Sulinggih Perlu Bijak Bermedia Sosial

Tangkapan layar siaran Podcast Unhi TV. (Balinesia/jpd)

Denpasar, Balinesia.id - Sulinggih atau orang suci dalam agama Hindu di era teknologi digital diharapkan dapat memanfaatkan media sosial dengan bijak. Media sosial hendaknya dimanfaatkan untuk kepentingan Dharma, sejalan dengan kewajiban seorang sulinggih sebagai surya atau sumber pencerahan umat.

Wacana itu secara khusus dibahas dalam Podcast #29 Unhi TV yang digelar streaming di kanal YouTube, Jumat, 14 Januari 2022. Narasumber, Dr. I Wayan Budi Utama, M.Si menilai perkembangan teknologi yang terjadi saat ini adalah keniscayaan bagi siapa pun, termasuk sulinggih. Oleh karena itu, adalah wajar teknologi turut digunakan oleh para sulinggih dalam  mununjang kewajibannya.

"Namun, sulinggih harus hati-hati dan bijak dalam bermedia sosial. Media jika digunakan untuk dharma wacana atau siraman rohani akan bagus, dan sebisa mungkin tidak mengekspos hal-hal personal ke media sosial," katanya dalam Podcast yang dipandu IGA Dharma Putra.

Baca Juga:

Sebagai orang suci, ia mengingatkan jika sulinggih adalah pusat tuntunan umat. Maka, segala tindak-tanduk sulinggih akan menjadi sorotan masyarakat, baik maupun buruk. Seorang sulinggih idealnya juga tidak lagi terikat dengan hal-hal keduniawian yang fana. “Ketika seseorang sudah memutuskan menjadi sulinggih, artinya ia sudah selesai dengan diri sendiri, ketika madiksa ia lepas dari duniawi,” kata dia.

Akademisi yang telah melahirkan sejumlah buku ini menilai pada dasarnya teknologi dapat bisa dijalankan beriringan dengan tradisi tanpa saling menyisihkan. Sebagai contoh, melalui teknologi umat bisa menghubungi sulinggih secara lebih efisien sebelum menghadap ke griya untuk tujuan tertentu.

Lebih jauh, menghadapi era teknologi saat ini, pihaknya berpandangan memang diperlukan rumusan baru tentang sesana atau etika seorang sulinggih. Sesana tersebut diharapkan dapat memberi solusi terhadap tantangan-tantangan di masa kini, misalnya wacana menggelar ritual secara virtual yang juga sempat hangat belakangan.

Perumusan sesana baru yang adaptif terhadap perkembangan teknologi bisa dilakukan oleh paruman (forum) sulinggih dalam lembaga-lembaga formal keumatan. “Sangat mungkin akan ada sesana baru, sesuai proses adaptif situasi terkini,” ucapnya.

Baca Juga:

Sementara itu, narasumber lainnya, Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag, M.Si menjelaskan bahwa secara tradisi seorang sulinggih wajib menjalankan sesana kawikon atau etika orang suci secara ketat. Oleh karena itulah proses dwijati seorang sulinggih adalah peristiwa sakral dan terhormat.

Menurut aturan yang ditetapkan saat ini, untuk menjadi sulinggih seseorang hendaknya dapat memperhatikan syrat-syarat tertentu seperti syarat fisik yang meliputi umur dan kondisi kesehatan lahir batin, syarat kesusilaan, syarat pengetahuan, dan syarat administrasi. “Syarat kesusilaan yang mengandung paling banyak sesana,” katanya.

Sesana secara umum adalah praktik dari pengendalian diri seperti Tri Kaya Parisuda, yakni mengupayakan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik. Ketiganya adalah tiang mendasar yang menyangga kedudukan sulinggih yang terhormat di masyarakat. “Tiga hal ini sesungguhnya sangat sulit, jangan sampai sulinggih berbuat Tri Mala, yakni berbicara, berbuat, dan berpikir tidak baik,” katanya.

Seorang sulinggih biasanya memegang sejumlah teks rujukan tentang sesana, misalnya teks Silakrama, Siwa Sesana, Sesana Kawikon, termasuk etika khusus dari masing-masing guru nabe dalam setiap garis perguruan. Etika khusus guru nabe dalam perguruan tertentu secara prinsip tidak jauh berbeda antara garis perguruan satu dengan lainnya.

Ia menambahkan, sulinggih haruslah bersifat santa, berpikiran jernih dan berpenampilan tenang. Sebab, pada konsepnya, seorang sulinggih adalah Siwa itu sendiri. "Dalam keseharian sulinggih adalah perwujudan Siwa, sedangkan saat duduk melakukan pemujaan sulinggih berwujud Sadasiwa, dan setelah menggunakan ketu atau makuta maka sulinggih adalah Paramasiwa," tegasnya.

Atas prinsip itu pula, seorang sulinggih idealnya tidak boleh dihujat orang. Ketika sulinggih mendapat hujatan, nabe harus memanggil nanak untuk menjelaskan duduk persoalan. Jika terjadi hal-hal tersebut, seorang nabe pun berhak memberikan "sanksi", misalnya dengan mengharuakan melakukan penyucian diri ke sumber-sumber mata air dengan jumlah tertentu, bahkan mencabut status kesulinggihan yang dikenal sebagai ritual ngelukar gelung. jpd

Editor: E. Ariana

Related Stories