Tengah Dirundung Berbagai Persoalan, Bali Perlu Selamatkan Tanah dan Air

Diskusi Publik "G20 dan Masa Depan Bali" yang diinisiasi DPP Peradah Indonesia Bali. (Balinesia.id/Infokom DPP Peradah Indonesia Bali)

Denpasar, Balinesia.id – Masyarakat Bali hendaknya merawat tanah dan air. Kedua elemen ini dipandang sebagai unsur mendasar dalam nafas hidup dan kebudayaan Bali.

Gagasan tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik “G20 dan Masa Depan Bali” yang diinisiasi Dewan Pimpinan Provinsi Perhimpunan Pemuda Hindu (DPP Peradah) Indonesia Bali di Denpasar, Minggu, 18 September 2022. Tiga orang narasumber, yakni pekerja kebudayaan, Wayan Westa; Ketua Yayasan Konservasi Indonesia. I Made Iwan Dewantama; dan Ketua DPP Peradah Indonesia Bali, I Putu Eka Mahardhika dihadirkan sebagai pemantik diskusi yang diikuti sejumlah perwakilan organisasi, komunitas pemuda se-Bali.

Westa memandang bahwa tanah sebagai bagian kebudayaan yang tidak terpisah. Tidak satu pun kebudayaan di dunia terpisah dengan tanah. Oleh karena itu, penulis buku Bali Spirit ini mengingatkan masyarakat Bali untuk mempertahankan tanah tempatnya berpijak. Kondisi inilah yang menjadi tantangan ke depan, di tengah dinamika perkembangan industri pariwisata yang kian masif.

 “Kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri, industri pariwisata yang begitu banyak menelan tumbal tanah. Lahan-lahan beralih fungsi jadi infrastruktus pariwisata. Jalan-jalan dibangun, dan pulau kecil ini secara pelan dan pasti kehilangan tanah karena alih fungsi lahan itu,” kata Westa.

Baca Juga:

Westa melanjutkan, pariwisata terkesan seperti vaksin kemakmuran yang diam-diam menggerogoti alam Bali. Manusia Bali yang dalam beberapa dekade jatuh dalam buaian pariwisata justru menjual tradisi dan kulturnya dengan murah. Padahal, pariwisata bukanlah pertahanan ekonomi yang baik. Pariwisata labil dan sangat rentan menghadapi berbagai guncangan.

Keputusan Bali untuk memilih hidup di jalur pariwisata pada akhirnya membuat pulau ini bak benteng terbuka. Arus orang, arus barang, dan arus kapital tidak terbendung datang ke Bali. Pembangunan secara masif pun terjadi di Bali, terutama di sektor pariwisata yang banyak mengorbankan dan mengalihfungsikan tanah pertanian.

“Sejumlah persoalan kemudian muncul, mulai dari gaya hidup, demografi, pencemaran lingkungan, kelangkaan air bersih, kriminalitas, dan lain-lain, arus barang, arus orang, termasuk arus modal menggelinding ke bali tanpa banyak di-screening, tanpa banyak orang mengetahui. Sektor pertanian berangsur-angsur ditinggalkan. Anak-anak muda, mungkin termasuk sarjana pertanian ramai-ramai meninggalkan tradisi agraris yang memang dianggap menguntungkan,” jelasnya.

Menghadapi hal itu, Westa pun menyarankan perlu upaya secara sadar dan penuh komitmen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya budi. “Tanah-tanah harus dipertahankan, jika tanah (fisik) sudah habis, pertahanan terakhir adalah mengelola tanah di dalam tubuh,” katanya sembari mengatakan Bali sangat kaya akan khazanah teks, namun saat ini manusia Bali mengalami keberjarakan pada teks-teks tersebut.

Baca Juga:

Perspektif yang tidak jauh berbeda dinyatakan, Iwan Dewantama. Ia memandang pentingya melihat air dalam konstruksi kebudayaan Bali dulu, kini, dan di masa depan. “Peradaban Bali bermula dari air, sehingga Bali bertahan sampai sekarang,” katanya.

Namun, ia mengingatkan bahwa saat ini Bali sedang tidak baik-baik saja. Pencemaran danau dan sumber air lainnya, kerusakan hutan, pelanggaran semua sempadan, pengerukan bukit, pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, intrusi air laut, hingga alih fungsi lahan adalah berbagai persoalan yang muncul di Bali. 

Menjawab persoalan itu, Iwan menilai setidaknya ada tiga pilar yang harus diperkuat bersama-sama, yakni dengan mengaktifan kembali balai banjar, menjaga kesucian pura dan radius kesuciannya, dan penerapan sistem one island management secara benar dan komitmen. “Bali perlu dikembangkan menurut sumber dayanya masing-masing, ada yang jadi hulu, badan, dan kaki dengan fungsi-fungsinya, namun semua itu harus terhubung,” katanya.

Lebih jauh, pihaknya juga menekankan pentingnya membangun sistem pertanian yang kuat. Sejalan dengan Westa, Iwan sepakat bahwa pariwisata adalah sektor yang rapuh. “Kita semestinya bisa belajar dari Bom Bali, erupsi Gunung Agung, dan Covid-19 di mana pariwisata Bali runtuh,” katanya.

Menurutnya, pertanian adalah sektor ideal yang wajib dikuatkan. “Perlu kita perhatikan, bagaimana membangun sektor perekonomian melalui pertanian, karena pertanian merupakan nafas dari kehidupan Bali,” katanya.

Baca Juga:

Sementara itu, Eka Mahardhika mendorong pelibatan masyarakat adat dalam berbagai aliran investasi yang masuk ke Bali. Menurutnya Bali harus mulai sektif memilih investasi yang baik, yang mampu memberikan kebaikan bagi alam dan masyarakat Bali.

"Bukan berarti bahwa ketika investasi besar-besaran datang ke Bali itu bagus. Belum tentu. Bagusnya ini apakah untuk mereka yang berinvestasi atau berdampak pada manusia Balinya? Dimana dampak ini juga ada kategorinya yaitu, apakah manusia Bali hanya sebagai pekerja, atau berdampak bagi kesejahteraan mereka," katanya.

Investasi juga harus tepat guna, tepat sasaran, serta sesuai dengan kontur geografis Bali seperti tidak menghilangkan arteri air, kelestarian tanah dan lingkungan. "Pemerintah harus jujur dan tahu kebutuhan masyarakatnya. Semua elemen dan semua lapisan dalam masyarakat harus saling gisi dalam membangun Bali,” kata akademisi Universitas Warmadewa ini. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories