerjanya positif dengan mengacu pada nilai pembukaan penjualan bulan Januari 2023 yang bergerak diantara harga Rp1.610-1.620 per lembar saham.

Bahkan, PGN pada tanggal 29 Juni 2022 sesuai keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membagikan dividen kepada para pemegang saham sejumlah Rp3,01 triliun atau setara Rp124,42 per saham.

Keputusan pembagian saham ini adalah hal yang luar biasa dan patut diapresiasi oleh publik disebabkan jajaran PGN yang dipimpin oleh Direktur Utama M. Haryo Yunianto mampu berkinerja dengan baik serta menunjukkan hasil yang positif dan optimis.

Apresiasi ini tentu saja tidak  hanya oleh karena adanya kebijakan pembagian dividen yang begitu mengejutkan publik. Lebih dari itu, adalah kemampuan manajemen PGN dalam menyelesaikan sengketa soal pajak atas keputusan Mahkamah Agung yang berakibat kerugian PGN sejumlah Rp 3,06 triliun.

Padahal, laporan keuangan PT PGN Tbk sebelumnya mencatatkan kerugian korporasi ini pada tahun 2021 sejumlah US$ 264 juta atau sekitar Rp 3.845 Triliun, artinya ada selisih sejumlah Rp740 miliar. Sengketa ini, menjadi praktek terbaik (success factor) bagi jajaran Direksi BUMN PGN.

Sebagai perusahaan Migas utama, maka dengan kinerja positif PGN tersebut seharusnya ada kebijakan strategis lain yang harus diambil oleh jajaran Direksi dan Komisaris BUMN Pertamina sebagai Holding Migas melalui Kementerian BUMN, yaitu mengambil alih kembali (buy back) saham negara dari pihak swasta.

Jumlah saham PGN yang terdaftar di BEI adalah 4,32 miliar lembar lebih dan sebesar 43 persen diantaranya merupakan saham publik/swasta. Sedangkan saham negara pada PGN melalui penyertaan kepada BUMN Pertamina adalah sebesar 57 persen yang berarti memiliki

Sejumlah 2,46 miliar lembar lebih. Pertamina hanya membutuhkan dana sejumlah Rp3,96 triliun untuk mendapatkan kembali saham 100 persen. Apabila IPO PGE berjalan lancar, maka dana hasil pelepasan 25 persen saham negara kepada publik sejumlah Rp9,78 triliun ini dapat mengkompensasinya.

Pengambilalihan kembali saham PGN yang berada ditangan publik/swasta melalui PT Saka Energi Indonesia ini sangat krusial disebabkan BUMN ini mengelola 9 wilayah kerja domestik, terdiri dari Blok Ujung Pangkah (100%), Blok Sesulu Selatan (100%), Blok Bangkanai (30,00%), Blok Bangkanai Barat (30,00%), Blok Muriah (100%), Blok Ketapang (20%), Blok Muara Bakau (11,67%), Blok Pekawai (100%), Blok Yamdena Barat (100%) dan 1 wilayah kerja internasional di Amerika Serikat, yaitu Blok Fasken (36%).

Tujuannya agar semakin mempermudah PGN dalam membangun infrastruktur jaringan gas dan memberikan pelayanan kepada konsumen melalui kebijakan harga yang lebih terjangkau.

Memang benar, ada juga sejarah ketidakberhasilan (unsuccess factor) pada BUMN yang telah IPO, yaitu PT Garuda Indonesia Tbk yangmana pada tahun 2021 BUMN ini masih mencatat kerugian tahun berjalan senilai US$ 4,16 miliar atau setara dengan Rp 62,3 triliun.

Kinerja BUMN Garuda Indonesia ini semakin buruk apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yangmana rugi bersih selama tahun 2020 sejumlah US$2,44 miliar atau kerugian tahun 2021 meningkat sebesar 70,25 persen. Sementara itu, harta kekayaan (asset) korporasi juga ikut mengalami penyusutan sebesar 33,33 persen tahun ke tahun (year on year/yoy) menjadi US$7,19 miliar, dan utang perseroan meningkat sebesar 4,47 persen yoy menjadi US$13,30 miliar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua kasus BUMN yang diIPO-kan menghasilkan kinerja yang buruk, meskipun pembagian dividen mempengaruhi setoran ke kas negara secara proporsional.

Oleh karena itu, kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) juga harus proporsional terhadap para pemegang saham publik/swasta dalam menanggung kerugian BUMN sebagai bentuk hukuman (punishment) atas hasil kinerja korporasi yang buruk atau negatif. Last but not least, mekanisme pengambilalihan saham negara kembali (buy back) juga harus dilakukan agar beban keuangan negara atas APBN juga dapat berkurang melalui pembagian dividen yang utuh 100 persen ke kas negara. (*)

*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories