Menyoal HKI dan Tren “Cover” Lagu Popular

I Made Adnyana (Balinesia.id/repro)

Oleh I Made Adnyana*


BOLEHKAH kita membawakan ulang atau meng-cover lagu popular yang dinyanyikan oleh orang lain, kemudian menyebarluaskannya dengan tujuan publisitas atau bahkan mendapatkan keuntungan secara finansial? Bagaimana sebetulnya aturan atau “hukumnya” dalam soal cover meng-cover lagu? Mengapa dalam hal ini seniman musik atau penyanyi perlu melindungi karya ciptanya dengan mendaftarkan secara hukum sebagai hak kekayaan intelektual atau HKI?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali menyeruak dalam sepekan terakhir, ketika penyanyi lagu cover di Youtube tersandung masalah soal “ijin” dari pemilik lagu. Tak hanya pada tataran nasional, hal serupa juga terjadi pada lagu pop berbahasa Bali. Bahkan beberapa pekan sebelum ini, sempat menjadi pergunjingan ketika sejumlah penyanyi lagu pop Bali mengeluhkan karya mereka tetiba dibawakan oleh orang lain tanpa permisi atau minta izin, pun tanpa mencantumkan siapa penciptanya atau pemegang hak cipta. 

Persoalannya, lagu tersebut bukan sekadar ditirukan untuk iseng menyanyi sebagai hobi, namun secara sengaja direkam ulang, dibuatkan komposisi musik yang baru, bahkan kemudian didukung video klip sebagai sarana promosi. Hal inilah yang membuat beberapa musisi “berang” dan angkat bicara, salah satunya Jun “Bintang” yang menyentil penyanyi cover yang dianggap tidak memahami etika dalam berkarya atau tidak mau berkomunikasi secara terbuka.

Baca Juga:

Secara umum cover song diartikan sebagai versi baru dari satu rekaman lagu sebelumnya, yang yelah dirilis secara komersial oleh penyanyi atau musisi lain. Hal ini bukanlah hal yang baru, karena cover song sudah ada sejak puluhan tahun silam. Awalnya, tujuannya adalah sebagai bentuk penghormatan, penghargaan terhadap satu karya yang dipandang memiliki kesan atau nilai tersendiri. 
Ketika teknologi makin berkembang, media publikasi melalui internet makin berkembang, cover song makin banyak muncul bukan lagi hanya oleh penyanyi atau musisi ternama, tetapi juga masyarakat awam. Tujuannya pun selain menyalurkan hobi menyanyi, juga untuk eksistensi atau menunjukkan kemampuan ke publik. Menjadi satu kebanggaan, ketika cover song seseorang banyak disukai atau mencapai jumlah penonton (viewers) yang banyak.Ketika ada peluang mendapatkan untung secara materi, meraih pemasukan dengan monetize dari tayangan di Youtube maupun Facebook, makin ramai pula cover song terjadi.

Di sinilah persoalan mulai timbul, ketika beberapa musisi atau penyanyi yang lagunya di-cover merasa kurang berkenan atau terima. Meskipun salah satu penyebab adalah karya yang mereka hasilkan digunakan oleh orang lain untuk mencari untung tanpa ada imbalan apa-apa, lebih dari itu adalah bahwa cover song terjadi tanpa sepengetahuan dan seizin pencipta atau penyanyi aslinya. Secara naif pula kemudian ada yang bertanya, haruskah meminta izin atau memberitahukan ketika kita ingin meng-cover lagu orang lain?

Lagu atau karya cipta musik merupakan salah satu wujud atau hasil kreasi, pemikiran yang digolongkan ke dalam hak kekayaan intelektual (HKI) bagi penciptanya. Hak mana didapat dari suatu produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dihasilkan. Mengapa perlu HKI? Tujuan paling mendasar adalah sebagai perlindungan hukum terhadap ciptaan yang dimiliki oleh per orangan maupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya. Selain itu untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pelanggaran atas HKI orang lain.

Pasal 4 Undang-Undang Nompor 28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta menyebutkan, hak cipta adalah hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat secara abadi ada diri pencipta antara lain untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan degan pemakaian ciptaannya.Sedangjan hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya.

Manfaat ekonomis muncul berkaitan dengan pengadaan, mendistribusikan atau menyebarkan, menyiarkan, mempertunjukkan atau meminjamkan satu ciptaan. Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Hak Cipta tegas menyebutkan, tiap orang yang melaksananakan hak ekonomi atas satu ciptaan wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Dengan pemahaman tersebut jelas, karena satu karya cipta dalam hal ini lagu atau musik ada pemilik atau pemegang atas hak ciptanya, maka ketika ada orang lain hendak menggunakan atau memakai ciptaan tersebut yang akan diproduksi ulang dan diedarkan secara luas, tentu diperlukan izin. Meskipun dalam praktiknya “izin” untuk meng-cover satu lagu atau musik kerap disampaikan secara lisan, untuk mencegah terjadinya perselisihan atau konflik di kemudian hari, tentu sangat baik jika soal izin ini bisa disampaikan secara jelas dalam bentuk perjanjian tertulis. 

Secara ekonomi, ketika satu karya cipta diproduksi ulang dan didistribusikan secara luas dan mendatangkan kentungan, perlu pula kiranya diatur dalam satu perjanjian secara tertulis. Meskipun tak sedikit penyanyi atau musisi yang tidak mempermasalahkan soal pembagian keuntungan atau profit sharing, tetap saja sebagai antisipasi, perlu ada perjanjian yang jelas demi kenyamanan kedua belah pihak.

Di sisi lain, sebagian besar musisi atau penyanyi lagu pop Bali justru belum mendaftarkan karya cipta mereka secara legal untuk memperoleh pengakuan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pertimbangan yang paling sering diungkapkan adalah ketidaktahuan tentang tata cara pendaftaran, atau tidak paham dan merasa tak ada manfaatnya pendaftaran HKI. Mengapa? Karena mereka berkarya untuk “senang-senang” saja.

Sesuai namanya, HKI adalah hak. Maka tentu siapa saja boleh menggunakan haknya, boleh juga tidak menggunakannya. Namun ketika misalnya satu saat terjadi masalah, perselisihan mengenai hak cipta dan hak ekonomi atas satu ciptaan, tentu agak sulit menentukan duduk perkara secara jelas apabila tak ada dasar hukum yang kuat untuk mendukungnya.
Fenomena cover meng-cover lagu adalah hal yang lumrah terjjadi dalam perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini. Namun dalam pelaksanaannya terntu saja tetap harus mempertimbangan tata krama, etika, atau aturan-aturan yang secara umum berlaku. Dalam hal ini terutama penghormatan dan pengakuan terhadap pemilik hak cipta dengan mencantumkan nama atau keterangan lain dari ciptaan itu, dan secara etika adalah “kulo nuwun”, minta izin atau persetujuan dari yang berhak.

Riak-riak yang muncul seperti pada kasus cover song lagu pop Bali, mulai membuka mata dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga dan melindungi karya cipta dengan mendaftarkannya sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Jika perlindungan ini dianggap perlu dan penting untuk mengantisipasi sekaligus menyelesaikan bila kelak muncul permasalahan, maka seyogyanya musisi atau penyanyi dengan kesadaran sendiri mendaftarkan karyanya. Namun jika hal ini dipandang tiada bermanfaat, tak ada yang mempersoalkan pula bila karya ciptaan tak didaftarkan sebagai HKI. Hanya saja jika kelak muncul permasalahan mengenai sengketa hak cipta dan hak ekonomi atas satu karya cipta, tentu ada risiko atau konsekwensi pula yang harus ditanggung.
_______________
*Penulis adalah dosen di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia. Ia juga seorang jurnalis yang konsen pada perkembangan musik di Bali. Saat ini tengah menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Editor: E. Ariana

Related Stories