BRI
Kamis, 07 Maret 2024 09:12 WIB
Penulis:Rohmat
Secara kuantitatif, kinerja keuangan yang berhasil dicapai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. (Persero) Bank Rakyat Indonesia Tbk. (kode BEI BBRI) pada tahun 2023 patut diapresiasi dengan keberhasilan membukukan laba bersih periodik sejumlah Rp60,4 triliun.
Perolehan laba itu juga memberikan keuntungan bagi pemegang saham (shareholders) perusahaan melalui pembagian dividen secara tahunan atas persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)Hari Jum'at, 1 Maret 2024. Diputuskan laba bersih konsolidasi tersebut menjadi dividen sebesar 80% bernilai Rp 48,1 triliun atau setara dengan Rp 319 per lembar saham.
Raihan laba BRI inipun tidak mampu disaingi oleh bank swasta nasional terbesar Bank Central Asia (BCA) yang hanya mampu membukukan laba bersih tahun 2023 sejumlah Rp48,6 triliun atau naik sebesar 19,4 persen terhadap tahun 2022. Bahkan, BRI juga memiliki rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang cukup kuat, yaitu sebesar 27%. Rasio ini juga telah melampaui ketentuan Basel III yang dipersyaratkan bagi lembaga keuangan dan perbankan dengan batas minimal sebesar 17,5%.
Namun, meskipun sebuah badan hukum usaha atau perusahaan/korporasi berhasil meraih laba paling tinggi dalam suatu industri dan memiliki harta kekayaan (asset) paling banyak belum tentu menjamin pengelolaan atas kekayaannya efektif dan efisien.
Untuk itulah, perlu kiranya menilai kemampuan jajaran dewan manajemen (direksi dan komisaris) perusahaan atas capaian laba bersih yang dihasilkan dengan modal yang telah diinvestasikan melalui pengelolaan harta kekayaannya (asset). Sebagai contoh, misalnya agar dapat menjual berbagai macam buah-buahan seorang pedagang membutuhkan sebuah tempat, toko atau lapak dijalanan.
Seberapa efektif dan efisienkah toko atau lapaknya dalam menghasilkan laba bersih, maka perbandingan antara laba bersih dengan harta kekayaan toko atau lapaknya menunjukkan tingkat pengembalian modalnya? Dalam ilmu manajemen keuangan dikenal istilah Return On Asset (ROA) yaitu mengukur tingkat efektifitas dan efisiensi pengembalian harta kekayaan (asset) atas laba bersih yang dihasilkan.
Diantara lembaga perbankan nasional, Bank Mandiri memiliki total harta kekayaan (asset) terbesar, yaitu sejumlah Rp2.174,2 triliun, dan pada tahun 2023 tumbuh sebesar 9,1 persen (tahunan/year on year/yoy) dibandingkan tahun 2022 yang sejumlah Rp1.992,5 triliun. Peningkatan harta kekayaan (asset) tersebut didorong oleh realisasi penyaluran kreditnya di tahun 2023 yang mencapai Rp1.398,1 triliun atau mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 16,3 persen. Capaian ini melampaui pertumbuhan tahunan kredit industri yang hanya sebesar 10,38 persen.
Total harta kekayaan (asset) BRI justru berada pada urutan kedua terbesar dengan mencatatkan totalnya sejumlah Rp1.965 triliun atau tumbuh secara tahunan sebesar 5,3 persen dibandingkan dengan tahun 2022 sejumlah Rp1.865,63 triliun. Pertumbuhan harta kekayaan (asset) inipun ditopang oleh penyaluran kredit yang tumbuh dengan angka ganda (double digit) yaitu 11,2 persen atau Rp1.266,4 triliun, dan juga melampaui angka pertumbuhan kredit industri perbankan nasional.
Selanjutnya, di urutan ketiga total harta kekayaan (asset) terbesar, yaitu PT. (Persero) Bank Central Asia (BCA), yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 7,1 persen secara tahunan atau menjadi Rp1.408 triliun pada tahun 2023 dibandingkan capaian tahun lalu, 2022 yang sejumlah Rp1.314,73 triliun. Secara total, kredit BCA meningkat sebesar 13,9 persen secara tahunan menjadi Rp810,4 triliun, dan mencatatkan penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan yang tumbuh sebesar 10,6 persen menjadi Rp202,6 triliun serta berkontribusi 24,8 persen terhadap total portofolio pembiayaan BCA.
Sedangkan, posisi keempat terbesar ditempati oleh BNI yang memiliki total harta kekayaan (asset) sejumlah Rp1.086,6 triliun. Total harta kekayaan (asset) BNI ini hanya mengalami peningkatan tahunan sebesar 5,5 persen saja atas jumlah total yang dimilikinya tahun 2022 sejumlah Rp1.029,8 triliun. Peningkatan total harta kekayaan (asset) BNI ini juga didukung oleh pertumbuhan tipis penyaluran kredit selama tahun 2023 sebesar 7,6 persen atau hanya mencapai Rp695 triliun.
Lalu, bagaimanakah rasio atau perbandingan nilai ROA keempat bank terbesar itu, manakah yang tertinggi ROA-nya? Sementara BUMN lainnya PT. (Persero) Bank Tabungan Negara (BTN) masih belum menunjukkan kinerja terbaiknya. Sebab, semakin tinggi nilai ROA, maka perusahaan dianggap baik karena memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi atas kepemilikan harta kekayaan (asset) yang diinvestasikan.
Sebaliknya, jika nilai ROA semakin rendah, maka perusahaan dianggap kurang baik atau boros dalam pengelolaan harta kekayaan (asset) untuk meraih laba bersih tahunannya.
Mengacu pada nilai ROA itu, terbukti tingkat pengembalian modal dengan rasio tertinggi justru diraih oleh BCA, yaitu sebesar 3,4 persen. Yang kedua, meraih rasio tertinggi adalah BRI sebesar 3 persen, lalu Bank Mandiri sebesar 2,5 persen dan terakhir BNI rasionya hanya 1,9 persen.
Artinya, kemampuan BCA menghasilkan laba bersih justru lebih baik dibanding himpunan bank milik negara (Himbara), walaupun laba bersih terbesar diraih oleh BRI. Rasio Mandiri dan BRI ini tentu mengandung keanehan sebagai lembaga perbankan nasional terbesar dalam jumlah harta kekayaan (asset) dan laba bersih tahunan.
Dalam kasus ini, kemampuan menghasilkan laba bersih BRI tidak diikuti oleh cara yang efektif dan efisien dalam penggunaan harta kekayaan (asset) terbesarnya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan dalam meraih laba terbesar BRI itu tidak dilakukan dengan dukungan program yang strategis, efektif dan efisien.
Kegiatan yang dijalankan dalam mendukung kinerja keuangan mencapai laba terbesar itu justru mengeluarkan pengorbanan lebih besar dibanding laba bersih yang dihasilkan oleh BCA.
Singkatnya, jajaran dewan manajemen BCA lebih optimal bekerja dengan pengorbanan biaya (cost) lebih kecil dibandingkan BRI dan anggota Himbara lainnya yang boros. Laba bersih dan harta kekayaan (asset) Bank Mandiri dan BRI yang dicapai memang tak tertandingi tapi juga tak sebanding dengan kinerja yang lebih efektif dan efisien yang dicapai BCA. *
* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta