Dikenal Sejak Masa Kolonial, Ini Dinamika Kepariwisataan Bali

Cok Ace. (Balinesia.id/ist)

Denpasar, Balinesia.id – Bali mulai dikenal dan dibantuk sebagai destinasi wisata sejak masa Kolonial Belanda di awal tahun 1900an. Selama lebih dari seabad, pariwisata Bali pun mengalami dinamika.

Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) dalam Pengukuhan Pengurus Pacific Asia Travel Association PATA Bali dan Nusa Tenggara Chapter Periode 2022-2027 di Art Gallery Griya Santrian Sanur, Kamis, 22 September 2022, menuturkan dinamika pariwisata Bali yang panjang. Dinamika itu pun diharap dapat dijadikan pelajaran bagi semua pihak dalam mengelola pariwisata Bali yang lebih baik ke depan.

“Bali dikenal sebagai daerah tujuan pariwisata berawal dari kedatangan H.Van Kol, seorang anggota parlemen Belanda yang datang sebagai turis dengan biaya sendiri pada tahun 1902. Sebelumnya memang sudah ada orang asing yang datang, tapi tidak bisa disebut sebagai turis karena tujuan mereka bukan untuk berwisata tetapi untuk melaksanakan tugas dinas,” kata penulis buku Padmabhuwana Bali itu.

Baca Juga:

Ketika Van Kol kembali ke Belanda, lanjut Cok Ace, ia kemudian membawa beberapa foto tentang pesona alam Bali. Foto itulah tersebar dan mendapat respon positif, sehingga sejak itu mulai banyak warga asing yang tertarik berwisata ke Bali.

Merespons hal itu, Belanda kemudian membuka biro pelayaran pertama untuk melayani minat warganya yang ingin bertamasya ke Pulau Dewata. “Merujuk catatan sejarah, tiga kawasan yang menjadi cikal bakal pariwisata Bali adalah Sanur yang mewakili kawasan pantai, Ubud mewakili pedesaan, dan Sidemen mewakili kawasan pegunungan,” katanya yang juga penulis buku Taksu di Balik Pembangunan Pariwisata Bali itu.

Fase selanjutnya pengembangan pariwisata Bali adalah ketika berlangsungnya Konferensi Asia Afrika tahun 1960, di mana Presiden Soekarno turut mengundang tokoh dunia datang ke Bali. Kedatangan tokoh-tokoh dunia itu dibarengi dengan lahirnya banyak reportase tentang Bali oleh media asing. “Menangkap fenomena itu, Presiden Soekarno kemudian berhasil menaikkan status Bandara Ngurah Rai sebagai international airport,” kata dia.

Perkembangan pariwisata Bali kemudian sampai pada fase ketiga, yakni antara tahun 1960 hingga 1980. Pada tahap ini, perkembangan pariwisata Bali ditandai dengan pembangunan Hotel Bali Beach di Sanur dan kawasan khusus Nusa Dua.

“Kenapa dikembangkan Nusa Dua sebagai kawasan khusus, karena saat itu mulai timbul kekhawatiran terjadinya kehancuran alam dan budaya jika pengembangan pariwisata tidak diatur. Dilokalisir di Nusa Dua, dengan harapan tak merusak tatanan budaya Bali. Ini bisa dikatakan fase mencari bentuk,” kata dia. 

Periode keempat kepariwisataan Bali terjadi pada tahun 1980 hingga 2000. Saat itulah terjadi persimpangan kepariwisataan Bali. Persimpangan ini disebabkan akibat pesatnya perkembangan sektor pariwisata yang mulai memicu masifnya alih fungsi lahan. “Kita ada dalam persimpangan, mau bertahan dengan pertanian atau pariwisata,” kata dia.

Baca Juga:

Setelah tahun 2000 hingga awal tahun 2020, tepatnya ketika terjadi pandemi Covid-19, secara kuantitatif jumlah kunjungan wisatawan ke Bali memang cenderung bertambah. Namun, di balik semua itu, sesungguhnya pariwisata Bali menuju redup atau diistilahkan sebagai sandyakalaning pariwisata.

“Kita bangga jumlah kunjungan menyentuh angka 6,5 juta. Namun sejatinya jumlah kunjungan wisatawan tak bisa dijadikan satu-satunya ukuran kemajuan Bali. Karena buktinya, pertumbuhan ekonomi Bali yang disupport sektor pariwisata tak dibarengi dengan peningkatan signifikan pada indeks pembangunan manusia,” bebernya.

Oleh karena itu, Cok Ace mengajak semua komponen untuk membuka mata tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat Bali. Menurutnya, kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan IPM adalah persoalan serius, yang jika dibiarkan, lambat laun akan makin meminggirkan posisi manusia Bali. 

Menurut Cok Ace Bali telah beberapa kali diingatkan tentang rapuhnya sektor pariwisata. Ada kejadian Bom Bali I dan II, di mana kala itu pariwisata pulih dalam waktu relatif cepat. Lalu, pandemi Covid-19 yang disebutnya sebagai proses penyadaran terakhir untuk melakukan introspeksi diri. “Mari kita lakukan evaluasi secara menyeluruh, arah pengembangan pariwisata Bali ke depan. Apakah yang dikembangkan selama ini sudah dalam trek yang benar,” katanya.

Cok Ace mengajak seluruh komponen untuk berpedoman pada komitmen menjaga tiga modal utama yaitu alam, budaya, dan manusia Bali. “Selamatkan alam, budaya dan manusianya, karena hanya itu kekayaan yang kita punya. Kalau kita sadar kalau pengembangan pariwisata merusak tiga hal itu, sebaiknya segera hentikan,” ajaknya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories