Erick Tohir Juga Jangan Gagah-gagahan

Menteri BUMN, Erick Thohir. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Luar biasa dan fenomenal, inilah kata yang patut diungkapkan atas kiprah seorang Erick Tohir yang dikenal luas sebelumnya sebagai pengusaha muda terkenal serta merambah kesuksesan sampai ke mancanegara. Lebih mengejutkan lagi dan terkaget kaget sebagian pihak saat dia membeli salah satu klub sepakbola ternama Italia, Inter Milan. Mungkin atas alasan kesuksesan sebagai pengusaha muda yang mendunia inilah, kemudian Erick Tohir ditunjuk sebagai ketua tim kampanye oleh Presiden Joko Widodo pada kontestasi Pemilihan Presiden secara langsung tahun 2019 dan dianggap berhasil mengantarkan pasangan Jokowi-KH. Ma'ruf Amin ke tampuk kepemimpinan nasional diperiode kedua, 2019-2024.

Lalu, seperti gayung bersambut saja penghargaan pun diimbal balikkan Presiden Joko Widodo atas kinerjanya itu dengan memberikan jabatan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebuah pos untuk mengelola harta kekayaan (asset) negara yang dimiliki BUMN sejumlah Rp8.000 triliun dan berkuasa penuh menempatkan orang-orang dalam jajaran pucuk pimpinan sesuai Pasal 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Setelah menjabat beberapa bulan, dalam suatu kesempatan pertemuan bersama bos-bos perusahaan pelat merah itu Menteri BUMN Erick Tohir berpesan agar para direksi bertingkah layaknya pengelola perusahaan, bukan seperti pemilik perseroan. Kenapa bukan pemilik perseroan, karena memang para direksi BUMN ditugaskan hanya mengelola harta kekayaan (asset) milik negara, bukan sebagai pemiliknya.

Tentu saja pernyataan Erick Tohir dimaklumi mayoritas publik Indonesia, sebab dalam mengelola sebuah perusahaan negara, para pimpinan BUMN harus memegang teguh amanah dari pemilik harta kekayaannya, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia. Bahkan saat menyampaikan arahannya tanggal 26 Februari 2020 lalu itu, Erick Tohir jelas dan tegas menggunakan kata "kita" dalam wewenang yang dimilikinya itu dengan menyatakan, bahwa mereka  hanya pengelola badan usaha milik negara, dan bukan badan usaha milik nenek lu!

Badan Usaha Milik Negara memang lahir bukan dari nenek lu, dan juga bukan nenek gue dan semua orang juga tahu. BUMN lahir, tumbuh dan berkembang oleh sebuah situasi dan kondisi ketidakadilan sistem perekonomian yang diterapkan di wilayah nusantara. Tidak bisa dilepaskan dari perjalanan pergerakan perjuangan rakyat melepaskan diri dari belenggu kolonialisme yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme.

Salah satu pemikiran dan karya yang monumental untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan keuangan yang melilit rakyat di wilayah Pulau Jawa kala itu muncul dari Raden Aria Wiriatmadja. Sebuah gagasan menolong diri sendiri atau self help dijalankan pada 16 Desember 1895 untuk membantu masyarakat keluar dari jerat utang rentenir Belanda yang memiskinkan mereka. Momentum inilah kemudian yang dijadikan tonggak bersejarah oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI), sehingga pada tahun 2022 kehadirannya telah berusia 127 tahun.

BRI merupakan sebuah kelahiran BUMN sekaligus simbol perlawanan seorang tokoh bangsa yang berupaya melepaskan rakyatnya dari belenggu kesulitan keuangan akibat pola dan gaya serta perilaku rentenir Belanda yang menghisap! Tidak pernah juga terdengar Raden Aria Wiriatmadja menyampaikan badan usaha yang dia bangun adalah badan usaha milik gue!  Sebab, selain tidak perlu menyampaikan kalimat seperti itu, seseorang yang berprinsip pada kekuatan self help dan tolong menolong tentu akan sadar diri dimasa penjajahan, penindasan kolonialisme semua pihak harus senasib sepenanggungan bekerjasama melepaskan diri dari pola rentenir yang mencekik leher rakyat!

Tokoh bangsa itu tahu, bahwa negeri nusantara ini gemah ripah loh jinawi yang harus dijaga dan dirawat sebaik-baiknya tanpa meninggalkan budaya luhur bangsa. Sebuah cita-cita dan perjuangan masyarakat sebagai bagian bangsa Indonesia yang bercita-cita menciptakan ketentraman/perdamaian, kesuburan, keadilan, kemakmuran, tata raharja serta mulia abad. Begitu pula halnya dalam mengelola BUMN yang diharapkan kiprahnya dalam mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk tujuan itu, memang tidak boleh gaya-gayaan dan hanya menuruti kemauan gaya seseorang saja, tidak boleh asal dalam menyampaikan kalimat kepada publik.

Misalnya, melarang BUMN sampai membuka cabang di luar negeri tanpa kajian dan alasan serta pertimbangan yang matang. Kata "jangan gaya-gayaan" yang fenomenal ini kembali keluar dari mulut Menteri BUMN Erick Tohir yang menyentil himpunan bank milik negara (Himbara) agar tidak membuka cabang di luar negeri hanya untuk bergaya semata. Katanya, "Buka cabang di luar negeri jangan gaya-gayaan, (tujuannya) buat membantu diaspora, itu yang kita tekankan," demikian kalimat Erick Tohir di gedung Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Senin 2 Januari 2023. Artinya, kalau hanya untuk membantu diaspora saja, memang terlalu sempit ruang gerak BUMN perbankan dalam mencapai kinerja terbaik, urusan perdagangan luar negeri dikelola bank swasta?

Selanjutnya, Menteri BUMN pun melarang BRI dan Mandiri untuk membuka cabang di luar negeri atas tuduhan gaya-gayaan tersebut. Namun, tentu publik mempertanyakan ketidakbolehan atau larangan itu, sementara BRI dan Bank Mandiri (selain BNI) telah memiliki kantor cabang di Singapura, Amerika Serikat, London (Inggris), apakah akan ditutup atau ditukar guling? Selain itu, melarang BRI ditengah kinerjanya yang positif sampai Triwulan III/2022 lebih menegasikan prestasi jajaran BUMN ini untuk terus maju berkembang memperluas jangkauan pasar. Apalagi BRI mampu membukukan laba bersih Rp39,19 triliun di atas BNI dan Bank Mandiri yang masing-masing sejumlah Rp13,7 triliun dan Rp30,7 triliun.

Alasan larangan yang dikemukakan sebenarnya tidak cukup masuk diakal, menurutnya, saat ini hanya BNI yang ditujukan untuk menjadi bank internasional. Patutkah Menteri BUMN memilih kebijakan tidak berpijak pada kenyataan yang telah terjadi (empirik) atas keberadaan cabang bank-bank BUMN telah hadir lama di luar negeri? Apakah jika bank-bank BUMN membuka kantor cabang di luar negeri selama ini termasuk aksi korporasi gaya gayaan, lalu bagaimana dengan BUMN yang non perbankan?

Padahal, telah banyak para direksi BUMN memperoleh penghargaan (awards) dunia diberikan oleh lembaga ternama karena prestasi kinerjanya. Apakah ini juga gaya-gayaan dan harus dilarang karena tidak perlu pengakuan dan penghargaan dunia, lebih penting bermanfaat untuk rakyat. Kalau ini maksud dan tujuannya, maka larangan gaya gayaan Menteri Erick Tohir harus kita dukung. Dukungan ini penting bagi konsistensi pernyataannya dulu terkait soal status BUMN yang badan usaha milik nenek lu, apalagi milik gue!

Malah, jangan sampai singkatan BUMN yang dulu dinyatakan sebagai bukan badan usaha milik nenek lu itu kata lu nya hanya berlaku pada para direksi dan tak berlaku pada Erick Tohir sebagai Menteri BUMN yang mungkin paling lama menjabat 5 tahun. Maka dari itu, semua pihak yang diberikan amanah mengelola perusahaan negara harus mawas diri, jangan sampai BUMN diubah menjadi BUMG atau badan usaha milik gue oleh siapapun. Termasuk para pejabat pemerintahan dan negara juga jangan gaya-gayaan serta jangan lupa sejarah (jas merah) atas keberadaan BUMN sejak dulu sampai saat ini, yaitu kelahirannya untuk menjaga negeri yang gemah ripah loh jinawi supaya tidak kembali terjajah oleh sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme, apalagi komunisme! (*).

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Rohmat
Tags BRI BUMNBagikan

Related Stories