Demi Jaga Danau, Masyarakat di Batur Tak Boleh Pelihara Kuda dan Indukan Babi

Jero Gede Batur Duhuran (Istimewa)

Bangli, Balinesia.id – Yayasan Puri Kauhan Ubud menghadirkan Pangemong Pura Ulun Danu Batur, Jero Gede Batur Duhuran sebagai pembicara kunci dalam Seminar Nasional “Toya Uriping Bhuwana, Usadhaning Sangaskara: Air Sumber Kehidupan, Penyembuh Peradaban” di Museum Gunung Api Batur, Rabu, 23 Februari 2022. Dalam paparannya, ia menjelaskan berbagai tradisi dan mitos perlindungan danau yang diwarisi masyarakat setempat.

Jero Gede Batur mengatakan, salah satu tradisi tentang perlindungan danau yang hidup di desanya terkait dengan peternakan. Orang Batur, katanya, membatasi pemeliharaan kuda dan pantang memelihara indukan babi yang dalam bahasa Bali disebut bangkung.

“Warga Batur dibatasi memelihara kuda, dulu yang boleh memelihara dan menunggang kuda hanya Jero Gede dan Jero Mekel, sementara orang kebanyakan dilarang, termasuk digunakan untuk bedagang,” kata dia.

Baca Juga:

Larangan itu sejak dahulu hingga sampai saat ini masih dipatuhi oleh masyarakat. Padahal, tetua-tetua Batur di masa silam kebanyakan adalah pedagang yang sejatinya membutuhkan kuda untuk mengangkut barang dagangan.

“Leluhur kami yang berdagang ke luar desa atau ngalu tidak dilarang menggunakan kuda. Selain itu, masyarakat Batur juga tidak diperkenankan memelihara bangkung atau induk babi, termasuk tabu membawa daging babi ke kawasan Gunung Batur yang merupakan stana Ida Bhatari,” katanya.

Menurut jero gede larangan atau bhisama itu adalah upaya menjaga kelestarian air Danau Batur. Sebab, masyarakat setempat memiliki sebuah mitos yang menceritakan tercemarnya air danau karena membuang bangkai babi ke Danau Batur. 

“Dulu dikisahkan Bhatara Putrajaya yang berstana di Gunung Agung menengok menunggangg kuda ke sini (Batur). Kuda itu merusak tanaman milik Ida Bhatari, sehingga beliau murka dan membunuh kuda milik kakaknya. Bhatara Putrajaya dan Bhatari Danuh kemudian bersitegang, hingga akhirnya saling kutuk,” katanya.

Baca Juga:

Konon, kala itu Bhatara Putrajaya mengutuk kudanya agar menjadi hama babi hutan. Babi itu kembali dibunuh, namun bangkainta kemudian mengeluarkan bau busuk. Karena itu, bangkai tersebut ditenggelamkan ke danau, namun kembali menjelma menjadi hama tanaman.

“Bulu babi dan beberapa organnya menjadi bermacam-macam hama, seperti wereng dan walang sangit. Pada saat itu Ida Bhatari kewalahan, sehingga bangkai itu kemudian dilempar ke samudera, namun oleh Ida Bhatara Baruna dikembalikan lagi,” kata dia.

Hama tersebut membuat Bali mengalami kegagalan panen, hingga akhirnya Bhatara Pasupati turun ke Bali dan mendamaikan kedua putranya. “Bhatara Lingsir dari Semeru Agunug kemudian menasihati kedua putranya untuk berlaku sesuai tugasnya. Ida Bhatari Danuh kemudian diberikan kuasa untuk menetralkan hama itu dengan belar sebagai Ida Bhatari Ayu Kentel Gumi. Oleh karena itulah setiap Sasih Kalima kami memuja beliau dan menggelar Ngusaba Nangluk Merana,” katanya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories