Uniknya Gebug Ende: Bermula dari Laku Kepahlawanan hingga Dipercaya Datangkan Hujan

Murtirupa (demonstrasi) Tradisi Gebug Ende khas Desa Seraya, Karangasem dalam Jantra Tradisi Bali di Denpasar, Sabtu, 2 Juli 2022. (Balinesia.id/istimewa)

Denpasar, Balinesia.id - Sanggar Seni Tridatu, Desa Seraya, Karangasem mendemonstrasikan tradisi Gebug Ende dalam rangkaian Murtirupa (Demonstrasi) Jantra Tradisi Bali 2022. Demonstrasi dilaksanakan di Lapangan Puputan Margarana, Denpasar, Sabtu, 2 Juli 2022.

Di balik estetika dan kekhasannya, tradisi asli Desa Seraya, Karangasem itu ternyata memiliki latar belakang yang sarat makna kepahlawanan dan kesakralan. Gebug Ende bermula dari jejak sejarah kepahlawanan bala pasukan Seraya yang membela Kerajaan Karangasem untuk memerangi Sasak pada abad ke-17. Selain itu, secara tradisi Gebug Ende juga diyakini sebagai ritus mendatangkan hujan.

Hal tersebut dituturkan tokoh masyarakat Seraya yang juga akademisi di Universitas Udayana, Gede Nala Antara. Sebagaimana tertulis dalam catatan sejarah, pada abad ke-17 Kerajaan Karangasem sempat melakukan ekspansi ke Sasak.

Baca Juga:

Dalam penyerangan itu, tuturnya, pimpinan kerajaan dan mahapatih, disertai prajurit utamanya Soroh Petang Dasa (prajurit andalan yang berjumlah 40) akhirnya berhasil membawa kemenangan bagi Karangasem. Pencapaiannya itu disambut sukacita oleh bala pasukan, hingga mereka menari-nari dengan tameng dan senjatanya.

“Soroh Petang Dasa ini memang terkenal kekebalannya dan tidak mempan senjata apapun,” katanya.

Setelah pasukan itu pulang ke Bali, kegembiraan pasukan yang berhasil menaklukkan Lombok itu pun terus diperingati sebagai Gebug Ende.

"Seiring waktu, tarian ini dipergunakan sebagai latihan perang-perangan dan dilakukan saat masa senggang, pada musim kemarau. Kemudian, muncullah kepercayaan ketika Gebug Ende ini ditarikan pada saat musim panas untuk memohon hujan," kata dia.

Secara tradisi, Gebug Ende di Desa Seraya seringkali dipentaskan hingga pemainnya terluka dan mengeluarkan darah. Darah yang keluar dari para pemain itulah yang diyakini memiliki nuansa magis tersendiri untuk mendatangkan hujan.

"Di desa kami, ketika pemain Gebug Ende sampai berceceran darah, darahnya dipercaya dapat mendatangkan hujan di saat musim kemarau," katanya.

Ia melanjutkan, Gebug Enda dilakukan setelah pelaksanaan Usaba Kaja atau Usaba di Pura Puseh Desa Seraya. Pelaksanannya pun dilakukan pada puncak musim kemarau, tepatnya pada Sasih Kapat atau bulan keempat dalam penanggalan Bali (kisaran bulan Oktober).

Sementara itu, Ketua Sanggar Seni Tridatu, Komang Nisma mengatakan Gebug Ende yang ditampilkan tersebut merupakan Gebug Ende Kreasi. Dalam demonstrasi dibawakan oleh 10 pasang pemain. 

“Jika prosesi Gebug Ende di Desa Seraya setiap peserta dalam mencari pasangannya itu secara spontanitas, namun karena yang ditampilkan dalam Jantra Tradisi Bali untuk pementasan, maka setiap peserta dengan pasangannya telah disiapkan,” kata dia.

Selain itu, pada pelaksanaan demonstrasi juga ditambah dengan penampilan para penari perempuan untuk membawakan prosesi persembahyangan. Ia mengatakan, Gebug Ende memiliki sejumlah aturan, misalnya tidak boleh memukul dari bagian pinggang ke bawah, tetapi yang diperbolehkan dari pinggang ke atas.

"Melalui acara ini, kami juga ingin mengenalkan Gebug Ende sebagai permainan sekaligus olahraga tradisional," katanya. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories