Menjaga Integritas Profesional BPK

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Ini adalah frasa yang sulit dan seringkali naif untuk mengelaborasi profesionalisme dalam sebuah profesi. Tidak saja terkait individu, lembaga yang menaunginya dan peraturan per-Undang-Undangan (UU) yang mendukungnya. 

Apalagi kalau dikaitkan dengan integritas atau satunya sikap (kata) dan perbuatan, maka akan lebih sulit melakukan penilaian jika sang penilai memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dengan yang dinilai. Inilah hipotesa awal yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menilai independensi sebuah lembaga audit seperti halnya Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).

Kasus tersangkanya anggota lembaga tinggi audit negara BPK RI adalah jumlah yang tak bisa dihitung oleh 10 jari lagi atas bobroknya moral pejabat negara! Pribadi yang dulu dikenal bersih, berintegritas dan profesional lama kelamaan juga terkena penyakit gejala klinis (syndrome) kekuasaan. Tak terkecuali yang terjadi dengan Achsanul Qosasih dan dikenal juga sebagai pengelola klub sepakbola Liga 1 Madura United. Namun, apakah kasus anggota BPK yang menjadi tersangka korupsi proyek menara BTS ini tidak akan menulari anggota-anggota BPK yang lainnya?

Mari sejenak elaborasi UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK yang mengatur  soal kedudukan BPK sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK berkedudukan di Ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Dalam UU ini juga dinyatakan, bahwa tugas dan wewenang BPK, salah satunya yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Lalu, bagaimana halnya dengan unsur pimpinan dan anggota BPK selama ini yang ditetapkan oleh Keppres itu, apakah sejalan dengan prasyarat utama kemandirian lembaganya? Sejak disahkannya UU 15/2006 ini komposisi pimpinan dan anggota BPK mayoritas diisi oleh orang-orang partai politik yang mungkin bisa saja berintegritas dan profesional. Namun, saat menilai independensi atau kemandiriannya sebagai auditor negara tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh mereka.

Selain mereka bagian dari kepentingan politik kelompok (partisan), pengesahan 9 anggota BPK inipun berada ditangan Presiden yang juga didukung oleh partai politik pengusung.

Oleh karena itu, tidak bisa diharapkan dan akan jauh panggang dari api jika menjaga integritas profesional anggota BPK  sebagai auditor negara apabila komposisi pimpinan dan anggotanya bukanlah orang-orang yang independen atau mandiri secara politik praktis. Hasil-hasil temuan BPK pastilah memiliki pengaruh politik kekuasaan dan akan ditindaklanjuti dengan tindakan pro justisia jika hendak menyandera lawan politik atau transaksi politik tidak disepakati.

Seharusnya proses dan mekanisme perekrutan, seleksi dan penempatan pimpinan dan anggota BPK harus diserahkan ke lembaga profesional yang independen sehingga hasil auditnya lebih obyektif dan berkeadilan hukum. Revisi atas UU 15/2006 adalah sesuatu yang mendesak dan mutlak! (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 


Related Stories