PMN dan Kepemilikan Saham Publik di BUMN

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Terdapat setidak tidaknya 28 unit Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah dipecahbagikan (stock split) saham Negara melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) di pasar bursa, yaitu Bursa Efek Indonesia/BEI (dulu BEJ). Tentu saja pasca diIPO-kan, maka sebagian saham BUMN itu telah menjadi milik publik, baik oleh perorangan, perusahaan swasta, lembaga lainnya dan juga orang atau perusahaan asing. Sebagian persentase saham publik itu, kemudian diperjualbelikan mengikuti ketentuan dan peraturan per-Undang-Undangan belaku serta proses dan mekanisme di BEI.

Sejarah IPO pertama kali dilakukan oleh BUMN, yaitu PT. Semen Gresik terjadi pada tanggal 17 Mei 1991 melalui keputusan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No. S-622/PM/1991, lalu menerbitkan prospektus pada 20 Mei 1991. Dokumen prospektus saat itu menawarkan sejumlah 40 juta saham dengan harga per saham Rp7.000, mengincar dana publik sejumlah Rp280 miliar. Hasil perolehan dana publik atas aksi IPO itu digunakan untuk membangun pabrik semen baru di wilayah Tuban, Jawa Timur berkapasitas 2,3 juta ton per tahun dan optimalisasi pabrik II di Gresik untuk meningkatkan produksi dari 1 juta ton menjadi 1,3 juta ton per tahun.

Namun, melalui aksi IPO ini, maka proporsi kepemilikan saham Negara yang dikelola oleh pemerintah yang awalnya 100 persen menjadi berkurang sejumlah  73,1 persen dan sisa persentase lainnya dimiliki oleh publik sejumlah 26,9 persen. Porsi saham PT Semen Gresik (Persero) Tbk. per-Desember 2022 setelah menjadi BUMN PT. Semen Indonesia (setelah kebijakan Holding) menjadi 51,01% milik Pemerintah RI (Negara) dan 48,99% milik publik. 

Konsekuensi dari pemecahbagian saham Negara pada BUMN-BUMN tersebut, maka berdasarkan persentase saham yang dimiliki publik akan berakibat pada hak masing-masing pemegang saham atas kompensasi kinerja korporasi, termasuk pembagian dividen.

Sebagai informasi tambahan untuk publik ini terkait data 5 tahun terakhir laba konsolidasi BUMN sebelum Erick Tohir menjabat Menteri sangatlah positif. Sebelum "permainan" pandemi Covid-19 seluruh BUMN mampu mencatatkan laba bersih konsolidasi sbb: Tahun 2019 mencapai Rp 152 triliun, tahun 2018 sejumlah Rp189 triliun, tahun 2017 membukukan Rp186 triliun, tahun 2016 kinerja labanya Rp176 triliun dan tahun 2015 sejumlah Rp150 triliun. Oleh karena itu, tidak benar pencapaian laba tahun 2022 sejumlah Rp152 triliun merupakan yang pertama kali dalam sejarah seperti yang disampaikan Menteri BUMN tersebut.

Delusi Saham
Mengambil contoh PT. Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN yang merupakan subholding gas dari Holding BUMN Pertamina yang membagikan dividen pada tanggal 29 Juni 2022 sesuai keputusan RUPS. Dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham itu adalah sejumlah Rp3,01 triliun atau setara Rp124,42 per saham, sesuai hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Keputusan pembagian saham ini adalah hal yang luar biasa dan patut diapresiasi oleh publik disebabkan manajemen PGN mampu berkinerja dengan baik dan positif.

Kenapa begitu? Adalah, tidak lain karena pembagian dividen itu begitu mengejutkan publik ditengah penyelesaian sengketa soal pajak atas keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa kerugian PGN sejumlah Rp 3,06 triliun disatu sisi. Sedangkan disisi lain,  laporan keuangan PT PGN Tbk sebelumnya mencatatkan kerugian korporasi ini pada tahun 2021, yaitu US$ 264 juta atau sekitar Rp 3.845 Triliun, artinya ada selisih sejumlah Rp740 miliar. Sengketa ini, menjadi praktek terbaik (success factor) bagi jajaran Direksi BUMN PGN.

Terkait keputusan pembagian dividen sebagai kebijakan forum tertinggi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PGN pada bulan Juni 2022, maka pembagian tentu mengacu azas proporsionalitas kepemilikan saham. Dan  mengacu pada porsi kepemilikan saham negara, jelaslah yang akan masuk ke kas negara hanya sebesar 56,96 persen saja atas Rp3,01 triliun atau sejumlah Rp1,7 triliun saja. Sisanya, 43,04 persen harus dibagikan ke orang per orang atau sekelompok orang yang sejumlah Rp1,301 triliun. Begitu pulalah halnya yang terjadi dengan kebijakan pembagian dividen di 28 unit BUMN lainnya, seperti BRI, Bank Mandiri, BNI, BUMN Karya, dan lain-lain yang sahamnya telah diperjualbelikan di BEI.

Atas perspektif kebijakan pembagian laba bersih itu (dividen), lalu bagaimana halnya jika BUMN secara korporatis mengalami kerugian usaha? Seharusnya, dengan komposisi saham yang sejumlah 43,04% dimiliki publik/swasta dan asing serta 56,96% porsi pemerintah atau Negara maka rugi korporasi yang dihasilkan BUMN juga harus dibagikan atau ditanggung secara proporsional. Hal ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk BUMN dalam mengikuti ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Persereon Terbatas (PT).

Contoh lain, yaitu dalam laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk yang telah dipublikasikan secara luas (release), pada tahun 2021 BUMN ini masih mencatat kerugian tahun berjalan senilai US$ 4,16 miliar atau setara dengan Rp 62,3 triliun. Kinerja BUMN Garuda Indonesia ini semakin buruk apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yangmana rugi bersih selama tahun 2020 sejumlah US$2,44 miliar atau kerugian tahun 2021 meningkat sebesar 70,25 persen. Sementara itu, harta kekayaan (asset) korporasi juga ikut mengalami penyusutan sebesar 33,33 persen tahun ke tahun (year on year/yoy) menjadi US$7,19 miliar, dan utang perseroan meningkat sebesar 4,47 persen yoy menjadi US$13,30 miliar.

Melalui serangkaian kebijakan restrukturisasi dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dibulan Juni 2022 terjadi beberapa perubahan. Termasuk adanya pendistribusian saham baru yang mengubah komposisi kepemilikan sahamnya setelah IPO tercatat pada tanggal 11 Februari 2011 di BEI, yaitu saham pemerintah (Negara) sebesar 64,54%, Trans Airways sebesar 7,99%, saham publik sebesar 4,83%, serta saham kreditur sebesar 22,63%. Selain itu, Garuda juga secara resmi telah menerima dana penyertaan modal negara (PMN) sejumlah Rp 7,5 triliun merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap upaya penyehatan kinerja Garuda Indonesia sebagai maskapai kebanggan bangsa dan negara Indonesia (national flag carrier).

Menggunakan konsepsi dan logika kinerja laba bersih, semestinya kebijakan

ilustrasi  
rugi korporasi juga menjadi beban dan tanggungjawab proporsional pemegang saham. Artinya, saham publik harus didelusi juga senilai Rp7,5 triliun jika tidak terlibat pendanaan kembali pada BUMN sebagai langkah menutup kerugian Garuda Indonesia. Dengan harga saham di bulan Desember 2022 sejumlah Rp196 per lembar, ada tambahan saham pemerintah sejumlah 38 miliar lembar lebih atau separuh lebih saham baru yang ditawarkan, yaitu, 68 miliar lebih. Kompensasi PMN ini, seharusnya mengurangi juga porsi kepemilikan pemegang saham atau delusi proporsional atas saham publik sebesar 50 persen lebih dan menambah porsi saham Negara. Kebijakan inilah yang wajib (is a must) serta harus ditetapkan oleh pemerintah sehingga PMN mengkompensasi dan keuangan negara tidak terus dirugikan oleh kewajiban wanprestasi oleh pemegang saham publik! (*)

* Defyan Cori, Ekonom Konstitusi Alumnus Univerisitas Gadjah Mada Yogyakata.
 


Related Stories