SAFEnet: Kriminalisasi terhadap Ekspresi Warga Menggunakan Media Digital Terus Berlanjut

Aplikasi telegram dan aplikasi lainnya dalam smartphone. (Pixabay)

Denpasar, Balinesia.id - Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi regional pembela hak-hak digital menunjukkan kriminalisasi terhadap ekspresi warga menggunakan media digital juga terus berlanjut.

"Pada aspek kebebasan berekspresi, laporan menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap ekspresi warga menggunakan media digital juga terus berlanjut," ungkap Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, dalam peluncuran Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2021 pada Rabu (2/3/2022).

Sepanjang 2021,setidaknya 193 insiden serangan digital. Jumlah ini naik 38% jika dibandingkan insiden pada tahun sebelumnya, 147 insiden. Puncak serangan terjadi pada September (34 insiden), lebih tinggi dibandingkan rata-rata serangan tiap bulan, sekitar 16 insiden.

Berdasarkan pemantauan dan analisis SAFEnet, situasi hak-hak digital di Indonesia sepanjang 2021 belum membaik. Represi digital masih marak terjadi termasuk pembatasan akses Internet, kriminalisasi terhadap ekspresi warga di media sosial, dan maraknya kekerasan berbasis gender online (KBGO), maupun serangan digital terhadap masyarakat sipil.

“Situasi hak-hak digital di Indonesia masih belum membaik, di tengah pandemi yang mulai terkendali, justru represi digital makin tinggi,” kata Damar Juniarto.

Sepanjang 2021, setidaknya ada 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban. Jumlah ini menurun hampir separuh dari jumlah korban pada tahun sebelumnya, 84 orang korban.

“Sejak UU ITE disahkan pada 2008, baru kali ini aktivis menempati peringkat pertama jumlah korban berdasarkan latar belakang, yakni sebanyak 10 orang atau 26,3% dari total korban,” katanya menegaskan.

Pada aspek rasa aman, tahun 2021 juga masih diwarnai dengan maraknya serangan digital terhadap masyarakat sipil, terutama kelompok kritis, seperti jurnalis, aktivis, dan pembela HAM lain.

Dua di antaranya adalah peretasan aktivis antikorupsi pada Mei 2021 serta mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September 2021.

Dalam diskusi yang sama, peneliti tata kelola Internet Sherly Haristya mendorong perlunya platform untuk memperluas kolaborasi dalam moderasi konten.

Dia mencontohkan dalam kasus konten abu-abu, platform tidak bisa menghapus konten begitu saja jika tidak paham konteks lokal.

“Dengan beragamnya konten abu-abu pada platform, kita perlu bekerjasama. Karena bahkan platform pun tidak bisa bekerja sendiri. Mereka harus bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil yang kredibel dalam menentukan apakah sebuah koten bisa diturunkan atau tidak,” katanya.

Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS yang juga mengalami kriminalisasi pada tahun 2021, menyoroti maraknya kekerasan horisontal di Internet dengan penggunaan pasukan siber (buzzer).

“Sekarang juga ada kekerasan horisontal di mana pemerintah merekrut buzzer untuk membuat counter narative terhadap masyarakat sipil dan doxing,” kata Fatia.

Manajer Kebijakan Publik Meta Indonesia Noudhy Valdryno mengatakan Meta sudah berusaha menciptakan Internet yang aman termasuk dengan melibatkan komunitas dalam menentukan apakah sebuah konten berbahaya atau tidak. 
Ada tiga cara digunakan Meta, yaitu user generated report (laporan dari pengguna), machine learning dan automatisasi, dan content reviewer.

Salah satu tantangan terbesar saat ini, Valdryno menambahkan, adalah mengatasi misinformasi. Untuk itu, Meta menerapkan tiga strategi, yaitu menghapus konten misinformasi berbahaya, mengurangi penyebarluasan misinformasi, dan memberikan informasi tambahan. (roh) ***


Related Stories